Bukan main, tahun ajaran baru tahun 2022-2033 merupakan awal yang cukup berat untuk memulai kegiatan pembelajaran tatap muka normal, setelah satu tahun anak-anak di sekolah kami belajar dari rumah. Disamping gejala-gejala learning loss, muncul pula fenomena-fenomena perilaku yang tidak diharapkan. Kerinduan berkumpul bersama teman di kelas hingga kebiasaan-kebiasaan di rumah yang tidak formal bahkan tidak patut dilakukan pun muncul di sekolah.
Berbagai kata-kata tak bermakna yang mereka dapatkan dari media sosial, hingga kata-kata kasar kerap terdengar di tengah candaan anak-anak di kala istirahat. Di saat seperti itu, saya sebagai guru mata pelajaran mencoba mengingatkan dan berusaha memahamkan anak-anak tentang bagaimana berbicara yang sopan.
Tiba waktu dimana saya mulai masuk ke kelas IV untuk mengajar IPA. Pertemuan pertama saya berkenalan dengan anak-anak dan mendikusikan kesepakatan kelas yang telah mereka buat bersama guru kelas. Kemudian saya mengajak mereka berkeliling kebun untuk melakukan pengamatan, sembari mengulas materi pelajaran di kelas III. Hari itu berjalan cukup lancar, siswa antusias melakukan pengamatan dan banyak bertanya tentang apa yang mereka lihat. Dua jam pelajaran berlalu, tak terasa. Hari itu saya anggap aman.
Pertemuan berikutnya, saya awali kelas dengan pembukaan, salam sapa, menanyakan kabar, lalu ice breaking, bermain game pembagian kelompok agar anak-anak lebih bersemangat. Rupanya, suasana semangat bermain-main terus berlanjut hingga pelajaran dimulai. Saya hendak menjelaskan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan, namun rasanya baru satu kata yang saya ucapkan, puluhan kata-kata ikut keluar dari anak-anak yang mengobrol bersama teman-temannya. Saya coba diam sejenak, mereka ikut diam. Saya lanjutkan berbicara, dua kalimat, tiga kalimat, aman. Kalimat ke empat, mulai muncul kembali aroma-aroma ketidakfokusan. Menoleh kanan-kiri, berbisik-bisik, memainkan pena, memukul-mukul meja, hingga mereka yang sibuk melaporkan tingkah temannya, “Miss, ini si A ganggu”, “Miss, si B dan si C mengobrol”, dan seterusnya.
Saya pun berpikir bahwa kegiatan pembelajaran tidak bisa diteruskan. Saya harus mengajak anak-anak belajar menjadi pendengar aktif yang tertib terlebih dahulu.
“Oke, Miss Iin perhatikan sepertinya anak-anak belum siap untuk belajar IPA ya?”
“Siap Miss, siap Miss” beberapa anak menjawab.
“Tapi dari tadi ini loh Miss, si A gangguin terus” kata siswa B.
“Enggak ya Miss, ini si B malah yang ngajak ngobrol terus”, jawab si A, saling menyalahkan.
Hal seperti ini berlangsung beberapa menit. Saya mencoba diam, mengamati perilaku-perilaku lucu mereka. Saya kemudian mengangkat tangan. (Di sekolah kami, jika guru mengangkat tangan, artinya guru tersebut meminta siswa agar berhenti berbicara/bersuara sejenak untuk memperhatikan guru)
“Miss Iin akan terus meminta anak-anak untuk mengangkat tangan sampai semua bisa mendengarkan, tanpa bersuara”
Awalnya mereka sibuk menegur temannya yang masih mengobrol atau mengeluarkan suara-suara bising, “pssssttt, psssssttttt!!!”. Butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya semua diam dan memperhatikan saya.
Biasanya, guru akan mengucapkan “thank you” setelah semua anak siap mendengarkan, kemudian anak-anak akan menjawab “you are welcome”. Namun, saat itu saya tidak ingin menimbulkan suara dan kegaduhan baru, maka saya turunkan tangan saya sembari mengangkat kedua jempol dan mengarahkan kepada mereka sebagai tanda ucapan terima kasih karena mereka sudah memberi guru kesempatan untuk berbicara.
Saya mulai membahas dengan mengungkapkan perasaan saya kepada mereka.
