PENDIDIKAN KARAKTER
Saya awali tulisan ini dengan sebuah kejadian nyata. Seorang kawan saya, berbagi kisah pengalaman anak didiknya di Sekolah Dasar. Alkisah, ada seorang rekan gurunya yang relatif masih baru, masuk ke sebuah kelas. Ia mengajar IPA. Pada rentang beberapa hari ketika itu, ia sedang mengajar tentang tumbuh-tumbuhan. Pada satu kesempatan mengajar jam pertama, di tengah pembelajaran ia meminta siswanya untuk memeriksa dan memastikan bahwa mereka telah membawa bibit tamanam yang merupakan tugas untuk dibawa pada hari itu sebagai bagian dari aktivitas kelasnya. Guru itu bertanya, “Apakah kalian semua sudah menyiapkannya? Siapa di antara kalian yang tidak membawa?” Anak-anak tidak menjawab. “Ayo, kok tidak ada yang menjawab? Yakin? Bapak periksa, ya.” Sesaat kemudian seorang anak dengan sedikit agak takut mengangkat tangannya. “Saya, Pak Guru.” Melihat dan mendengar jawaban anak itu dan tanpa mau mendengarkan penjelasannya lebih lanjut, guru itu dengan seketika mengungkapkan kekecewaannya, “Mengapa kamu tidak membawanya? Bukankah kalian semua, termasuk kamu, sudah mencatatnya di buku tugas sejak minggu lalu? Tahukah kamu akibat dari melalaikan tugas?” Cukup panjang guru itu berbicara. Anak itu lalu mendapat konsekuensi dari gurunya. Ia diminta duduk di sudut halaman depan kelas untuk sekadar menyaksikan saja aktivitas teman-temannya. Ia tidak disapa gurunya itu dan tidak dilibatkan sedikit pun bersama teman-temannya. Teman-temannya pun tidak ada yang mencoba mendekatinya karena menganggap guru pasti melarangnya dan akan kena marah jika mereka melakukan hal itu.
Pak guru tidak tahu bahwa ia, yang kebetulan anak tunggal, pagi itu berangkat ke sekolah tidak dari rumah, tetapi dari Medical Clinic, satu-satunya lembaga pelayan kesehatan resmi di bawah perusahaan tempat kami bermukim. Ia tinggal di Housing-2 yang cukup jauh dari Housing-1 tempat sekolah berada. Ia dan ibunya sejak sore sehari sebelumnya mengantar dan menunggui ayahnya yang tiba-tiba sakit dan harus mendapat penanganan medis di Medical Clinic. Sebenarnya ia telah menyiapkan bibit tanaman itu, tetapi karena keadaan yang sedemikian rupa, tugas itu tertinggal di rumah.
Karena kejadian itu, sejak jam pelajaran pertama hingga pelajaran terakhir ia tampak kurang bersemangat. Selesai sekolah pada hari itu pun, ia pulang dengan lesu. Ia lalu menceritakan pengalamannya hari itu kepada ibunya, sambil berkata, “Bu, mulai saat ini, saya tidak akan selalu berkata jujur lagi. Saya mau jujur, tapi tidak didengarkan.” Hari itu ia belajar sesuatu yang pahit. Keinginjujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan.
Dari sepenggal cerita di atas, ada sebuah pertanyaan besar bagi kita; apa yang sebetulnya akan kita ajarkan kepada anak-anak didik kita? Menghafal sederet materi dan menguasai kompetensi, atau kesadaran yang berkait dengan pengalaman hidupnya? Yang pertama kita sebut saja ilmu pengetahuan, yang kedua pengembangan kepribadian. Mungkin belakangan ini kita menyebutnya pendidikan karakter.
