AWAL
Komunitas literasi di SMP Negeri 2 Kediri Kabupaten Tabanan Bali telah ada sejak 2021. Program ini diadakan untuk memberikan pengalaman membaca secara intensif dan konsisten untuk para murid. Tantangan membaca buku atau buku digital selama 90 hari di masa pandemi telah melahirkan dua angkatan agen literasi. Para murid yang tergabung dalam komunitas BATIKU ini telah melalui proses membaca buku secara intens dan berkarya dalam mempraktekkan hal baik dari buku yang dibacanya. Selama dua tahun ajaran komunitas banyak melakukan kegiatan yang merupakan implementasi dari kegiatan membaca dan juga dihubungkan dengan penggalian potensi sekolah. Kami sempat mengadakan kegiatan berliterasi untuk semua murid di kelas oleh agen literasi, mengadakan arisan buku, mengerjakan proyek pilihan anggota komunitas yaitu pengelolaan sampah organik dan podcast tentang isu-isu remaja, bahkan lomba kreativitas diri. Di tahap ini semua ide adalah hasil dari pemikiran saya sebagai guru pembimbing. Banyak yang saya lakukan untuk memantik mereka dalam berkarya. Namun, saya memiliki kegelisahan dalam menggali potensi murid untuk lebih mendalami konsep berliterasi dalam kehidupan nyata, tidak hanya sekedar membaca novel atau buku pengembangan diri tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan murid. Saya sebagai guru ingin mereka mengeksplor diri lebih jauh lagi dalam konteks kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan literasi. Saya ingin pembelajaran terjadi berkat analisis yang mereka inginkan dan butuhkan. Intinya pembelajaran kontekstual dari, oleh dan untuk murid. Inilah yang menjadi latar belakang saya untuk melakukan gerakan perubahan di komunitas literasi sekolah.
TANTANGAN
Saya sudah mengajak murid untuk melakukan aksi nyata penerapan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pilihan mereka, namun murid cenderung bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Ini membuat saya memberikan pemantik yang membuat motivasi mereka terbentuk dari dorongan orang lain. Motivasi secara eksternal memang efektif awalnya, namun ini memudar seiring kendala-kendala yang mereka alami. Mereka sudah mencoba dan pernah ada pada tahap ini sehingga mereka tidak antusias dalam mengerjakannya karena saya memberi mereka ide untuk mengerjakan proyek. Tantangan ini saya rasakan terlebih lagi karena murid belum terlihat adanya rasa memiliki dalam keterlibatannya di sebuah proyek. Ada murid yang sudah bisa menyuarakan pendapatnya (voice) dan menentukan pilihan (choice) namun saat eksekusi kegiatan belum ada rasa kepemilikan (ownership) dalam penerapannya.
AKSI
Saya mulai pendekatan dengan menggali minat murid. Saya membuat survei, melakukan wawancara serta mengobservasi dari pembicara sesama murid tentang segala hal. Ternyata yang saya temukan adalah saat ini mereka jenuh dengan kegiatan pembelajaran yang monoton di kelas terlebih saat guru mereka menggunakan metode ceramah. Mereka merasa informasi yang diberikan guru sebenarnya dapat mereka baca dari internet. Memang saat masih belajar di rumah mereka cenderung berinteraksi melalui gawai dan belajar sendiri dengan cara yang praktis. Ini membuat harapan mereka akan pertemuan tatap muka lebih menyenangkan daripada belajar di rumah pun memudar. Para murid berharap pembelajaran tatap muka lebih menyenangkan dan memberi makna dalam kehidupan.
Kemudian saya berhasil menggali lebih jauh melalui percakapan santai yang dilakukan di sela jam istirahat. Satu dari mereka menyatakan bahwa mereka ingin melakukan wisata belajar. Kemudian saya menentukan waktu yang tepat untuk mengajak mereka duduk bersama dan menjabarkan dengan rinci rencana mereka. Di sini saya mulai mengetahui pendapat setiap murid, sudut pandang mereka terhadap gaya belajar, dan manfaat yang ingin mereka dapatkan. Setelah melalui proses diskusi dari hati ke hati dengan mereka, akhirnya tercetuslah wisata literasi yang kemudian disingkat WISLIS yang prosesnya dari awal adalah dari murid, dilakukan oleh murid dan manfaatnya pun untuk murid.
Dalam komunitas literasi BATIKU, para murid mulai mengkoordinasi diri dalam pertemuan kecil di sela istirahat dan diskusi melalui grup Whatsapp untuk membahas tempat tujuan, rute perjalanan, estimasi waktu dan biaya, daftar film yang edukatif serta cara pembayaran menggunakan e-money. Semua ini dilakukan secara bertahap dan melalui jajak pendapat yang mampu membuat murid mendapatkan sebuah keputusan bulat bersama. Sehingga terencana dengan baik list kegiatan yang telah mereka diskusikan bersama dalam WISLIS ini.
PELAJARAN
Hasilnya adalah murid secara aktif melakukan apa yang sudah mereka suarakan. Mereka memiliki tanggung jawab atas keputusan bersama yang telah disepakati. Murid terlibat lebih aktif dalam merancang sendiri wisata literasi mereka. Murid membuat diskusi bersama dalam menentukan tujuan, menentukan kegiatan, mencari informasi rute perjalanan dan mengumpulkan biaya perjalanan mereka. Sejumlah 23 orang murid yang tergabung dalam komunitas melakukan apa yang sudah disepakati dan berusaha melaksanakannya.
Akhirnya wisata literasi ini bisa terwujud. Kami melakukan perjalanan dengan memanfaatkan Bus Trans Metro Dewata. Para murid berpendapat bahwa melakukan perjalanan luar kota tanpa orang tua adalah pengalaman pertama kalinya. Stigma orang tua yang belum berani ‘melepas’ anaknya masih melekat di masyarakat kami yang merupakan penduduk desa. Dengan adanya wisata literasi ini para murid merasa mereka telah bisa menjawab tantangan kehidupan. Dengan berbekal pengetahuan dari membaca petunjuk dari aplikasi Teman Bus serta memilih tujuan yaitu bioskop serta pilihan tontonan yang mendidik, tentunya memberikan pembelajaran. Perjalanan yang awalnya berfokus pada kata ‘menyenangkan’ dikemas sedemikian rupa agar menjadi bermakna. Pada tahap ini murid mendapat pelajaran yang berharga dari pengalaman ini. Setelah akhir kegiatan kami melakukan refleksi dan mereka menyadari bahwa literasi tidak hanya sekedar duduk dan membaca namun bisa dengan cara memanfaatkan teknologi dan berinteraksi langsung di kehidupan sosial.