“Anak-anak, miss Iin ingin mengucapkan terima kasih nih kepada anak-anak yang tadi sudah siap dan fokus mendengarkan miss Iin (saya menyebutkan nama-nama siswa yang tertib dan fokus). Namun, dari tadi miss Iin merasa kesulitan untuk menyampaikan informasi kepada kalian”
Lalu saya bertanya kepada anak-anak yang sudah fokus “Nak, tadi bagaimana, informasi dari miss Iin bisa kamu pahami tidak?”
“Nggak miss, soalnya gak kedengeran jelas, pada berisik”
“Iya miss, jadi gak fokus dengerinnya” siswa yang tertib menjelaskan.
“Oke, anak-anak, Miss Iin tidak akan memaksa kalian jika kalian memang tidak ingin belajar IPA. Jika kalian inginnya mengobrol atau bercanda dengan teman, silahkan Nak. Tapi apa yang terjadi jika kalian mengobrol atau bercandanya di dalam kelas?” saya bertanya kepada anak-anak.
Siswa yang tertib menjawab “kita yang mau belajar IPA jadi terganggu miss”
“Nah!”, saya menekankan.
“Jika kalian mengobrol dan bercanda di dalam kelas, sementara teman kalian ingin belajar, kalian menjadi pengganggu. Apakah kalian senang menjadi seorang pengganggu di dalam kelas?”
“Tidaak” serempak anak-anak menjawab.
“Maka, jika ingin mengobrol atau bercanda dengan teman dan tidak berhubungan dengan kegiatan IPA, sebaiknya di mana Nak, agar tidak mengganggu yang lain?”
“Di luar aja” beberapa anak menjawab.
“Bagaimana, sepakat mengobrolnya di luar kelas?”
“Iya miss, iya miss” beberapa siswa yang tertib menjawab.
“Oke anak-anak, kita buat kesepakatan baru di kelas IPA bersama miss Iin ya! Jika kalian merasa perlu mengobrol dengan teman untuk membicarakan sesuatu di luar pelajaran IPA, silahkan temannya diajak ke luar kelas, mengobrol dulu di luar kelas sampaaai selesai! Jika sudah selesai mengobrolnya, dan sudah siap kembali belajar, silahkan masuk kembali ke dalam kelas, tanpa perlu mengganggu teman lain yang sedang belajar. Bagaimana?”
“Wah enak dong miss, ayo-ayo kita keluar dulu (sambil tertawa)”, respon seorang anak yang menjadikan kesepakatan sebagai bahan candaan.
“Iya, silahkan!” saya menegaskan. “Tapi apakah benar enak, Nak?” saya bertanya kembali.
“Enggak lah miss, nanti kan jadi ketinggalan pelajaran” sahut anak lain.
“Jika kalian memilih mengobrol di luar, apakah menurut kalian miss Iin merasa rugi?”
“Enggak miss, yang rugi yang keluar kelas karena ketinggalan pelajaran” jawab salah satu anak.
“Betul sekali Nak, setiap kalian memilih untuk melakukan sesuatu, pasti ada konsekuensinya. Miss iin tidak akan mengulang pelajaran atau memberi waktu tambahan pada kalian yang ke luar kelas untuk mengobrol, artinya jika ada tugas atau kegiatan yang kalian tinggalkan, ya kalian tetap harus menyelesaikannya”
Saya menambahkan, “berarti, jika teman-teman yang lain sudah bisa istirahat karena sudah selesai melakukan kegiatan, anak-anak yang memilih mengobrol dulu di luar bagaimana?”
“Harus menyelesaikan dulu Miss, baru bisa istirahat” jawab anak yang lain.
“Betul sekali Nak, jadi siapa yang akan merasa rugi?”
“Kita sendiriii miss” jawab anak-anak kompak.
“Oke, jadi jika ingin mengobrol atau bercanda dengan teman di saat kegiatan belajar IPA, silahkan ajak temannya ke luar kelas dulu, dan masuk kembali jika sudah selesai mengobrolnya, dengan konsekuensi tetap harus menyelesaikan kegiatan atau tugas yang diberikan di kelas” saya menegaskan.
