Stop Labeling Negatif
Stop Labeling Negatif
Pada awalnya, saya beranggapan bahwa siswa yang baik dan bisa menjadi juara adalah siswa yang bisa menuruti semua perkataan guru, menyelesaikan semua soal-soal yang diberikan guru, mendapatkan nilai tinggi, atau siswa yang bisa mewakili sekolah untuk mengikuti kejuaraan di tingkat nasional. Akibatnya saya akan memiliki harapan yang sangat rendah pada siswa yang sering membuat keributan di dalam kelas dan lamban dalam menyelesaikan tugas.
Bicara tentang anak yang sering membuat keributan di dalam kelas, saya pernah memiliki pengalaman di tahun 2019 lalu saat saya diamanahi menjadi wali kelas I. Siswa yang saya hadapi sangat beraneka ragam dalam segi kemampuan maupun sikap, bahkan ada seorang siswa yang sangat aktif dan bisa dibilang cukup mengganggu ketenangan kelas. Bagaimana tidak, iswa ini sering menjahili temannya, membuat gaduh di kelas, bahkan sampai berani main fisik. Ada temannya yang pernah menangis karena dijahili dengan disembunyikan alat tulisnya, ada yang di cubit, bahkan sampai ada yang pernah memar bagian tangannya karena digigit saat sedang melaksanakan sholat.
Saya mulai merasa bingung dan gagal karena sudah hampir 2 bulan saya mendampingi, tetapi masih belum ada perubahan dari siswa ini. Keluhan dari siswa lain dan orangtua mulai bermunculan, bahkan orangtua siswa yang bermasalah inipun sampai datang ke sekolah, menangis dan mengadu kepada saya tentang putranya. Ibu ini mulai bingung dan putus asa karena mendapat banyak pengaduan dan teguran dari orangtua siswa lain yang merasa terganggu atau tidak terima karena sikap putranya.
Akan tetapi selanjutnya saya mencoba terus merefleksi diri tentang kesalahan-kesalahan saya di dalam menangani siswa di kelas. Saya belajar tentang bagaiman cara memperlakukan siswa dengan baik. Menyadari sepenuhnya bahwa setiap anak bisa menjadi baik dan juara, ketika dia menemukan guru yang tepat. Saat ini saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya di sekolah dalam mengubah cara pandang guru terhadap siswa, agar semua siswa bisa menjadi juara.
Sudah menjadi kebiasaan lama bahwa kita akan memberilkan sebuah labeling kepada siswa, seperti yang pernah saya lakukan, tanpa sadar saat memperhatikan siswa di kelas dalam hati seperti sedang mengabsen, ada siswa A yang rajin berbagi dengan temannya saat waktu snacking, ada siswa B yang nurut sekali, ada siswa C dan seterusnya sampai mata saya tertuju pada siswa yang selalu membuat masalah di kelas, saya langsung menghela nafas panjang dan mengatakan dalam hati, “hemh.. kapan ya dia baiknya?” Astagfirullah, saat itu saya langsung beristighfar dan mencoba menatap kembali siswa ini, saya mengingat-ingat kebaikan yang sudah dia lakukan, seingat saya dia selalu datang paling pagi, dia juga yang selalu menawarkan bantuan ketika dia melihat saya sedang repot. Berkali kali saya mengucapkan istighfar dan terfikir, bahwa jangan-jangan selama ini saya yang memiliki cara pandang yang salah pada siswa sehingga saya berpikir bahwa siswa itu bukan anak yang baik dan bukan sang juara.
Tantangan semakin berat ketika ingin mengubah cara pandang, namun lingkungan sekitar berkata lain. Labeling yang diberikan rekan guru pada setiap siswa seolah sudah melekat. Ada siswa yang disebut nakal, malas, bodoh, dan labeling negative lainnya. Ya… memang betul, di lapangan itu banyak terjadi. Terkadang saya juga masih dibayang-bayangi masa lalu yang selalu terbersit bahwa siswa juara adalah siswa yang pintar. Belum lagi ketika menemui siswa yang cukup kesulitan saat belajar, saya terkadang berfikir apa benar semua siswa hebat? Sepertinya dia tidak. Astagfirullah…
Cara pandang guru terhadap siswa dan labeling yang tanpa sadar diberikan oleh guru pada setiap siswa tentu semakin memperparah kondisi siswa, bukan menjadi lebih baik tetapi siswa semakin menjadi-jadi seperti labeling yang disematkan kepadanya.
Adapun aksi yang saya lakukan untuk mengubah siswa bermasalah tadi menjadi siswa yang lebih baik dalam hal sikap dan pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Bertekad untuk belajar cara menangani siswa.
