Won Dalam Kesepakatan Kelas

WON dalam KESEPAKATAN KELAS
Yulia Wardani

Pandemi yang terjadi selama hampir dua tahun telah merubah segala bentuk kehidupan tak terkecuali dengan perilaku murid. Murid yang terbiasa tinggal dirumah, tidak bergaul dan bermain dengan teman sebayanya menyebabkan mereka memiliki rasa malu berlebihan, takut pada orang lain dan tidak percaya diri. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Murid perlu dibimbing dalam pergaulan untuk dapat berkolaborasi menggapai masa depannya.

Saya sebagai guru dan orang tua disekolah memiliki keresahan takkala melihat murid saya tidak aktif dalam proses Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Dengan keluarnya keputusan terkait PTM tentu membawa angin segar bagi murid dapat belajar di sekolah bersama teman sejawat dan guru. Namun peraturan tersebut berlaku hanya untuk siswa yang telah lengkap vaksin. Kebijakan ini tentu diambil agar semua anak khususnya dan warga Indonesia pada umumnya kembali sehat dan kuat terhadap virus yang banyak merengut nyawa manusia dalam kurun dua tahun terakhir.

Peraturan PTM yang ditetapkan pemerintah dalam proses belajar mengajar selain guru wajib vmemiliki vaksin lengkap, juga membagi murid dalam sesi belajar, dimana satu sesi belajar adalah 50% jumlah murid dalam satu kelas. Tentu peraturan ini menambah sebab tidak saling berkomunikasinya murid yang berjumlah 33 orang.

Pada apersesi, membagi tanggung jawab ke murid merupakan hal biasa yang saya lakukan, seperti dalam hal memimpin doa dan sebagai pemandu lagu nasional. Namun penugasan ini tidak berjalan mulus seperti sebelum pandemi. Ketika ditawarkan siapa yang ingin memimpin teman-temannya dalam berdoa di depan kelas, semua terdiam dan menunduk. Begitupula ketika ditawarkan siapa yang bersedia memandu dalam menyanyikan lagu nasional, kembali semua terdiam dan menunduk. Terlihat mereka tidak percaya diri. Berbagai cara saya lakukan untuk mewujudkan merdeka belajar di kelas. Seperti bertanya siapa yang datang paling awal di kelas, atau siapa yang tadi melaksanakan sholat subuh bagi yang muslim siapa yang tidak lupa berdoa bagi yang beragama lain, siapa yang membuat sarapan sendiri, dan lain sebagainya. Semua pertanyaan saya ajukan dengan harapan ada murid yang dengan suka rela memimpin dalam apersepsi. Namun aAngan-angan memiliki murid yang mandiri, percaya diri, berkolaborasi, berpikir kritis, serta berpikir global seperti api jauh dari panggangan.

Orang tua sebagai guru di rumah, diharapkan dapat memberikan bimbingan lebih agar anak/murid memililki keterampilan abad 21 tersebut. Tidak malu bertemu orang lain, dapat berkomunikasi secara percaya diri, secara mandiri belajar untuk meningkatkan kemampuannya sehingga pada akhirnya anak/murid dapat berpikir kritis apabila menghadapi suatu masalah dalam kehidupan. Namun bagai pungguk merindukan bulan. Orang tua acuh tidak peduli, ada yang sibuk bekerja sehingga semua menyerahkan ke pihak sekolah (guru) dalam mendidik.

Hampir sebulan PTM saya selalu mengalami kesulitan dalam menghidupkan suasana belajar. Murid lebih banyak diam dibelakang maskernya dan tidak saling bicara antar teman. Tentu suasana ini harus saya pecahkan sesegera mungkin. Target saya adalah murid dapat mengeluarkan pendapatnya tanpa malu, murid dapat berkolaborasi dengan temannya dengan percaya diri sehingga kondisi saat ini, dimana kelas terasa kosong tanpa penghuni sirna dengan aktifnya murid dalam belajar, murid yang bersemangat belajar di kelas dan tentunya tidak malu dan janggung dalam berinteraksi.

Bulan kedua PTM, saya mencoba kembali meminta mereka melakukan kegiatan apersepsi maupun kegiatan inti di depan kelas, namun tidak berhasil karena murid enggan berdiri di depan kelas karena malu. Mereka lebih memilih duduk dibangku dengan banyak diam. Lalu saya melonggarkannya dengan tidak perlu berdiri di depan kelas namun cukup dari tempat duduk masing-masing sambil berdiri melakukan kegiatan yang saya minta namun tetap tidak berhasil membuat semua murid bicara.