“Jadi adil kan? Kalian yang ingin mengobrol, bisa tenang mengobrol di luar, dan teman-teman yang ingin belajar, bisa tenang belajar di dalam kelas. Bagaimana, semua sepakat?”
“Sepakaaaat miss” jawab anak-anak kompak.
Butuh waktu satu jam pelajaran tersendiri untuk membahas kesepakatan ini. Saya pun melanjutkan kegiatan dengan menjelaskan tahapan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu setiap kelompok akan berputar dari pos 1 hingga pos 5 untuk melakukan kegiatan berbeda di setiap posnya.
Anak-anak pun mulai berdiksusi dengan kelompoknya di pos masing-masing. Saya pun terus memperhatikan gerak-gerik dan aktivitas mereka. Jika saya mulai melihat gelagat siswa yang hendak mengajak temannya mengobrol atau bercanda, saya segera menawarkan anak tersebut untuk mengobrol atau bercanda di luar kelas. “Nak, silahkan diajak ke luar dulu temannya, mengobrolnya di luar agar tidak mengganggu yang lain”. “Nggak miss, nggak jadi” anak itu menjawab, kemudian kembali melakukan kegiatan belajar.
Kegiatan berlangsung kondusif dalam beberapa saat, hingga terdengar salah satu siswa berteriak “Miss, ini si C dan si D makan permen miss”. Kebetulan, peraturan di sekolah kami tidak memperkenankan siswa makan di jam pelajaran.
“Dikasih misconduct aja miss”, “iya miss dikasih hukuman aja miss”, siswa-siswa lain ikut berteriak.
Idealnya, saya menegur siswa yang makan permen tersebut secara individu, namun karena semua siswa sudah mendengar, dan timbul spekulasi-spekulasi tentang hukuman, maka saya pun kembali menghentikan kegiatan pembelajaran untuk membahas hal tersebut.
“Betul Nak, kalian makan permen?” saya bertanya kepada C dan D.
Mereka tidak menjawab, namun pergi ke luar kelas untuk membuang sisa permen. Setelah mereka masuk, saya meyakinkan “berarti betul ya, kalian makan permen?”, mereka pun tersenyum.
“Oke, anak-anak sebetulnya makan permen itu boleh gak sih?”
“Boleh miss”, “Gak boleh miss”, jawaban siswa beragam.
“Boleh” saya katakan. “Namun, kapan waktunya untuk makan permen?”
“Di jam istirahat atau di rumah miss”, jawab salah satu siswa.
“Betul sekali. Jika makan di jam istirahat, maka kemasannya tetap ditinggal di rumah ya!” (karena peraturan di sekolah kami tidak memperkenankan siswa membawa bekal kemasan ke sekolah, melainkan dipindahkan terlebih dahulu ke dalam kotak makan)
“Nah, kan seharusnya makan permen itu di jam istirahat, sementara apakah sekarang sudah jam istirahat?”
“Beluum miss”, jawab anak-anak kompak.
“Artinya, jika kalian makan di jam IPA, maka kalian menggunakan jam IPA untuk beristirahat. Betul?”
Beberapa siswa tampak bingung, saya pun menjelaskan ulang hingga mereka paham bahwa jika mereka makan di jam pelajaran, artinya mereka menggunakan jam pelajaran tersebut untuk beristirahat. Setelah semua paham akan konsep tersebut, saya melanjutkan bertanya, “Jadi, jika kalian menggunakan jam pelajaran untuk makan, kira-kira konsekuensi yang adil bagaimana ya?”
Salah satu siswa menjawab “menukar jam istirahatnya dengan belajar berarti miss”
“Naah.. betuul.. bagaimana C dan D, tadi kalian makan permen kira-kira berapa menit?” saya bertanya kepada siswa yang tadi makan permen.
“Sekitar lima menit lah miss” siswa C menjawab.
“Oke, artinya kalian menukar waktu istirahat kalian 5 menit di jam IPA, jadi nanti saat teman-temannya istirahat, kalian tetap belajar IPA dulu selama 5 menit, bagaimana? Adil tidak?”
“Adil miss” jawab anak-anak lain
Siswa C dan D pun mengangguk tanda setuju.
Setelah selesai masalah permen, kegiatan pun dilanjutkan.
