Siang itu cuacanya sangat panas dan terik, menuntun saya melangkah ke arah kantin sekolah untuk membeli sebotol air mineral dingin. Namun, saya terhenti melihat kondisi yang tak lazim dilihat. “Subhanallah, kok koridor jadi kotor dan berantakan seperti ini? Em, siapa ya, yang membuang sampah kemasan ini tidak pada tempatnya?” Tanya saya dalam hati.
Melihat kejadian tersebut, pikiran saya sangat terganggu seharian penuh. Sampai akhirnya, saya tersadar jika hanya berpikir siapa dan mengapa peristiwa itu bisa tejadi, pasti tiada ujung karena tidak ada yang berani mengakuinya. Namun, saya terus mencari cara bagaimana caranya agar murid-murid bisa menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Sampai suatu hari di awal semester dua, saya sebagai seorang guru prakarya dan kewirausahaan (PKWU) dituntut untuk memiliki kreativitas yang lebih dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya kembali teringat akan kejadian koridor yang kotor dan berantakan oleh sampah kemasan makanan ringan tersebut. “Wah, kebetulan sekali! Materi semester dua ini berkaitan dengan kerajinan limbah berbangun ruang, sepertinya bisa saya kaitkan dengan budaya membuang sampah.” Ujar saya dalam hati.
Seperti biasa, ilmu yang saya dapat selalu membuat saya bersemangat untuk menerapkannya. Begitu juga dengan ilmu yang sudah saya peroleh pada modul-modul di Sekolah.mu. Hal pertama yang saya lakukan di pertemuan semester dua adalah menerapkan kesepakatan kelas. Saya memberikan sticky note ke murid-murid dan bertanya tentang kelas PKWU, apa yang mereka inginkan untuk semester dua dan bagaimana dengan tujuan pembelajaran yang mereka mau. Saya melihat kegembiraan dan keceriaan di wajahnya, karena ini merupakan hal baru yang mereka lakukan selama belajar. Mereka sangat antusias menempel ide atau gagasan di papan tulis. Ya, kesepakatan kelas PKWU serta tujuan pembelajarannya telah terbentuk dan kami senang dengan kesepakatan tersebut.
Kembali lagi soal sampah yang berserakan di koridor tadi, sebagai seorang guru PKWU saya merasa tertantang untuk mengatasi kondisi ini. Saya memutar otak bagaimana caranya agar sampah kemasan jajan tersebut tidak lantas dibuang sembarangan atau langsung dibuang ke TPA oleh petugas kebersihan sekolah. Sampah memang menjadi persoalan yang tiada berujung. Meski terdapat banyak tong sampah ataupun bank sampah di sekolah, tetapi pengelolaannya kurang baik sehingga tetap menjadi masalah. Kebersihan lingkungan sekolah adalah tanggung jawab semua warga sekolah bukan hanya petugas kebersihan sekolah. Salah satu cara yang saya lakukan adalah menantang murid-murid untuk menjadikan sampah kemasan tersebut menjadi sebuah karya kerajinan.
Saya memberikan stimulus kepada murid-murid di kelas tentang “Apa arti sampah dan bagaimana efek yang ditimbulkan?” melalui pertanyaan-pertanyaan pemantik. Beberapa anak ada yang bersemangat untuk menjawab, ada yang hanya duduk diam dan malah terlihat bosan.
“Wah ini tidak sesuai harapan saya, anak-anak masih belum setarus persen nih semangat belajarnya.” Dalam hati saya berkata.
Ya, saya harus putar otak lagi sebelum menuju ke target sasaran. Akhirnya, saya memutar otak untuk memberikan treatment yang berbeda kepada mereka. Saya berikan beberapa cemilan kemasan besar untuk dimakan bersama. Mereka sangat antusias dan menikmati cemilannya tersebut. Sampai pada akhirnya yang tersisa hanyalah sampah kemasan cemilan. Beberapa anak membuang langsung ke tempat sampah dan ada yang hanya tetap meletakkannya di atas meja mereka.
Kemudian, saya bertanya “Nak, apa pendapatmu jika sampah kemasan cemilan itu selalu berada di atas mejamu?”
Lalu mereka menjawab “Ya, tidak mau, Bu. Masa saya belajar dengan sampah. Saya akan buang ke tempat sampah, Bu.”
Sambil terseyum saya berkata lagi “Yakin, mau dibuang? Itu uang lho!” Mereka semua melogo mendengar ucapan saya.
Saya memberikan penjelasan bahwa sampah kemasan cemilan yang mereka punyai itu bisa menjadi bahan utama untuk membuat kerajinan. Dari sinilah, murid-murid mulai bersemangat, karena kekepoan mereka antara sampah dan uang. Tak lama setelah memberikan stimulus kedua, saya meminta murid-murid untuk membentuk kelompok yang jumlah anggota yang sama tiap kelompok. Mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi tentang kerajinan apa yang sekiranya bisa dibuat dari sampah kemasan cemilan tadi. Hal ini berkaitan dengan materi PKWU tentang kerajinan limbah berbangun ruang. Saya meminta dua kerajinan dari satu kelompok.
Saya tercengang dengan ide-ide yang mereka lontarkan pada kertas warna-warni merekat itu. Mayoritas pendapat mereka tentang ecobrick. Menurut zerowaste.id, “Ecobricks adalah “Eco” dan “brick” artinya bata ramah lingkungan. Ecobrick adalah botol plastik yang diisi padat dengan limbah nonbiological untuk membuat blok bangunan yang dapat digunakan kembali. Eco-batu bata ini adalah teknologi berbasis kolaborasi yang menyediakan solusi limbah padat tanpa biaya untuk individu, rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.”
