Strategi Pembelajaran Di Lembaga Pendidikan Nonformal

Saya seorang guru di sebuah sekolah menengah atas, tepatnya di SMAN 3 Kota Tegal. Tiga tahun terakhir ini, saya mengajar di Kesetaraan Ulya sebuah Pondok Pesantren Mambaul Hikmah di desa Tegalwangi Kecamatan Talang  Kabupaten Tegal. Kesetaraan Ulya itu sama dengan Kejar Paket C, perbedaaanya kesetaraan ulya di bawah naungan Kementrian Agama RI sedangkan kejar paket C milik Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan nonformal seperti kesetaraan ulya merupakan sebuah alternatif dikalangan masyarakat bawah karena banyak yang memiliki problem dalam menempuh pendidikan dasar 9 tahun.  Problem mereka tidak hanya berkutat dengan ekonomi tetapi juga ada beberapa orang tua yang masih berfikir untuk tidak memberikan bekal pendidikan umum dan hanya menitikberatkan pada pendidikan agama saja sehingga hanya memberikan bekal pendidikan  anak-anaknya pada sebuah lembaga pendidikan bernafaskan religi  seperti pondok pesantren.  

Problem umum yang ditemukan pada pendidikan nonformal adalah tidak terselenggaranya proses pembelajaran sebagaimana proses tersebut dalam pendidikan formal. Saya melakukan proses pembelajaran di Kesetaraan Ulya Mambaul Hikmah tersebut pada hari Sabtu dan Minggu. Saya lakukan dari mulai pukul 08.00 s.d 12.00 WIB, dengan mata pelajaran menyesuaikan kurikulum yang telah ditetapkan. Problem berikutnya adalah minimnya tenaga pendidik yang mau melakukan proses pembelajaran. Selama dua tahun terakhir hanya saya dan guru lain satu orang yang mau melakukan proses pembelajaran. Sarana dan prasarana yang sangat minim juga menjadi problem lainnya karena kesetaraan ulya ini hanya sebagai lembaga pendidikan yang sangat dipandang sebelah mata baik oleh santri sebagai siswa, orang tua maupun masyarakat pada umumnya. Permasalahan yang cukup komplek inilah kami berdua bertekad untuk memotivasi para santri  agar tetap melakukan proses pembelajaran.

Sarana dan prasarana yang minim tidak menyurutkan niat saya  untuk tetap melakukan proses pembelajaran mencerdaskan anak bangsa. Para santri yang menjadi siswa kesetaraan ulya tidak mengenal internet, tidak memiliki kesempatan keluar dari lingkungan pesantren sehingga saya  harus mampu melakukan proses pembelajaran dengan metode lama yaitu setiap materi  pelajaran yang akan saya berikan, terlebih dahulu dikonsep dan dicetak kemudian di fotocopi sejumlah santri sehingga materi yang akan saya berikan bisa tersampaikan dengan baik. Awalnya memang proses pembelajaran ini cukup berat karena selain tidak ada fasilitas pembelajaran yang memadai juga semangat santri rendah dalam melakukan proses pembelajaran. Setiap materi yang akan saya sampaikan harus mengeluarkan modal biaya pribadi fotocopi sejumlah santri yang akan mengikuti proses pembelajaran, hal ini agar santri tumbuh semangat dalam mengikuti pembelajaran.

Mereka adalah para santri yang suatu saat nanti akan terjun di masyarakat dan bekal mereka tidak cukup hanya dengan ilmu agama yang mereka terima dari pondok pesantren sehingga  mereka harus dibekali ilmu pengetahuan umum agar ilmu mereka sinkron dengan perkembangan zaman. Penguatan motivasi tentang pentingnya menempuh pendidikan setingkat pendidikan menengah selalu saya berikan sehingga mereka mau mengikuti pembelajaran dengan kesadaran sendiri. Penguatan motivasi ini hampir saya lakukan tiap pertemuan dalam proses pembelajaran agar motivasi mereka tidak meredup, walaupun dengan penyampaian yang beragam diantaranya dengan ice breaking  yang menarik agar mereka tidak bosan dan termotivasi untuk tetap belajar dengan kondisi apapun.

Selain proses pembelajaran yang harus saya lakukan manual di saat sekolah lain sudah menggunakan teknologi canggih bahkan saat pandemi seperti ini mereka tetap tidak terpengaruh dengan itu semua. Pembelajaran tetap menggunakan metode lama tanpa tersentuh teknologi, selain proses pembelajaran yang diusahakan tetap berjalan, saya juga berusaha mengenalkan budaya literasi dengan tema “ satu hari satu halaman mambaca dan menulis”. Para santri saya tanamkan motto “ dipaksa terpaksa – dan akhirnya terbiasa “. Budaya literasi ini dilakukan dengan cara, membagikan  majalah, buku, koran bekas, bahkan artikel yang saya download dari internet dan mereka setiap hari harus membaca sekaligus menulis dibuku setiap hari minimal satu halaman dengan mencantunkan hari, tanggal, waktu membaca juga menulis, dan dikumpulkan setiap hari Sabtu. Sehari setelah itu buku saya kembalikan untuk ditulis kembali oleh para santri sehingga mereka menjadi terbiasa membaca dan menulis. Motto “dipaksa – terpaksa – terbiasa“ mereka rasakan dan mengakui yang akhirnya menjadi terbiasa membaca dan menulis dengan kesadaraan sendiri. Literasi dasar harus ditanamkan agar mereka tidak ketinggalan informasi dan pengetahuan umum yang minim mereka dapatkan selama berada di pondok pesantren. Aturan di pondok pesantren tidak membolehkan penggunaan smartphone (HP), tidak mengenalkan santri akan penggunaan internet bahkan berita dari luar pun jarang mereka dapatkan.