Tidak lama kemudian, saat saya mendekati salah satu kelompok yang tampak berselisih, salah satu anggota kelompok melaporkan “Miss, tadi si Y mengejek si Z miss, mengatakan kalau Z bodoh”
Saya pun mengonformasi informasi tersebut langsung kepada Z. siswa Z tidak langsung mengatakan “iya” melainkan menjawab “abis tadi si Y gak mau nulis miss”
Saya kemudian mengajak siswa Z untuk berdiskusi di luar. Kegiatan di kelas didampingi oleh guru kelas.
“Nak, memangnya bodoh itu apa sih?”, siswa Z hanya terdiam.
“Miss Iin itu tidak bisa menggambar dengan baik, kalau miss Iin menggambar, hasilnya sering terlihat aneh, apakah menurut kamu Miss Iin bodoh?”, siswa Z menggeleng.
Begitu seterusnya, saya ajak siswa Z berdiskusi dengan pertanyaan-pertanyaan logis, yang pada akhirnya ia menyadari bahwa tidak ada manusia bodoh. Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setelah ia memahami dan sadar, saya kembali bertanya
“Sekarang, apa yang sebaiknya kamu lakukan terhadap siswa Y?”
“Meminta maaf Miss”, kata siswa Z.
“Lalu, setelah dimaafkan, baiknya bagaimana Nak? Kamu kan sudah berkata buruk kepada Y, sebagai gantinya berarti perlu berkata baik kepada dia, betul gak?”
“Iya Miss, tapi berkata baik apa Miss?” tanya siswa Z.
“Jika Y mau memaafkan kamu, berarti apa kebaikan Y?”
“ya berarti dia baik Miss” jawab siswa Z.
“Oke, berarti kamu meminta maaf, lalu jika sudah dimaafkan, kamu berterima kasih karena Y sudah baik hati, bagaimana?”
“Iya Miss” siswa Z setuju.
“Y, aku minta maaf yak arena tadi sudah bilang kamu bodoh”
“Iya, aku maafin, tapi jangan diulangi lagi ya!” jawab siswa Y.
“Iya, terima kasih Y kamu sudah baik hati” ungkap siswa Z.
Waktu 2 jam pelajaran pun berlalu begitu cepat. Kegiatan pembelajaran IPA di hari itu memang tidak banyak, namun saya tetap merasa mereka belajar banyak hal.
Di lain kesempatan, ketika salah satu siswa ditunjuk untuk menjawab pertanyaan, siswa Q tiba-tiba berkata “mampus” dengan suara lantang dan terdengar siswa lain di kelas.
Saya pun kembali menghentikan pembelajaran untuk membahas kata-kata tersebut. Ternyata, siswa Q menganggap bahwa kata mampus itu berarti “kapok”, beberapa siswa lain menganggap artinya “kasihan”, “sukurin”, dan lain-lain. Sebagian besar siswa tidak memahami makna kata “mampus”, namun mereka sering mendengar atau menggunakannya untuk mengolok-olok teman.
Salah satu siswa dengan suara pelan kemudian menjawab “mampus itu kan artinya mati”
“haaaah?” serentak Sebagian besar siswa kaget. Rupanya mereka baru mengetahui bahwa “mampus” artinya adalah “mati”
“Iya betul Nak, mampus itu artinya mati. Jadi jika berkata mampus kepada teman, artinya kalian seolah-olah mendoakan temannya untuk mati” saya tegaskan.
“haah? iih jahat!” salah satu siswa berkomentar. Siswa O pun tampak sangat terkejut.
Setelah memahami, anak-anak pun sepakat untuk tidak lagi menggunakan kata tersebut. Semoga saja istiqomah. 😊
Begitulah kira-kira suasana awal tahun ajaran di kelas saya. Tidak jarang saya memberhentikan kegiatan belajar IPA untuk membahas hal-hal semacam itu. Tidak menghakimi, bukan menghukum, namun mengajak mereka berdiskusi dan berpikir logis. Berusaha untuk tetap memanusiakan hubungan.
Menurut saya, tidak melulu soal kompetensi kognitif atau psikomotorik, melainkan juga kompetensi afektif, yaitu sikap sosial dan sikap spiritual yang tak kalah pentinya untuk dibangun atas dasar pemahaman, kesadaran, bukan ancaman, atau rasa takut terhadap hukuman.