- Menyadari penuh bahwa labeling negatif yang diberikan oleh saya terhadap siswa adalah salah.
- Menyadari penuh bahwa setiap siswa adalah baik, hebat dan memiliki kesempatan menjadi juara. Tentunya disesuaikan dengan minat dan kapasitas setiap siswa.
- Giat berkonsultasi lebih serius dengan atasan dan rekan yang memiliki keyakinan sama.
- Mencari informasi tentang siswa dan cara mengatasi setiap siswa yang berbeda, termasuk selalu menyimak sharing-sharing di grup Komunitas Guru Belajar Nusantara Bandung.
- Mengikuti pelatihan-pelatihan tentang cara pendekatan kepada anak.
- Mempelajari profil siswa melalui formulir pendaftaran, hasil psikotes, dan hasil wawancara orangtua siswa.
- Komunikasi langsung dengan orangtua siswa yang bermasalah dan dengan guru TKnya.
- Memposisikan siswa bermasalah duduk di dekat saya. Ini adalah salah satu saran yang diberikan oleh guru TKnya.
- Melakukan pendekatan personal kepada siswa.
- Konsisten dalam upaya dan do’a.
Suatu hari saya mendapat sharing pelatihan dari rekan yang membahas dampak labeling pada siswa. Disini saya meyakini bahwa secara tidak sadar, sikap siswa salah satunya akan terbentuk dari labeling yang kita berikan. Bukan tanpa alasan saya meyakini ini. Saya yakin karena kejadian memperhatikan siswa yang saya ceritakan sebelumnya, secara tidak sadar saya sudah melabeli setiap siswa. Saya juga meyakini bahwa ucapan adalah Do,a. Jadi ketika kita menyebut satu siswa dengan panggilan si bodoh, dan itu dilakukan berulang-ulang, maka akan terciptalah siswa yang bodoh. Itulah yang membuat sejak kejadian saya tersadar itu saya mulai menganggap semua siswa baik, semua siswa juara.
Setelah pelatihan ini selesai, saya kembali merefleksi diri, dan saya jadi berpikir untuk tidak melabeli lagi siswa, sekalipun melabeli, saya berusaha melabeli setiap siswa dengan label yang didasarkan pada harapan saya terhadap setiap siswa. Ada yang saya labeli si pintar, si aktif, si cerdas, si shaleh, si rajin, dll. Setiap kali siswa melakukan hal yang kurang menyenangkan, maka saya akan memanggil siswa tersebut dengan sebutan yang saya harapkan.
Misalnya ada siswa yang di kelas selalu mengganggu temannya, maka saya akan dekati dia, dibelai rambutnya dan saya bilang “siswa sholeh, siswa yang sayang sama temannya, siswa pintar. Coba nak diingat-ingat lagi, boleh tidak bersikap seperti itu pada temannya?”, maka dia sendiri yang akan bilang tidak boleh, dan dengan sendirinya dia tidak lagi mengganggu, bahkan tak jarang dia malah membantu.
Perubahan mulai terlihat di kelas, termasuk pada siswa yang bermasalah sudah mulai bisa sekali-kali duduk tidak di dekat saya, walaupun jika dilakukan berhari-hari kejadian yang tidak diharapkan kembali terulang. Sejauh ini saya masih terus berfikir dan berupaya mencari solusi agar bisa merubah sikap siswa ini.
Hari itu tiba saatnya saya mendampingi siswa untuk berenang di luar sekolah, saya ditemani oleh pimpinan, karena kebetulan saat itu rekan yang seharusnya menemani saya berhalangan hadir. Di kolam saya mendengar pimpinan saya berbincang dengan pemilik kolam yang memiliki putra yang ABK namun berhasil lolos kuliah di Telkom University. Beliau juga bercerita tentang kebiasaan yang dia lakukan kepada putranya untuk membentuk dia menjadi anak yang bisa berbaur dengan temannya, padahal sebelumnya dia suka memukul teman-teman di kelasnya. Mendengar perbincangan itu saya mulai serius mendengarkan karena pikiran saya kembali teringat pada siswa di sekolah. Saat pemilik kolam bercerita, yang saya bisa ambil adalah setiap kali akan pergi ke sekolah, si ibu selalu meyakinkan putranya bahwa dia anak yang baik dan tidak akan membuat keributan di sekolah. Saya langsung berpikir keras dan tidak sabar ingin mempraktekan kepada siswa saya.
