Porsi 30% Di Kurikulum Baru, Orang Tua Harus Paham Project-Based Learning

Project-based learning (PjBL) akan diterapkan setidaknya 30% dari keseluruhan proses belajar pada kurikulum baru, Kurikulum Merdeka. Ilona Christina, koordinator pengembangan program Yayasan Guru Belajar, mengatakan, orang tua memiliki peran penting dalam keberhasilan PjBL anak.

“Masih banyak orang tua yang ketika melihat anaknya belajar dengan PjBL malah bertanya ‘kok anak saya tidak belajar?’. Karena belajar yang ada di pikiran mereka adalah anak membaca buku lalu mengerjakan soal-soal,” ungkap Ilona saat ditemui pada Senin (23/05/2022).

Aktivis pendidikan yang pernah menjadi guru selama delapan tahun tersebut mengatakan, PjBL menekankan bagaimana anak bisa kritis terhadap permasalahan di lingkungan sekitarnya dan mencari solusinya.

Ia juga menegaskan, PjBL tidak fokus pada hasil akhir atau produk yang anak hasilkan melainkan prosesnya. Tidak sedikit guru yang sulit membedakan antara PjBL dengan mengerjakan proyek atau kerja praktik sehingga membuat orang tua ragu terhadap pentingnya PjBL.

“Kalau mengerjakan proyek gitu kan, apalagi kalau anak SD, orang tuanya yang ribet. Misalnya pelajaran IPA disuruh membuat roket dari bahan bekas. Kemungkinan besar yang membuat orang tuanya,” jelas Ilona.

Berbeda dengan mengerjakan proyek, PjBL, terang Ilona, memberikan kemerdekaan anak dalam proses belajarnya. Anak diberi kesempatan untuk menentukan proyek apa yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah yang mereka temukan. Sehingga anak merasa memiliki secara utuh proyek tersebut dan semangat mengerjakannya. Orang tua dan guru hanya perlu mendampingi.

PjBL Tidak Membutuhkan Biaya yang Besar

Akibat miskonsepsi, lanjut Ilona, seringkali Ia mendengar sulitnya PjBL dilaksanakan karena keterbatasan fasilitas di sekolah. Tidak jarang akhirnya kekurangan fasilitas tersebut dibebankan ke orang tua murid.

“Misalnya mengadakan pagelaran seni, karena fokus ke hasil akhir, pagelarannya harus megah. Ada panggung, lalu harus sewa kostum, dan kebutuhan lainnya. Butuh biaya yang banyak. Mungkin sekolah tidak ada fasilitas, sehingga orang tuanya yang diminta untuk urunan,” tukasnya.

Ilona menuturkan, PjBL seharusnya bisa dilaksanakan bahkan dengan fasilitas yang minim. Ia menceritakan pengalamannya saat dulu menerapkan PjBL pelajaran agama yang mana kebutuhan biaya malah meningkatkan kreativitas murid untuk mencari dana.

“Waktu itu setelah anak-anak mengamati keadaan sekitarnya, kami memutuskan untuk melaksanakan social project. Memang butuh biaya, tapi itu bukan fokusnya. Fokusnya adalah karena ini social project maka butuh dana, lalu bagaimana solusinya,” terang Ilona.

Saat itu, kenang Ilona, murid-muridnya merancang beragam solusi untuk menghimpun dana. Beberapa murid ada yang menjual koran bekas, berkreasi untuk membuat dan menjual stiker LINE, masak lalu dijual, dan masih banyak lagi sesuai dengan kemampuan masing-masing.

“Untuk orang tua dan guru tidak perlu takut menerapkan PjBL karena kebutuhan biaya. Kalau sampai butuh biaya besar itu mungkin bukan PjBL. Seperti social project ini, fokusnya bukan pada berapa dana yang terkumpul tapi bagaimana membangun empati anak pada masalah di lingkungan sekitarnya dan meningkatkan rasa peduli untuk turut terlibat menyelesaikannya,” tutup Ilona. (YMH)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top