Lantas bagaimana dengan pembelajaran tadi?
Saya berdiskusi dengan murid-murid untuk membuat sesuatu yang baru yang mirip dengan ecobricks tadi. Mereka berdiskusi sengit kembali. Ada yang ingin membuat meja, kursi, dan furniture lainnya. Melihat kegelisahan mereka, akhirnya saya memberikan saran. “Jika kelas lain sudah membuat kursi dan meja dari ecobricks mengapa kalian tidak membuat aksesoris pendukungnya saja? Contohnya vas, bantal, kain penutup, dan lainnya.” Ujar saya sambil tersenyum.
“Bantal!” Ujar mereka dengan kompak berteriak. Kesepakatan kelas pun kembali terjadi. Mereka sepakat untuk membuat bantal dari sampah kemasan cemilan yang ada dilingkungan sekolah sebagai proyek kerajinan kali ini. Begitu pula dengan waktu pergerjaannya dan segala hal yang berkenanan dengan proyek kerajinan ini. Mereka sepakati bahwa pengerjaan kerajinan ini selama 2 bulan dan 1 bulan lainnya untuk keperluan revisi, editing video, dan sebagainya. Durasi pengerjaan ini disepakati, karena mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing murid.
Ada beberapa tahapan yang harus mereka lakukan dalam proyek ini. Dimulai dari tahapan yang pertama, yaitu mencari informasi. Sejak hari itu juga mereka sudah melaksanakan tugas dengan mencari informasi tentang macam plastik sampah kemasan cemilan yang bisa dijadikan bahan utama yang terdapat di sekitar lingkungan sekolah. Setelah itu, tahapan berikutnya adalah mereka berdiskusi dengan kelompoknya tahapan perencanaan dan perancangan produk. Mereka berkolaborasi satu sama lain di dalam kelompok mereka bahkan sesekali ada anggota kelompok yang membantu kelompok lainnya. Sungguh indah melihat kolaborasi dan gotong royong yang mereka terapkan. Saat mereka mengerjakan proyek tersebut, saya berbincang santai mengenai belajar mereka di kelas atau mengenai kehidupan mereka.
Setelah sebulan pengerjaan, saya kembali mengecek perkembangan proyek mereka dan benar saja di sini mulai ada konflik-konflik kecil antaranggota kelompok. Salah satu contohnya, kelompok 3 yang terdiri dari enam orang, dua di antaranya memberitahu saya, bahwa keempat anggota teman yang lainnya tidak melaksanakan kesepakatan dengan baik. Akhirnya, saya memanggil semua anggota kelompok tersebut dan menanyakan perkembangan, seolah-olah saya belum mengetahui masalah yang timbul. Pada saat saya menanyakan kepada keempat anggota yang bermasalah mengapa mereka belum bisa melaksanakan kesepakatan dengan baik, dua murid mengatakan bahwa ia tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakannya, karena banyak tugas mapel lainnya. Dua orang lainnnya beralasan mereka sudah mengerjakan tetapi hanya sedikit. Setelah menyampaikan alasan mereka masing-masing, saya melanjutkan berdiskusi dengan keempat murid tersebut untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara tidak menghakimi dan tidak memberikan hukuman. Alhamdulillah, dengan metode coaching, saya dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di dalam kelas tersebut, serta murid-murid yang bermasalah bisa memperbaiki apa yang harus diperbaiki tanpa merasa tertekan dan dipaksa.
Alhamdulillah, seperti kesepakatan waktu yang sudah disepakati, tiga bulan adalah proses mereka untuk menyelesaikan proyek ecobricks versi bantal. Kami memberi nama proyek ini dengan nama BANTAL AESTHETIC. Ya, BANTAL AESTHETIC adalah bantal yang dibuat dari sampah/limbah kemasan cemilan yang dipotong-potong kecil. Potongan tersebut, sebagai pengganti isian bantal seperti kapuk/dacron. Bantal daur ulang ini sangat nyaman, karena tidak panas dan tidak mudah kempes seperti bantal pada umumnya. Murid-murid sangat menikmati proses proyek ini dan banyak dari mereka yang ingin membuat ulang di rumah untuk orangtua mereka atau kerabatnya.
Bahagia dan seru, itulah kata yang terlontar dari murid-murid saat saya menanyakan bagaimana perasaan mereka selama mengerjakan proyek ini. Seperti biasa, setiap kali selesai pembelajaran saya selalu meminta mereka untuk memberikan refleksi. Untuk pameran, belum bisa dilakukan mengingat kepala sekolah dan pihak kesiswaan meminta untuk memamerkan karya mereka ini disaat HUT sekolah pada tapel 2022/2023 mendatang.
Pelajaran yang dapat diambil dari proyek ini adalah melaksanakan kesepakatan kelas yang baik, karakter anak yang menjadi lebih baik, kolaborasi yang apik antarmurid, inovatif, dan hal terpenting adalah pembelajaran yang menyenangkan. Salam dan bahagia untuk semua murid dan guru hebat di Indonesia. Sekali merdeka, tetap merdeka belajar.
https://www.instagram.com/p/Cd5K6NtJ1ux/?igshid=YmMyMTA2M2Y=
https://www.instagram.com/p/CbRDbGEJ4jK/?igshid=YmMyMTA2M2Y=
https://www.instagram.com/p/CcP8GYuJAUA/?igshid=YmMyMTA2M2Y=
https://www.instagram.com/p/Cb983QbJ8x7/?igshid=YmMyMTA2M2Y=
https://www.instagram.com/reel/CfOwXCfJi72/?igshid=YmMyMTA2M2Y=