Dalam dunia pendidikan, banyak guru mengira sudah berhasil beradaptasi dengan perubahan zaman. Namun Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar, mengungkapkan, kebanyakan guru di Indonesia sebenarnya masih tertinggal dengan cara yang identik dengan guru abad ke-19.
Hal tersebut didukung oleh kultur dan perkembangan sistem pendidikan yang tidak mengarah untuk menjawab tantangan abad ke-21. “Kita masuk abad ke-21, industri yang memiliki valuasi paling tinggi sudah berbeda dengan abad ke-19. Misalnya dulu perusahaan minyak, sekarang memang masih ada tapi kalah nilainya dengan Apple dan Google,” jelas Bukik.
Ia melanjutkan, Apple dan Google adalah dua contoh perusahaan teknologi yang mengutamakan kreativitas untuk menciptakan produk dan layanan. Apa yang terjadi dengan dua perusahaan ini menunjukkan bahwa tantangan zaman saat ini adalah kemampuan untuk memahami konsep, bernalar, dan berinovasi.
Bukik mengatakan, pendidikan abad ke-21 memiliki beberapa ciri esensial, yakni berorientasi pada tujuan jangka panjang, mengutamakan kompetensi, asesmen dengan ujian bermakna, kemampuan bernalar, serta kemerdekaan.
“Pendidikan abad ke-19 itu tujuannya dapat nilai angka yang tinggi jadi ujiannya standar seperti Ujian Nasional (UN). UN saja masih kita terapkan hingga tahun 2019 lalu. Berarti setidaknya sampai 2019, kita sebenarnya masih menggunakan sistem pendidikan abad ke-19,” tutur Bukik.
Ujian bermakna bukan sebatas mengerjakan soal ujian, tapi peka, melakukan riset dan menyelesaikan persoalan komunitas hingga menjadi kompetensi diri. Hal ini membutuhkan kemampuan bernalar dan kemerdekaan dalam proses belajarnya.
Sedangkan tujuan jangka panjang maksudnya, menyadari bahwa tujuan pendidikan seseorang adalah mengatasi tantangan hidupnya masing-masing sesuai konteks agar bisa hidup mandiri dan bahagia.
Bagaimana Caranya Menjadi Guru Abad ke-21?
Bukik menjelaskan ada tiga kompetensi yang harus dikuasai guru abad ke-21. Kompetensi tersebut berdasar pada pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai kemerdekaan dalam pendidikan, yakni tidak hidup diperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya sendiri.
“Dengan dasar ini, dulu Kampus Guru Cikal mengadakan Temu Pendidik Nusantara 2016 dengan topik Merdeka Belajar. Kalau konsep secara akademiknya adalah self-regulated learning. Belajar yang diatur oleh diri sendiri, tidak didikte, belajar karena kebutuhan,” kata Bukik.
Tiga kompetensi yang mendasari Merdeka Belajar tersebut dapat dicapai dengan komitmen, mandiri, dan refleksi. Komitmen ialah komitmen pada tujuan dan antusias untuk terus mengejar sebuah pencapaian. Mandiri maksudnya mandiri mencari cara. Sedangkan refleksi adalah kemampuan untuk menilai diri sendiri sehingga tahu apa kelebihan dan kelemahan diri sendiri. Pun tahu cara mana yang bisa dipertahankan, diubah, atau diperbaiki.
Bukik menambahkan, kebanyakan akan berpikir tantangan guru abad ke-21 adalah penguasaan teknologi. Namun ia menegaskan, penguasaan suatu teknologi bukan prioritas untuk guru melainkan kemampuan untuk belajar. Teknologi akan terus berkembang dengan cepat. Dengan memiliki kemampuan untuk belajar, maka apa pun yang baru dari sebuah teknologi, akan dengan mudah dikuasai dan dimanfaatkan.
“Dari semuanya, apa pola pentingnya? Tugas utama guru abad ke-21 itu bukan mengajar tapi belajar. Karena guru yang belajar akan menginspirasi murid-murid juga untuk belajar. Kalau kita sendiri tidak merdeka belajar bagaimana mau mengajarkan murid agar belajar secara mandiri? Kalau gurunya antusias belajar, maka muridnya akan ketularan,” imbuh Bukik. (YMH)