Prime Talk: Menjawab Tantangan Pandemi

“Tidak ada guru yang hebat saat pandemi”, begitu seorang tokoh mengawali sebuah sesi. “Semua guru kembali ke-0. Mirip slogam perusahaan BUMN,” pungkasnya. Saya mengamini. Selama apapun seorang guru sudah mengajar. Seberapa banyak apapun pengalaman yang ia punya. Tetap saja semua itu nihil di masa pandemi.

Lha, bagaimana tidak. Apakah di antara kita ada guru yang pernah punya pengalaman mengajar di masa pandemi? Saya kira, tidak. Paling poll, punya pengalaman literatur tentang pandemi. Itupun tidak spesifik tentang menghadapi pandemi di bidang pendidikan. Lebih khusus lagi tentang proses pembelajaran. Sudah pasti kita harus rendah hati mengakui ketidakmampuan kita.

Apalagi, pandemi datang begitu cepat dan ganas. Semua tempat harus membatasi kegiatan di dalamnya. Tak jarang malah tempat tersebut ditutup. Sekolah-sekolah termasuk yang ada di dalamnya.

Kabarnya, ada sekolah-sekolah yang terpaksa menyerah pada pandemi gegara tak mendapat murid baru. Sementara, sekolah-sekolah yang ada masih terus mencoba bertahan dengan cara apapun. Adaptasi dengan menggandeng teknologi jadi pilihan paling manjur. Dalam situasi pandemi, nampaknya teknologi jadi panglima laiknya sedang perang.

Pandemi yang mengharuskan menjaga jarak, tidak boleh berkerumun, atau meminimalisasi interaksi langsung dapat disiasati oleh teknologi. Teknologi membantu memudahkan semua urusan, termasuk di bidang pendidikan. Syaratnya ada sinyal dan kuota.

Tetapi, memang tidak semua bisa menerapkan hal demikian. Ada kalanya, saudara-saudara kita di pedesaan malah memilih teknologi sederhana. Misalnya menggunakan radio, alat bantu komunikasi handy talky (HT). Yang penting proses pembelajaran tetap berjalan dengan pandemi. Sungguh, adaptasi yang tepat diperlukan dalam hal ini.

Berkaitan dengan adaptasi, saya dan rekan-rekan di sekolah sempat kelimpungan. Biasanya jika sekolah tatap muka, kami terbiasa dengan kegiatan sekolah yang sangat padat. Kegiatan-kegiatan tersebut khususnya bagi murid. Dari kelas I hingga VI, setiap bulan pasti memiliki kegiatan yang beragam dengan tujuan tetap memfasilitasi semua potensi murid.

Biasanya juga, saat berkegiatan selalu didukung oleh orangtua sehingga koordinasi antara guru dan orangtua berjalan pandemi. Namun saat pandemi, komunikasi sempat terbatasi. Mengurusi kegiatan dibatasi. Komunikasi orangtua dan guru otomatis mengandalkan percakapan tentang pembelajaran online saja.

Sedang kelimpungan begitu, muncul sebuah ide untuk tetap menyediakan ruang tampil bagi murid, guru, dan orangtua. Ruang itu virtual, bisa diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.Ruang tersebut membawa harapan bahwa meskipun proses pembelajaran terjadi dari tempat masing-masing, tetapi esensi belajar tetap bisa didapat.

Kemudia saya coba membuka percakapan. Saya mengajak beberapa guru untuk berbincang. Hal yang saya pertama kali utarakan adalah sebuah pertanyaan tentang perasaan mereka saat pandemi. Hampir semua yang saya ajak bicara ternyata punya keresahan yang sama. Akan tetapi kebanyakan mereka masih bingung untuk mengutarakannya, menganalisanya.

Perasaan-perasaan yang saya dapat, lalu dikumpulkan dan disintesa. Saya menemukan semangat saat kemudian muncul ide membuat sesuatu program yang baru. Sebuah program yang di dalamnya bisa menjadi ruang seperti yang sudah disebutkan.

Setelah berbincang dengan penuh dinamika, akhirnya terbentuk ruang baru tersebut bernama “Prime Talk”. Program ini lahir dengan semangat bahwa meskipun daring, tetapi semua masih harus tetap berjalan. Meskipun melalui jaringan, tetapi makna kegiatan yang dilakukan tetap tersampaikan.

Konsepnya, Prime Talk menjadi sebuah podcast milik sekolah kami. Di dalamnya terdapat tiga konten yang meliputi student projects, teaching experience, dan parent sharing. Student project merupakan kontenyang akan menampilkan murid sebagai narasumber. Narasumber berbagi tentang prosesnya saat mengerjakan sebuah proyek pembelajaran. Misalnya proyek penelitian dalam bidang sains atau proyek menulis buku.

Teaching experience mirip dengan berbagi praktik baik guru. Siapa saja guru, yang punya praktik baik bisa berbagi di prime talk dengan konten teaching experience. Sedangkan parent sharing isinya tentang para orangtua yang ingin berbagi tentang profesinya, pengalamannya, atau apapun saja yang mendukung pengembangan minat murid dan sekolah.

Di balik itu, terdapat tim yang terdiri dari pilot project, talent maping, content writer, cameraan, dan editor. Selama pandemi, pengambilan video dilakukan sekali dalam seminggu dengan jadwal yang sudah ditentukan. Setiap pengambilan video sudah dipastikan bahwa semua orang yang hadir telah mematuhi protocol kesehatan yang berlaku.Memang, awalnya semua itu terasa berat. Akan tetapi setelah dijalani, semua merasa bahwa yang dilakukan itu sangat bermakna. Program ini memicu kreativitas-kreativitas dari semua pihak yang dilibatkan.

 Hingga kemudian didukung oleh orangtua dan personal yang menjadi sponsor.

Hingga kini, episodenya sudah melebihi 30 dengan pengambilan gambar hampir 40 episode. Semua konten terisi dengan baik. Meskipun di sana-sini masih banyak yang perlu diperbaiki, tetapi sambil terus belajar bisa dilakukan.Prime talk menjawab tantangan pandemi dengan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai ruang tampil. Ternyata, semua hal yang baru harus dicoba saat pandemi, apalagi dalam konteks Pendidikan. Karena tidak ada guru yang hebat. Semua masih 0 dalam menghadapi pandemi. Pilihannya adalah kita mau diam dan menunggu pandemi pergi atau bergerak terus melawan pandemi dengan cara yang kita bisa lakukan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top