Pada awal menjadi kepala sekolah, saya berambisi memajukan sekolah secara umum, termasuk penguasaan seluruh mata pelajaran oleh murid, ditandai dengan perolehan nilai yang tinggi. Saya menekankan kepada semua guru bahwa murid harus mendapat nilai yang baik dan menguasai seluruh materi pelajaran, dapat menghafal materi-materi pelajaran. Saya beranggapan bahwa murid dikatakansukses belajar ketika menguasai materi pelajaran.
Hal tersebut saya lakukan karena sebagai sekolah swasta kami harus memiliki keunggulan dibandingkan dengan sekolah negeri, terutama dalam aspek kognitif. Murid yang unggul dalam penguasaan materi pelajaran akan menjadi kebanggaan sekolah dan orang tua.
Selain itu, ada tuntutan orang tua yang kerap membandingkan anaknya dengan anak lain dalam hal penguasaan penguasaan materi pelajaran. Di kelas rendah kemampuan dalam hal perkalian dan membaca sering menjadi bahan perbandingan.
Kami bangga ketika murid kelas 1 tampil dengan lugas menghafal perkalian atau lancar membaca. Tidak jarang, kami melabeli murid yang tidak hafal perkalian atau tidak lancar membaca sebagai murid yang bodoh.
Langkah yang saya ambil mengundang sejumlah masalah. Muncul perlakukan yang seragam kepada guru dan murid. Padahal, sebagai individu, guru dan murid memiliki perbedaan dari segi gaya belajar dan mengajar, kondisi fisik dan kesehatan, suasana emosi, dan perbedaan–perbedaan lainnya.
Sampai tahun kedua kepemimpinan saya, situasi dan kondisi sekolah bukannya bertambah baik dan kondusif. Permasalahan baru datang. Tuntutan yang saya berikan membuat ruang-ruang kelas tidak menggambarkan sebagai tempat orang yang belajar. Keceriaan guru dan murid tidak terihat. Dengan wajah kusam dan muram, mereka harus menuntaskan materi pelajaran dan menguasainya. Tiada waktu tanpa belajar dengan serius (tegang). Kesempatan lagi berdiskusi tergerus. Tak terdengar suara tawa murid. Yang terdengar hanya suara guru yang berbusa- busa memberi penjelasan.
Apalagi ketika dibentuk kelas olimpiade sains. Banyak murid yang stres. Mereka menganggap materinya terlalu sulit.
Bagi guru dan murid, dua tahun kepemimpinan saya adalah neraka. Prestasi sekolah stagnan, tidak meningkat. Keakraban dan hubungan sosial tidak terpelihara dengan baik karena diselimuti aura kompetisi antarguru.
Memasuki tahun ketiga, saya mulai menyadari bahwa sekolah yang maju tidak bisa hanya diukur dengan prestasi akademik. Akhirnya, beberapa terobosan baru saya lakukan. Kami memetakan kegemaran murid. Kami juga memetakan keahlian-keahlian guru. Kegiatan ekstrakurikuler digiatkan. Jenis kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksankan sesuai dengan minat dan permintaan murid.Pada sore hari, sekolah mulai oleh kegiatan ekstrakurikuler.
Murid dan guru sangat senang. Mereka merasakan kemerdekaan dalam belajar ataupun mengajar. Mereka senang karena melakukan sesuatu yang merupakan kegemarannya. Tidak ditemukan lagi-wajah-wajah murung karena dipaksa menghafal materi pelajaran.
Dampaknya terasa. Dalam beberapa perlombaan, sekolah kami masuk menjadi nominasi juara. Sebelumnya, hal seperti ini belum pernah mereka rasakan. Saya percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah dengan optimalisasi kompetensi seseorang. Berdasarkan pengalaman itu, dibentuklah kelompok-kelompok sesuai dengan bakat dan minat murid.
Saya bersyukur, di tengah pandemi COVID-19 dan usaha merancang kemajuan sekolah, saya mengenal Program Sekolah Merdeka Belajar. Dalam kegiatan ini ada enam modul yang saya pelajari. Saya tertarik dengan Modul Pembelajaran Merdeka Belajar Berbasis Kompetensi. Sekilas tidak ada yang baru karena pernah berlaku Kurikulum Berbasis Kompetensi. Namun, substansinya berbeda. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, hakikatnya adalah penguasaan materi oleh murid sesuai dengan kompetensi kognitifnya. Sedangkan dalam modul yang saya pelajari berisi cara membangun aktivitas kinerja atau performa sekolah secara bebas dan terukur.
Mengikuti program SMB dan mempelajari modul tersebut semakin meyakinkan saya bahwa membina sekolah harus dikembalikan kepada kompetensi yang dimiliki warga sekolah. Hal tersebut akan melahirkan inovasi dan prestasi yang lebih baik.
Setelah kurang lebih dua bulan belajar di program SMB, menerapkan pembelajaran merdeka belajar berbasis kompetensi, dan mengaplikasikannya dalam amanjemen sekolah, ada beberapa perubahan signifikan. Setiap waktu, baik secara daring maupun luring, kami berdiskusi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan. Ternyata murid-murid lebih senang ketika guru tidak memaksakan cara yang dipakai dalam memberikan materi pelajaran. Murid mendapat kebebasan belajar sesuai dengan gaya belajarnya. Guru telah menyadari bahwa tujuan pendidikan bukan untuk mendapatkan nilai dan menguasai seluruh materi pelajaran, tetapi mempersiapkan kompetensi untuk belajar di jenjang yang lebih tinggi. Guru-guru telah menyadari bahwa tugas mereka adalah mempersiapkan mandiri untuk mandiri, tabah menghadapi kesulitan, dan cepat beradaptasi dengan perubahan.
Saya sangat berterima kasih diberi kesempatan belajar dalam Program Sekolah Merdeka Belajar.