Saya merubah taktik dengan memanggilnya melalui daftar hadir, tetap tidak ada perubahan, tetap saja mereka diam tanpa banyak komentar. Lalu saya alihkan dengan pertanyaan yang saya buat di aplikasi online, kembali mereka menjadi sibuk dengan gadgetnya tanpa memperdulikan kesempatan yang saya berikan untuk memperkenalkan diri ataupun menanggapi materi dan ataupun menjawab pertanyaan-pertanyaan spontan yang saya utarakan secara lisan.

Kondisi ini tidak mungkin dibiakan. Segera saya cari literatur dengan mencari informasi cara meningkatkan kemampuan murid dalam berkomunikasi. Berbagai media sosial saya telusuri dan saya menemukan instagram komunitas guru belajar nusantara, Dimana ternyata banyak kegiatan-kegiatan praktik baik yang dibagi disetiap sesi. Temu pendidik Live pun rutin saya ikuti, banyak ide-ide cemerlang dalam mengajar yang dapat saya pahami dan aplikasikan tentunya di modifikasi dengan menyesuaikan kondisi kelas saya.

Pada saat sesi berbagi praktik baik, ketika itu pembicaranya Pak Nunuk Riza, beliau memakai sebuah aplikasi bebek yang saya lupa nama aplikasinya, beliau menggunakannya untuk mendapatkan respon dari pesertanya selama pertemuan online berlangsung. Dan ini sangat efektif saya lihat, peserta merasa enjoy /menikmati dengan gembira dalam kegiatan, mengikuti arahan tanpa merasa terpaksa dan tidak terasa sesi berbagi praktik baikpun selesai.

Seri berbagi praktik baik ini memberikan ide cemerlang bagi saya untuk mencari aplikasi online tersebut di web browser agar dapat dipakai dalam pembelajaran di kelas. Dalam pencarian saya tidak menemukan “bebek” yang dipakai, namun menemukan Wheel of Names. Dengan penasaran yang tak berkesudahan yang saya rasakan terkait aplikasi, saya mempelajarinya melalui kanal youtobe.

Jalanpun semakin terbuka lebar, ketika kesempatan belajar dalam Pendidikan Penggerak Merdeka Belajar (PPMB) Level 0 dapat saya ikuti di Angkatan 3. Pada modul kesepakatan kelas saya menemukan materi perbedaan aturan dan kesepakatan kelas. Ternayata selama ini saya telah miskonsepsi akan hal itu. Bisa jadi murid saya tidak aktif di kelas karena selama ini saya telah menerapkan aturan bukan kesepakatan kelas, sehingga murid tidak terlibat dalam belajar.

Mulailah saya merancang strategi pembelajaran yang melibatkan murid agar tujuan pembelajaran yang saya lakukan dikelas dapat tercapai. Strategi yang saya pakai adalah (1) membuat keakraban tercipta didalam kelas dengan melakukan ice breaking diawal pelajaran, (2) bersama murid menyusun kesepakatan kelas. Saya menawarkan menggunakan aplikasi online di web browser yaitu wheel of names (WON). Saya menjelaskaan kepada mereka terkait pemakaian wheel of names (WON) .

Pertama saya menuliskan nama-nama murid kelas saya di aplikasi. Setelahnya dengan mengklik titik tengah, maka roda akan berputar memutar nama-nama murid, kemudian berhenti sesuai waktu yang telah diatur sebelumnya di aplikasi tersebut. Penjelasan rinci saya mengenai pemakaian aplikasi Wheel of Names membuat murid menyepakatinya. Kemudian murid dengan senang hati menuliskan kesepakatan kelas yang akan digunakan selama pembelajaran berlangsung.

Penyampaian tujuan pembelajaran diawalpun saya lakukan dengan harapan murid mengetahui manfaat belajar sehingga mereka dengan senang hati mengikutinya karena mengetahui manfaatnya.

Kegiatan pembelajaranpun dimulai, diawali dengan saya memutar roda dengan meng klik titik tengah pada aplikasi wheel of Names (WON). Pemutaran pertama diperuntukan untuk menemukan murid yang akan memandu lagu. Betapa terkejutnya saya ketika murid yang tadinya hanya diam, serta merta ketika namanya muncul dilayar WON, berdiri dan memimpin lagu. Begitupula ketika berdoa, dengan sekali klik WON, nama murid terpampang dilayar, tanpa rasa canggung langsung berdiri dan memimpin doa untuk teman-temannya sekelas.