Keesokan harinya saya langsung coba mempraktekan kata-kata ibu pemilik kolam, saya kombinasikan yang kemarin saya dapatkan dengan ilmu-ilmu yang sebelumnya saya dapatkan. Sejak hari itu, setiap pagi saya selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan siswa yang bermasalah di kelas, saya memulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, menanyakan pergi ke sekolah dengan siapa, sarapan makan apa, dan hal-hal lain yang membuat dia bisa cerita, sampai akhirnya sebelum menutup perbincangan saya selalu bilang dia siswa yang sholeh, siswa baik, siswa pintar yang pasti di kelas akan baik dan menjadi teman yang baik dengan tidak mengganggu teman, saya juga selalu mengusap kepala dan pundaknya. Dia mengiyakan semua perkataan saya.
Kurang lebih selama dua pekan saya melakukan rutinitas baru ini, setiap pagi saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berbincang dulu dengan siswa ini. Alhamdulillah, setelah dua minggu, siswa ini perlahan tidak lagi membuat keributan, tidak lagi mengganggu dan menjahili temannya, dan tidak lagi menjadi bahasan dalam rapat koordinasi mingguan sekolah kami, percaya tidak percaya saya mulai merasakan dia lebih peka terhadap teman-temannya, dia lebih suka berbagi dan membantu temannya.
Keluhan dari siswa lain pun mulai jarang muncul. Diakhir semester 1 saya dengan rekan memutuskan untuk memberi sesuatu kepada siswa, setelah kami bungkus hadiah untuk siswa, kami beri tulisan diatasnya dengan sebutan masing-masing siswa yang berbeda, misalnya siswa teraktif, siswa tersabar, siswa paling berani, dll. Siswa yang semula selalu membuat masalah saya beri dia gelar siswa terajin datang pagi, sesuai yang dia lakukan selama ini. Saat memberikan hadiah ini saya juga mengatakan kepada siswa itu bahwa dia anak yang hebat, suka berbagi, dan membantu teman.
Sepulang sekolah, setelah hari itu dibagikan hadiah, siswa ini lari-lari menghampiri ibunya dan berteriak aku dapat hadiah, kata bu Winda aku rajin datang pagi, katanya aku juga hebat suka berbagi dan suka menolong teman. Mendengar itu rasa haru muncul di dalam diri saya, dan saat saya melihat ibunya, saya yakin ibunya juga bangga pada putranya, terlihat dari senyumnya. Saat ini siswa tersebut sudah kelas 3 dan tidak pernah lagi menjadi bahasan saat rapat koordinasi. Sekalipun dia dibahas pasti karena hal yang cukup membuat saya terharu. Terakhir saya dapat kabar dari gurunya, dia sekarang sangat suka berinfak. karena dia meyakini dengan berinfak dia akan mendapatkan kemudahan.
Begitulah, sekarang saya meyakini semua siswa adalah sang juara, ada sang juara matematik, ada sang juara bercerita, ada sang juara hafalan, ada sang juara berterimakasih, ada sang juara menolong, dan masih banyak lagi sang juara di sekolah ini. Saya Pun semakin yakin sudut pandang guru terhadap siswa akan mempengaruhi keberhasilan siswa. Saya juga mulai menceritakan pengalaman ini kepada rekan-rekan agar mereka selalu melihat siswa dari sudut pandang yang positif. Dan jika terjadi permasalahan siswa di kelas, saya sarankan untuk melakukan pendekatan personal dan memberikan motivasi positif pada siswa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa semua siswa itu baik, semua siswa bisa menjadi juara, ketika mereka mendapatkan perlakuan yang tepat. Bukan siswa yang nakal, tapi cara pandang guru yang harus di rubah. Merubah semua labeling negatif menjadi labeling positif, karena setiap label yang kita berikan kepada siswa akan menjadi do’a dan melekat pada diri siswa.
Dari semua upaya yang telah saya coba lakukan, tentunya masih banyak hal yang harus diperbaiki. Misalnya bagaimana seorang guru mempelajari setiap profil siswa dan memiliki fikiran positif sebelum mengajar. Menurut saya hal ini menjadi sangat penting, karena bisa menjadi sebuah kekuatan dasar untuk membentuk karakter siswa. Siswa akan terlihat baik dimata guru ketika guru sudah sangat memahami celah-celah kebaikan dan pengembangan diri pada setiap siswanya. Sehingga saat guru dan siswa bertemu pertama kali sudah memiliki aura positif pada diri keduanya, yang akan menimbulkan kecocokan dan kenyamanan satu sama lain. Jika ini sudah terjadi, maka proses pembelajaran akan lebih mudah, menyenangkan dan berdampak.