Istilah pendidikan karakter sebetulnya juga bukan sesuatu yang baru. Beberapa tahun yang lalu menteri pendidikan kita memandang bahwa permasalahan bangsa ini berakar dari pendidikan karakter yang tidak terintegrasi. Dulu banyak orang menyebutnya pendidikan moral. Ada pula yang mengistilahinya budi pekerti. Di luar negeri lebih dikenal dengan character education. Ada yang masuk atau diadposi ke negeri ini dalam bentuk pelatihan motivasi dalam banyak jenis aktivitas yang dikemas dalam bentuk games atau permainan sesuai dengan tujuan dari setiap kegiatan itu; teamwork (kerjasama), solidaritas, sportivitas, kerja keras, disiplin dan lain-lain, meskipun dampak dari pelatihan-pelatihan motivasi itu temporal. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr. dr. Ryu Hasan, salah satu pakar neurosains, melalui beberapa kali seminar, webinarnya, dan diskusi-diskusinya yang saya ikuti. Pelatihan-pelatihan motivasi itu mengubah, bisa sangat besar, tetapi juga cepat pudarnya. Bahkan dampaknya belum terbukti secara ilmiah. Sekian banyak pelatihan motivasi, bahkan kadang-kadang memasukkan nuansa spiritual di dalamnya, tetapi negeri kita masih menempati angka terburuk dalam kemiskinan dan korupsi. Menurut Dr. dr. Ryu Hasan pembentukan karakter itu tidak bisa diajarkan tetapi dilatihkan, dibiasakan.
Itulah barangkali yang melatarbelakangi menteri pendidikan nasional saat itu untuk mengingatkan pentingnya Pendidikan Karakter. Seperti pada umumnya program pemerintah, rupanya yang terjadi di lapangan seperti benang kusut. Pendidikan Karakter sempat diintegrasikan dengan kurikulum dan guru-guru bekerja keras untuk melaksanakannya. Bagaimana mengaplikasikannya? Ia menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
Beberapa nilai yang dikembangkan di antaranya adalah kedamaian, penghargaan, tanggung jawab, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, keragaman, dan persatuan. Bahkan untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi ada kebebasan.
Ada banyak diskusi tentang apakah nilai-nilai itu harus diajarkan bertahap atau bisa mulai dari mana saja. Ada pendapat yang menarik bahwa sebaiknya kita memulai dari kedamaian, karena langkah pertama sebelum berlanjut pada nilai-nilai berikutnya adalah damai: berdamai dengan dirinya, berdamai dengan keluarganya, berdamai dengan lingkungan di sekitarnya.
Bagaimana nilai-nilai itu diterapkan oleh orangtua atau lingkungan sekolah?
Untuk anak-anak usia dini, tiga sampai dengan tujuh tahun, ada banyak cara untuk mengeksplorasinya. Kegiatan mempelajari konsep baru, berbagi dan berpikir, menciptakan, dan mengajarkan keterampilan sosial, bisa dikombinasikan dengan permainan, seni, bernyanyi, gerakan, dan imajinasi. Pada banyak bagian, bahkan ada tahap-tahap khusus yang bisa kita terapkan segera. Berikut merupakan contoh cara umum menerapkan satu nilai dalam tahap-tahap yang berbeda:
- Bernyanyi
Pada umumnya anak-anak senang bernyanyi. Bernyanyi membuat mereka mengekspresikan diri lebih kuat. Orangtua atau guru tidak perlu malu-malu untuk bernyanyi. Mari bernyanyi untuk anak-anak kita dan bersama anak-anak kita, bisa dengan lagu yang secara khusus berkait dengan tema yang kita ajarkan, atau dengan lagu yang kita gubah sendiri untuk menyesuaikan dengan tema.
- Belajar hening
Secara alami, sebenarnya anak-anak kurang suka dengan keheningan. Pola seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan kebiasaan menenangkan dalam keriuhan. Salah satu cara praktis mengajarkan anak-anak pendidikan karakter adalah pola pertanyaan “Mengapa?” dan bukan “Apa?” Hening juga membantu guru dan orangtua untuk mendinginkan suasana, dan memulai perbincangan dengan sesuatu yang baru.
