Sebagai seorang guru yang juga suka menulis, ingin sekali kebiasaan menulis ini ditularkan ke anak-anak sejak dini. Harapannya, mereka akan mempunyai sebuah karya yang bisa diabadikan di masa depan. Kebetulan saya juga adalah seorang PIC mata pelajaran BI di jenjang SD kelas 2. Saya melihat pemahaman berbahasa Indonesia anak-anak yang masih minim Suatu hari koordinator saya yang bernama ms Citra datang dan mengungkapkan ide ini. Ide yang selama ini saya simpan dalam hati, Beliau memberikan tantangan pada saya untuk mengajak anak-anak membuat buku. Beliau tahu bahwa saya juga suka menulis. Bak gayung bersambut, tantangan ini saya terima. Menulis menjadi praktek berbahasa kami. Dalam menulis, anak-anak akan belajar mengenai penggunaan huruf kapital, titik, koma, mengenal subjek, predikat, objek dan keterangan(SPOK), kalimat langsung dan kalimat tidak langsung. Jadi materi Bahasa Indonesia yang kami ajarkan akan langsung dipraktekkan dalam kegiatan menulis buku. Ini adalah sebuah ide yang brilian karena kami akan bisa mengajarkan materi sekaligus menggali kreativitas anak dalam bercerita.
Namun kendalanya cukup berat. Anak-anak ini masih berusia dini. Mereka masih di kelas dua dan masih mengembangkan kemampuan abstraksinya. Belum lagi mereka bersekolah di sekolah nasional plus, dimana bahasa yang kami gunakan sebagai percakapan sehari-hari adalah Bahasa Inggris. Anak-anak ini jujur saja, belum fasih berbahasa Indonesia. Mereka mampu mengungkapkan ribuan cerita, dalam Bahasa inggris, dan dalam konteks yang dekat dengan kehidupan mereka. Mereka belum memiliki imajinasi yang kuat untuk membuat sebuah cerita.
Maka kami segera menyusun strategi, bagaimana caranya agar anak-anak ini mampu menulis. Kami memilih sebuah tema yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Harapannya agar mereka lebih fasih untuk bercerita. Untuk lebih mudahnya, kami mengijinkan anak-anak ini menulis di rumah. Namun hasilnya tidak seperti yang kami harapkan. Bahasa mereka terlalu bagus. Kami memiliki kepekaan bahwa itu bukan bahasa mereka. Cerita yang dituangkan terlalu rapi untuk anak seusia mereka.
Pengalaman itu membuat kami mencari strategi yang baru. Sambil belajar tentang tata bahasa Indonesia, kami melihat penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian anak-anak di kelas. Hasilnya menunjukkan sedikit kemajuan. Kami sempat agak skeptis.
Kemudian terbersit sebuah ide untuk memberikan paragraf pancingan. Idenya cukup sederhana, kami akan memberikan dua paragraph pancingan untuk memantik ide anak. Dua paragraph yang masing-masing berisi 4 kalimat. Agar cerita lebih bervariasi, kami membuat 6 cerita dengan dua paragraf yang menggantung. Cerita sengaja kami gantung agar anak-anak bisa melanjutkan cerita itu. Targetnya adalah membuat cerita 5 paragraf dengan masing-masing 4-5 kalimat. Kami sudah membantu dua pragraf, dan anak-anak akan melanjutkan sisa tiga paragraph. Selain membuat cerita, anak-anak juga akan membuat ilustrasi yang sesuai dengan cerita mereka. Agar lebih adil, kami mengadakan undian sehingga setiap anak akan mendapat cerita yang berbeda.
Alokasi waktu untuk pembuatan cerita berlangsung dari bulan Oktober-Februari. Cukup lama, karena kami menyesuaikan dengan kemampuan anak dan materi belajar yang lain. Dalam prosesnya kami melihat mereka mengalami hambatan yang disebut writer’s block. Mereka belum tahu hendak melanjutkan di mana. Dari beberapa sesi pelajaran Bahasa Indonesia dalam satu minggu, kami mengalokasikan 1 jam pelajaran khusus untuk menggali ide bercerita.di jam tersebut kami akan berfokus pada cerita anak. Mereka membuat kalimat awal untuk paragraph ketiga, dan kalimat selanjutnya. Kami mengecek cerita mereka satu persatu dengan bertanya, “menurut kamu ini ceritanya seperti apa? “Nanti akhir ceritanya akan seperti apa?”, “apa kalimat selanjutnya?”. Kami terus menemani anak berproses menggali ide cerita.
Di kelas saya secara pribadi, ada satu anak pindahan dari luar negeri yang tidak mampu berbahasa Indonesia sama sekali yaitu J. Maka yang kami lakukan adalah memberikan pendampingan secara personal kepada anak tersebut, Dua paragraph awal yang dibuat dalam bahasa Indonesia, maka saya dan J terjemahkan dalam bahasa Inggris
Saya menanyakan ide cerita pada J dalam bahasa inggris untuk kemudian merangsang imajinasinya. J ini memiliki kemampuan bercerita yang baik. Namun ia memiliki kesulitan untuk menuliskannya dalam Bahasa Indonesia. Maka sayapun mengijinkan J menulis ceritanya dalam Bahasa Inggris untuk kemudian nanti diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. J sangat menyukai proses yang kami jalani, karena proses menterjemahkan cerita kami lakukan secara perlahan sesuai ritmenya.
Proses menyunting cerita anak adalah sebuah proses yang menantang, tetapi kami sangat puas karena ini adalah cerita yang dibuat oleh siswa kami yang masih duduk di kelas dua yang terbiasa menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa percakapan harian. Dari pengalaman ini saya belajar beberapa hal yaitu: mengenal kemampuan dasar berbahasa anak, memberikan pancingan (cueing) sebagai petunjuk mengenai apa yang akan dilakukan (dalam hal ini berupa dua paragraph awal untuk memancing ide anak), melakukan pendampingan baik secara klasikal maupun personal sebagai bentuk scaffolding dan menahan diri untuk tidak memberikan kalimat cerita secara langsung, tetapi terus menggali ide anak dengan cara bertanya. Dengan begitu anak akan terbiasa untuk mencari solusi dalam ceritanya, dan bukan menerima produk kalimat jadi dari gurunya. Cukup berat buat kami karena kadang gemas dengan ide anak-anak yang tiba-tiiba terhenti di tengah jalan. Walau berat kami sadar ini adalah proses yang sangat berharga bagi anak-anak.
Kami mengadakan pameran karya siswa di akhir tema 3. Orangtua terkejut dan sangat antusias melihat buku karya anak mereka. Mereka tidak menyangka bahwa anaknya membuat sebuah cerita dalam buku antologi karya anak. Selama ini anak-anak terlihat kesulitan, namun ternyata mereka bisa menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Mereka mulai lebih paham mengenai penggunaan huruf kapital, dapat memahami SPOK dengan baik, mulai memahami kapan menggunakan koma dan kapan mengngunakan tanda titik, serta tahu bedanya kalimat langsung dan kalimat tidak langsung. Terlihat wajah-wajah puas dari anak dan orangtua ketika hasil tulisan anak menjadi sebuah buku. Anak-anak menyelesaikan tema tersebut dengan penuh rasa bangga pada usaha keras yang telah mereka lakukan. Bahkan orangtua J pun bangga, dari yang awalnya kesulitan berbahasa Indonesia namun sekarang bisa menulis cerita dalam bahasa Indonesia.