Kegiatan belajar pun memasuki materi yang akan dibahas pada hari ini. Kembali saya menggunakan WON dan munculah nama murid lainnya. Ternyata pada sesi materi, WON belum bisa bekerja sesuai harapan. Murid enggan menjawab ataupun memberikan tanggapan dan pendapatnya terkait materi. Kelaspun ramai dengan sorak suara murid, “hore, khaila maju”. Ada pula yang berteriak, “untung bukan aku duluan”. Tapi murid tersebut diam saja tanpa mau berbicara. Dengan kelonggaran kesepakatan, saya kembali meng klik WON dan timbullah nama baru. “safaat, yey, ayo safaat, harus mau nih”. Begitu teriak salah satu murid. Lagi-lagi tidak menjawab pemantik saya dalam berdiskusi.

Terasa tidak efektif walaupun telah sepakat dalam penggunaannya. Kembali saya merefleksi apa penyebabnya dengan bertanya pada murid dan rekan sejawat. Dalam refleksi saya dapatkan, murid menuliskan tidak memahami apa pertanyaan saya karena mereka tidak mengerti materi, murid selama pandemi tidak belajar, hanya mengerjakan tugas yang dibantu oleh orang tua, saudara ataupun mencarinya di google. Hal inilah yang menyebabkan mereka / murid tidak belajar , tidak mampu mengingat karena tidak mengalami proses belajar semestinya. Begitupula ketika saya bertanya pada rekan sejawat yang tinggal di lingkungan murid berada, mengatakan bahwa sebagian besar murid bosan sehingga handphone yang seharusnya untuk belajar hanya dimanfaatkan untuk bermain games.
Kembali saya mencari berbagai literatur terkait gaya belajar siswa. Seketika saya tersadar, bahwa saya belum memfasilitasi gaya belajar mereka secara menyeluruh selama ini. Dengan hanya memberikan satu sumber belajar. Kemudian saya menambahkan kegiatan murid dirumah dengan memberikan materi pelajaran yang wajib dibaca dan diamati sebelum pembelajran dimulai esok harinya. Materi tersebut saya berikan dengan tiga media ajar yaitu video pembelajaran buku digital dan gambar/infografis/ilustrasi ataupun menugasi murid dengan mencari benda / barang yang ada dilingkungan sesuai dengan topik / materi.

Kembali dikelas memakai WON dalam kesepakatan dengan telah memfasilitasi murid dengan berbagai media ajar sebelum sesi belajar di kelas dimulai, ternyata efektif sekali membuat murid aktif, tidak malu dan dengan percaya diri memberikan pendapatnya.

Kegiatan belajar ini berlangsung dengan berbagai materi dan pengautan yang disampaikan. Dalam sesi tanya jawab selama pelajaran pun saya kembali memutar wheel of Names. Satu persatu murid bergantian dengan percaya diri menjawab pertanyaan saya dan menanggapi jawaban teman ketika nama mereka muncul dalam layar aplikasi WON. Dalam pemakaian aplikasi wheel of Names, nama yang sudah muncul dapat diatur secara otomatis tidak akan muncul lagi. Sehingga semua murid akan mendapatkan giliran.

Hampir satu bulan dibulan ketiga PTM, kami menyepakati menggunakan WON dalam pembelajaran. Setiap kali akan mengawali kegiatan dalam merumuskan kesepakatan kelas, hal yang tidak pernah terlupa adalah keinginan murid untuk selalu memakai WON dalam setiap kegiatannya. Menurut mereka dengan memakai WON memacu adrenalin, membuat was was menunggu giliran nama mereka keluar dan terasa menyenangkan dalam belajar. Hal ini membuat mereka lebih bersemangat belajar karena menurut mereka belajar seperti bermain. Tidak tegang dan dapat mencairkan suasana.Tentu pengalaman belajar ini guru dokumentasikan dengan meminta murid menuliskannya di akhir pelajaran berupa refleksi yang disampaiakan dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Strategi pembelajaran menggunakan WON dan kesepakatan kelas, mendidik murid belajar sportif dan percaya diri, menjadi pribadi mandiri dan bernalar kritis, tidak malu dan ragu lagi dalam mengungkapkan pendapat dan langsung bertindak jika dibutuhkan. Mereka semakin memahami tanggung jawab sebagai murid dalam belajar. Murid terlibat dalam pembelajaran, aktif mengikuti sesi demi sesi dalam belajar. Saya bangga dengan perubahan murid-murid saya yang kini sudah berani tampil di depan kelas, mengungkapkan pendapatnya tanpa malu dan bicara merekapun semakin lancar.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top