- Waktu berkelompok
Inilah saat yang baik untuk melaksanakan refleksi, evaluasi, membuatan kesepakatan secara kolaboratif, atau untuk bersegera menyelesaikan masalah.
Lalu, apa yang harus disiapkan orangtua? Pertama, ketika berdiskusi dengan anak-anak, tidak ada jawaban “benar” dan “salah”. Orangtua sebaiknya membiasakan diri untuk menerima dan mengakui jawaban anak-anak, seberapa pun mustahilnya. Utamanya bukan pada jawaban-nya melainkan pada menghargai dan mendengar pendapat anak-anak. Berdasarkan banyak pengalaman, ada anak-anak yang memberikan jawaban yang “nyeleneh/menyimpang”. Dalam merespons hal yang seperti ini, mengangguk saja sudah cukup. Namun, anggukan yang merupakan respons verbal yang menyatakan bahwa orangtua menerima jawaban mereka untuk kemudian menyatakan kembali isi jawaban adalah metode yang lebih efektif dalam menyatakan penghargaan orangtua.
Di sisi lain, anak-anak zaman sekarang sepertinya lebih kebal terhadap “rasa bersalah, teriakan, dan ancaman hukuman.” Ini merupakan bagian kedua yang harus disiapkan orangtua, yaitu menyampaikan pesan positif. Tentu saja bahwa orangtua adalah role model anak yang paling awal. Dalam hal ini tidak berlaku prinsip larangan riya bagi orangtua. Bagaimana mungkin misalnya kita akan mengajarkan bersedekah kalau kita sendiri sebagai orangtua tidak mencontohkannya?
Ada satu di antara banyak pola yang biasa diterapkan orangtua untuk anak-anaknya. Ketika suatu perintahnya tidak dipatuhi, ia akan berkata: “Bapak (Ibu) hitung ya, …satu, …dua,…tiga!” Dengan nada yang kian meninggi, anak biasanya berlari sebelum hitungan ketiga. Saat ini hal seperti itu tampaknya kurang efektif lagi. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi otoritatif, bukan komunikasi suportif. Untuk anak-anak usia sembilan tahun, setelah angka tiga, kesan yang muncul adalah hukuman yang akan diberikan jika anak tidak memenuhi keinginannya.
Ketiga, orangtua membantu anak untuk memberikan makna atas situasi yang terjadi di sekitar kita. Kadang-kadang dengan sederet standar nilai yang sudah dikenalkan kepada anak-anak kita, ketika dihadapkan kepada pengalaman nyata, misalnya ketika anak-anak diajak bertamu, mereka dihadapkan pada orang dewasa yang boleh jadi punya standar nilai yang berbeda. Hal seperti itu justru membuka peluang bagi kita untuk memberikan makna terhadap perbedaan-perbedaan itu. Bahwa perbedaan itu adalah hal yang lumrah.
Pendidikan Karakter di Sekolah Sugar Group
Di sekolah-sekolah kami di Sekolah Sugar Group, pendidikan karakter erat kaitannya dengan kecakapan hidup. Berdasarkan misi sekolah untuk menjadi Sekolah Indonesia Sejati, Sekolah Sugar Group merumuskan delapan kecakapan hidup yang mendasari nilai-nilai moral universal itu. Kami menyebutkan Pillars of School Caracter, yaitu
- A sense of belonging and responsibility to community
- Model citizenship
- Self-discipline
- Appreciation and respect for others
- To be solution-oriented
- To communicate well
- Environmental And cultural awareness and sensivity
- Self-leadership implementation
Beberapa prinsip karakter yang dikembangkan misalnya menitikberatkan pada apresiasi: penghargaan. Dalam pengamatan saya sepanjang beberapa tahun terakhir, tumbuhnya apresiasi juga bersinergi dengan peningkatan kemampuan siswa secara akademis meski hingga saat ini belum dilakukan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan atas hal itu. Terus meningkatnya persentase lulusan SMA di beberapa perguruan tinggi negeri melalui beberapa jalurnya mungkin bisa menjadi bukti atas hal itu.
