PROSES PANJANG MERDEKA BELAJAR
Penulis:
Nurkamilah Abdul Halim
SDN 1 Karangampel Kidul, Indramayu
“Saya bukan guru sempurna, tapi saya guru yang selalu belajar.” Kalimat ini begitu menggugah benak saya.
Sebelumnya, saya merasakan tantangan yang menguras emosi. Saya sadar, sebagai guru banyak memiliki kekurangan. Saya ingin menjadikan kelas sebagai tempat yang menyenangkan. Ketika murid saya banyak yang malas sekolah, berarti saya gagal membuat kelas yang dirindukan. Hampir 3 tahun saya merasakan kegagalan mengajar di kelas. Saya merasa murid saya tidak lagi membutuhkan saya. Saya merasa menjadi guru yang menyebalkan, menakutkan, membosankan. Rasanya sudah ingin pensiun muda saja.
Bukan berarti pada saat itu saya tidak berusaha. Saya sudah coba mengikuti berbagai komunitas di media sosial yang anggotanya para pendidik, bahkan beberapa grup dari luar negeri, walaupun saya tidak begitu paham bahasanya, tapi saya senang saja mengikuti diskusinya.
Saya juga mengikuti beberapa grup organisasi profesi yang getol menyelenggarakan pelatihan digital learning, beberapa berbayar dan sebagian besar yang lain gratis. Setiap pekan selalu ada aplikasi digital dan materi baru, mulai dari absen dengan android sampai membuat buku digital. Dari pembuatan asesmen berbasis android sampai cara membuat perintah bot di telegram. Sampai kemudian saya kelelahan mengejar apa yang mereka ajarkan,
Kemudian saya tersadar, semua yang saya pelajari ini tidak semua bisa saya gunakan di kelas, tidak semua cocok dengan kondisi murid saya. Dan tidak selalu dibutuhkan murid saya.
Akhirnya saya mulai mundur teratur dari pelatihan-pelatihan tersebut. Mencoba peruntungan lain, saya belajar menggunakan berbagai kuis. Mulai dari kuis mencocokkan gambar, Teka-teki silang sampai permainan digital yang dimodifikasi dengan materi pelajaran. Ini pun tidak terlihat memuaskan. Mereka hanya tertarik dengan poin yang mereka dapat dan berebut menjadi pemenang, tetapi mengabaikan konten pelajarannya.
Saya masih berpikir pembelajaran dengan menggunakan teknologi akan lebih disukai murid, karena melihat kecenderungan mereka yang menyukai game di gawai mereka. Ternyata apa yang sudah saya lakukan tidak selalu sesuai dengan tujuan belajar.
Saya termasuk orang yang tidak mudah puas, ketika saya merasa yang saya lakukan gagal saya tidak berhenti begitu saja. Saya masih terus mencari pelatihan-pelatihan yang saya anggap menarik. Suatu hari saya menemukan tawaran pelatihan dengan judul Joyful learning in mathematics education. Wah, ini yang saya cari dalam hati. Tetapi syarat pelatihan ini tidak mudah, karena pesertanya adalah guru se Asia Tenggara, maka peserta diwajibkan memiliki sertifikat TOEFL dan tes wawancara berbahasa inggris. Syarat ini bagi saya tidak mudah, tetapi saya guru ngeyel. Saya hanya berpikir, saya harus mencoba, jikapun gagal saya tidak akan malu, karena mereka tidak kenal saya, dan saya yakin saya tidak gagal sendirian, banyak juga yang akan gagal.
Apakah lalu saya lulus? ternyata tidak. tahun pertama saya mendaftar, saya hanya lolos di tahap administrasi, tes wawancara belum berhasil.
Tahun berikutnya, ketika pandemi mulai melanda, lagi-lagi pelatihan ini diselenggarakan dengan syarat yang sama. Saya kembali mencoba mendaftar. Lolos seleksi administrasi, wawancara kembali gagal. sedih juga tapi saya sadar memang saya tak pandai berbahasa lisan. Tak disangka beberapa waktu kemudian saya dihubungi pihak Seaqim dan menanyakan kesediaan saya mengikuti pelatihan tersebut, tentu saja saya langsung mengiyakan. Untuk menjawab kepenasaranan, saya tanyakan mengapa saya pada akhirnya dipanggil, lalu pihak panitia menjawab, karena ada peserta yang mengundurkan diri.
Saya sangat bersyukur, apapun kejadiannya ini rejeki saya, dan mungkin Allah mengabulkan doa saya, ikhtiar saya.
Dari pelatihan ini saya mendapat banyak pencerahan, tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengajarkan matematka di kelas, bagaimana mengasesmen hasil pembelajaran dan bagaimana sebaiknya memberikan umpan balik dari jawaban murid. Saya juga belajar bagaimana teknologi bisa dimanfaatkan sebagai sarana belajar, bukan kita yang dimafaatkan oleh teknologi.
