Sepakat, Murid Rikat

SEPAKAT, YUK!

Awal masuk tahun pelajaran adalah awal untuk membuat sesuatu yang lebih baik. Khususnya terkait dengan kedisiplinan. Biasanya sekolah akan membuat aturan untuk dipatuhi oleh semua warga sekolah. tak terkecuali siswa. Mereka akan diberi aturan yang wajib mereka patuhi, jika melanggar akan mendapat sanksi. Yang terkadang sanksi tersebut tidak ada kaitaannya dengan pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Tujuannya baik, yakni berharap anak-anak bisa tertib dan disiplin. Tapi faktanya aturan hanyalah teks kertas yang ditempel di dalam kelas. Yang hanya dipahami dan dipatuhi oleh sebagian siswa. Yang lain tetap dianggap liar tidak terkendali. Karena seringkali aturan itu dibuat sepihak, tanpa menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Sebagian anak patuh karena terpaksa, takut dihukum. Seringkali kita lebih suka mengkritik kesalahan anak daripada menanggapi perilaku anak. Banyak guru yang beranggapan bahwa tertib itu diam, Tidak ramai, tidak bermain di dalam kelas, semua murid patuh dan taat dengan aturan kelas. Tapi bagi saya itu aneh dan justru membuat saya tidak nyaman jika proses pembelajarn yang saya lakukan berjalan searah. Tenang mereka itu semu, karena mereka takut jika ada guru di dalam kelas. Bagi saya, ramai itu seru, ramai itu bahagia. Asal kita bisa mengelola keramain tersebut pada batasan yang bisa kita terima bersama. 

Memang, berbicara dengan anak kelas 4 MI yang belum terbiasa dilibatkan dalam musyawarah untuk membuat kesepakatan sebelumnya menjadi kendala tersindiri bagi saya. Untuk apa kita membuat kesepakatn kelas yang akan kita patuhi bersama-sama. Dengan harapan dari hal kecil yang berulang mereka lakukan, akan bisa menjadi budaya kebaikan yang tertancap dalam diri anak. 

Oleh karena itu di hari pertama masuk kelas, kita checking kesiapan dulu. Baik dari kelengkapan bangku, buku dan semangat anak berada di kelas 4. Kita bercerita tentang kegiatan selama liburan madrasah. Mereka sangat antusias bercerita dan saling bergantian mendengar dan bertanya satu sama lain. Dari situ saya masukkan agenda untuk pertemuan kedua. Yaitu membuat kesepakatan kelas. Anak-anak saya minta untuk memikirkannya di rumah hingga kembali ke madrasah esok hari. 

Tibalah saat kita bertemu. Anak – anak sudah sangat antusias mengajak saya masuk kelas. Kita mulai dengan do’a bersama dan memulai diskusi yang sudah kita rencanakan bersama untuk membangun kesadaran akan tujuan, mengembangkan cara dan kebiasaan bersama untuk mencapai tujuan dengan melibatkan anak. Ada beberapa hal yang saya tenyakan kepada anak-anak. diantaranya adalah :

  1. Bagaimana tata ruang (bangku) yang nyaman untuk mereka?
  2. Bagaimana cara agar kita bisa memahami kondisi, perasaan dan kebutuhan anak?
  3. Bagaimana cara membangun suasana yang kondusif?
  4. Bagaiamana cara kita agar bisa disiplin dan menghadapi perilaku yang melanggar?

Dari pertanyaan yang saya tulis di papan, anak mulai menuliskan kelas yang mereka impikan. Diantara jawaban mereka adalah mereka menginginkan, kelas yang tertib, kelas yang aman, kelas yang rapi, damai, bersih, indah, harum. Teman yang baik dan rukun. Dari jawaban yang saya peroleh dari anak-anak tersebut, saya kembalikan lagi dengan meminta penjelasan. Jika ingin kelas yang tertib apa yang harus kita lakukan? Jika ingin kelas yang aman apa yang harus kita lakukan? Jika ingin kelas yang rapi apa yang harus kita lakukan? Dan seterusnya. Anak – anak saya minta untuk menulis kembali apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kelas agar terwujud kelas impian kita bersama. Diantara jawaban yang mereka tulis adalah tidak boleh merusak benda yang ada di kelas, tidak boleh membuang sampah sembarangan, tidak boleh mencoret – coret kelas, tidak boleh memecah kaca jendela, tidak boleh berkata kasar, tidak boleh sombong, tidak boleh mengejek teman dan tidak boleh bertengkar. 

Setelah kita tulis dan menempel hasil tulisan kita, Ada murid yang bertanya, “Apa sanksinya jika ada yang melanggar bu?’. Sebelum kita melanjutkan diskusi tentang pelanggaran, anak-anak saya jelaskan terlebih dahulu. Untuk mengganti kata sanksi dengan konsukensi. Jadi setiap pelanggaran akan ada konsekensinya masing-masing. Contoh, tidak sama konsekuensi dari yang melanggar terlambat masuk kelas dengan yang melanggar bertengkar bersama teman. Jadi , untuk membuat konsukensi itu harus berhubungan dengan apa yang mereka lakukan, harus tetap bisa menghargai kesalahan yang dilakukan oleh teman, dan menerima alasan sehingga kita bersama bisa membantu menemukan solusinya. Misal, anak terlambat masuk kelas setelah jam istirahat. Kita cari tahu, mengapa harus datang tepat waktu saat jam pelajaran beralngsung? Agar tidak tertinggal pelajarannya. Kemudian kita tanya alasan anak terlambat masuk kelas. Ternyata karena saat istirahat, anak bermain terlalu jauh dari area sekolah. Maka solusinya adalah bermain di area sekolah saja, meskipun jam istirahat. 

Alhamdulillah, setelah kesepakatn itu kita tempel di dinding kelas sebagai pengingat kita semua, terjadilah perubahan dengan seketika. Mereka antusias saling mengingatkan jika ada anak yang masih melakukan kesalahan, saling membantu antar satu dengan yang lain. Semoga kita semua bisa konsisten terhadap tujuan kita. Harapan saya, dari hal kecil yang kita lakukan berulang, bisa menjadi budaya yang menancap pada karakter anak didik kita. 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top