Para santri hanya memiliki peluang pulang ke rumah setahun dua kali dan itupun waktunya tidak banyak hanya berkisar satu minggu jadi mereka selama setahun lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan pondok pesantren. Proses pembelajaran yang dilakukan hanya dengan menggunakan lembaran kertas fotocopi setiap kali  pembelajaran ternyata mampu memberikan semangat kepada para santri karena selama ini mereka tidak merasakan pembelajaran sebagaimana mestinya. Sejak kesetaraan ulya berdiri yaitu tahun 2018 belum pernah terlaksana proses pembelajaran secara serius dan berkesinambungan, sehingga para guru, santri dan orang tua juga tidak pernah menganggap keberadaan lembaga nonformal ini.  Studi banding dengan pendidikan nonformal lain juga menjadi salah satu cara membuka cakrawala dan informasi penting bagaimana memajukan lembaga nonformal ini. Kesetaraan Ulya lainnya kami datangi sebagai usaha mencari informasi juga belajar dari keberhasilan lembaga lain.

Tahun pelajaran 2022/2023 ini Kesetaraan Ulya Mambaul Hikmah telah berubah menuju yang lebih baik. Evaluasi yang saya lontarkan ke pengurus yayasan dan jajaran pimpinan diantaranya kepala sekolah dan ketua yayasan membuahkan hasil. Selain meluluskan santri juga mendapatkan siswa baru lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Kualitas santri sebagai siswa  barupun lebih baik dilihat dari indikator para siswa yang sangat dinamis dan aktif dalam proses pembelajaran. Santri sangat bersemangat dalam melakukan pembelajaran, mereka sudah mau bergerak  menyediakan fasilitas pembelajaran mandiri diantaranya bersedia  mengkoordinir biaya fotocopi materi yang biasanya disediakan oleh gurunya. Kesadaran akan kebutuhan pendidikan sebagai bekal dikemudian hari sudah meresap di otak mereka baik santri, orang tua maupun pengurus kesetaraan ulya. Guru lain yang awalnya tidak memandang keberadaan kesetaraan ulya inipun sudah berubah, hal ini dibuktikan dengan bergabungnya sepuluh guru yang bersedia melakukan proses pembelajaran di tahun pelajaran baru ini. Pengurus yayasan Mambaul Hikmah juga mulai tergerak untuk menyediakan sarana dan prasarana lain diantaranya laboratorium komputer yang dimiliki oleh unit MTs. dipinjamkan ke siswa-siswi kesetaraan ulya untuk proses pembelajaran mata pelajaran TIK sehingga santri yang tadinya tidak mengenal internet sudah bisa menikmati informasi lain melalui dunia maya. Mata pelajaran TIK memang bukan mapel yang ada di struktur kurikulum kesetaraan ulya tetapi dimasukkan sebagai kegiatan ekstra kurikuler dan  sengaja diberikan dengan harapan santri diberi bekal pengenalan teknologi.

Kemampuan saya dibidang teknologi juga mampu memberikan manfaat di kesetaraan ulya, administrasi yang sekarang semua berbasis digital dapat diselesaikan dengan rapi dan bisa didesiminasikan ke guru-guru lain agar administrasi lembaga nonformal ini lebih baik karena bulan Nopember 2022 ini akan menjalankan akreditasi sekolah. Para guru semangat melakukan persiapan tersebut, dan mempersiapkan akreditasi ini dengan sungguh-sungguh. Kegiatan lain yang dulu tidak pernah dilakukan di kesetaraan ulya adalah koordinasi dan evaluasi kegiatan pembelajaran. Sejak bulan Januari 2021, sebulan sekali kami mengadakan kegiatan koordinasi dan evaluasi baik melalui grup whatsapp maupun tatap muka dengan tetap selalu menerapkan protokol kesehatan karena mengingat masih dalam masa pandemi covid-19.

Keberadaan kesetaraan ulya juga perlu dipublikasikan agar masyarakat tahu dan memahami bahwa yayasan Mambaul Hikmah memiliki pendidikan nonformal. Publikasi mulai dilakukan selain melalui media sosial juga mengadakan kerja sama dengan media massa lokal agar setiap kegiatan kesetaraan ulya diterbitkan di media tersebut bahkan dari pihak media lokal itu memberikan pelatihan jurnalistik  baik bagi guru maupun siswa agar memahami dan mampu menulis berita. Gerakan literasi yang pernah saya lakukan akhirnya dapat diteruskan ke arah yang lebih baik dan berkembang. 

Perjuangan dalam mencerdaskan anak bangsa memang tidak mudah, membutuhkan kesabaran, pengorbanan dan kesadaran bahwa  usaha tidak membohongi hasil. Tanpa semangat perjuangan yang ikhlas, kita tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Satu hal yang saya yakini, bahwa setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Masalah yang ada di kesetaraan ulya dan lembaga nonformal lain hampir semuanya sama, tetapi dengan pendekatan dan strategi masing-masing tenaga pendidik dengan ikhlas dan mau berjuang maka akan membuahkan hasil yang tidak mengecewakan. Demikian tulisan saya tentang perjuangan seorang guru dalam memajukan pendidikan nonformal yaitu Kesetaraan Ulya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top