Selang beberapa bulan berikutnya, saya mendaftar pula program wardah Inspiring Teacher dan Alhamdulillah diterima sebagai peserta. Di Program ini saya mendapatkan pengenalan modul belajar yang merdeka. Modul pelatihan yang berkenaan dengan membuat pembelajaran di kelas lebih bermakna. Di sini saya mendapatkan penjelasan lebih detil tentang persiapan yang harus dilakukan guru sebelum membuat media belajar. Bahwa media belajar yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan murid, baik menurut guru belum tentu dibutuhkan murid. Di program ini pula saya dikenalkan dengan surat kabar merdeka belajar, dan webinar-webinar yang rutin diselenggarakan Kampus Guru Cikal.
Saya mulai mengenal asesmen diagnostik. asesmen yang dilakukan sebelum kegiatan belajar di mulai, untuk mengetahui pengetahuan awal yang sudah dikuasai murid, minat dan bakat murid dan cara belajar murid.
Sambil terus mengikuti program-program lain yang disediakan sekolah.mu, saya mulai mempraktikkan ilmu yang saya dapat. Belajar mempraktikkan 5M. Paling awal saya tertarik dengan prinsip memanusiakan hubungan. Salah satunya dengan melakukan asesmen diagnostik, saya membagikan isian berupa Google Form. Dari data tersebut saya mendapatkan gambaran hobi dan minat murid, juga pengetahuan awal yang sudah dikuasai mereka. Data ini kemudian saya gunakan untuk menyusun rancangan pembelajaran selanjutnya. Saya juga menyempatkan diri mengobrol disela-sela jam istirahat dengan murid-murid, bahkan saya bergabung dengan permainan mereka, belajar bagaimana mereka memainkan permainan tersebut. Sambil bermain, saya bisa menanyakan hal-hal yang mungkin selama pembelajaran masih belum terbuka.
Percobaan pertama ini saya anggap cukup berhasil, murid-murid lebih berani mengungkapkan idenya. terbukti dengan refleksi yang rutin saya lakukan murid-murid berani meminta jeda/ice breaking setiap pukul 08.00, dan pukul 10.00. Mereka juga berani mengungkapkan ide belajar yang mereka inginkan. Saya belajar menerima kegagalan, dan saya menularkannya pada murid-murid bahwa gagal itu hal yang biasa dalam belajar.
Saya mempraktikkan pembelajaran berbasis projek, dan ternyata murid antusias melakukannya. Misalnya ketika murid belajar tentang tema kalor, saya memberikan tantangan membuat kompor, mereka mencari sendiri ide bentuk dan bahan pembuat serta bahan bakarnya. Hasilnya dibuktikan dengan menggunakan kompor tersebut untuk memasak. Lalu muncul juga ide membuat es krim. Setiap akhir kegiatan selalu saya sisipkan sesi refleksi agar mereka lebih memahami kelebihan dan kekurangan projek yang mereka buat dan lebih menghargai jerih payah mereka sendiri.
Di pelajaran matematika, saya melihat banyak murid yang tidak menguasai perkalian dasar, maka saya buatkan papan perkalian dengan angka hasil perkalian dituliskan di tutup botol bekas minuman. Saya juga mengenalkan perkalian dengan cara Napier bone, perkalian dengan jari tangan dan lainnya. sehingga murid merasa terbantu kesulitannya.
Beberapa murid yang awalnya merasa terintimidasi oleh matematika, perlahan membuka diri. Napier Bone menjadi alat paforit mereka menyelesaikan perkalian. Katanya gak ribet. Mereka mengatakan lebih nyaman ketika asesmen tidak lagi menggunakan ulangan tertulis. “Enak, ga usah ngapalin.” celetuk Koko. Atau ketika asesmen saya buat individual Aegista bilang, “enak gini Bu, jadi kita ga usah nyontek ke temen karena soal dan caranya beda.”
Saya juga menanamkan konsep dengan bertahap. Ketika ada murid bertanya tentang volume tabung, saya mengenalkan mulai dari ciri dan komponen lingkaran, sampai mereka paham betul mana radius dan mana diameter. Baru setelah itu menghitung keliling lingkaran dengan menggunakan pita dan meteran. mengenalkan pi dan seterusnya. saya tidak mau lagi terjebak dengan mengejar materi. Saya ingin murid saya mengerti apa yang mereka pelajari sangat berguna bagi kehidupannya.
Saya masih harus banyak belajar. Saya masih terus mengikuti webinar dan pelatihan, karena saya ingin menjadi guru yang baik buat murid-murid saya. Hanya guru yang mau belajar yang berhak mengajar.