Di Sekolah Dasar, kami harus mencari cara lebih luwes lagi. Terutama untuk bentuk pengajaran apresiasi yang bersifat klasikal. Sebagai sekolah perusahaan yang masih terus berkembang, semua itu dalam tahap trial and error yang masih terus menerus perlu diuji sebagai komitmen kami untuk terus belajar sepanjang hayat (continuous learning).
Ada pula titik berat tentang empati. Beberapa waktu lalu misalnya negeri ini didera berbagai musibah. Setiap kali terjadi musibah, hati kita tentu tergerak untuk terut meringankan beban saudara-saudara kita. Segera kita terdorong untuk membantu. Namun, dalam hal ini kita tidak membiasakan anak-anak untuk meminta. Anak-anak kita bina dan dampingi untuk melakukan kegiatan penggalangan dana melalui sebuah pertunjukan yang terbuka untuk dihadiri semua orang; warga sekolah maupun luar sekolah, untuk memberikan sumbangan suka rela di dalamnya. Dana yang terkumpul dilaporkan secara terbuka setelah dikirimkan dan diterima oleh pihak yang dibantu.
Selain itu anak-anak juga dibiasakan untuk melakukan kegiatan project-based curriculum yang juga melibatkan pihak-pihak di luar sekolah. Hal ini juga menyatu atau diintegrasikan dengan kurikulum sesuai tingkatannya. Mengacu pada pelajaran Invention yang memberi dasar-dasar dan pengenalan kepada para siswa SMA tentang penelitian dan penemuan (sebagai muatan lokal), yang awalnya hanya diterapkan pada jenjang SMA, pada beberapa tahun terakhir kegiatan seperti itu juga telah diterapkan pada jenjang SMP dan SD. Tentu dengan penyesuaian-penyesuaian sedemikian rupa. Kegiatan ini diadopsi oleh SMP dan SD sebagai pengganti Ujian Nasional yang ditiadakan oleh pemerintah dan menjadi bagian dari proses kelulusannya. Dalam hal ini, anak-anak dilatih untuk menemukan masalahnya, atau apa pun yang dipikirkannya, atau membuat suatu produk yang akan ia buat, sesederhana apa pun itu. Melalui pembimbingan yang dikelola sedemikian rupa bersama para guru pembimbing untuk melakukan tahap-tahap pekerjaannya secara runut, mereka dikenalkan kepada tahap-tahap metode ilmiah yang diakhiri dengan presentasi hasil di hadapan guru, teman-temannya, dan dihadapan banyak orang. Kegiatan itu dipuncaki dengan Pameran Karya. Lagi-lagi, apresiasi ditekankan di sini sehingga rasa percaya diri anak-anak terus bertumbuh.
Sebagai sekolah perusahaan yang salah satunya diharapkan bisa melahirkan generasi yang handal, termasuk untuk menyiapkan sebagian dari mereka menjadi para penerus pengelolaan perusahaan, menjadi para pimpinan perusahaan; sebagai supervisor, kepala divisi, hingga kepala departemen, dan seterusnya, kegiatan menghadirkan sosok yang tepat baik dari perusahaan maupun luar perusahaan dan kisah-kisah inspiratif terkait dengan pembangunan karir dan masa depan juga sering dilakukan di seluruh jenjang dari TK hingga SMA. Dalam perjalanan sekolah sejauh ini, saat ini beberapa siswa yang sudah lulus dari perguruan tinggi sudah bekerja di beberapa divisi hingga departemen yang membutuhkannya. Bahkan, dan ini lebih membanggakan saya, ada pula di antara mereka yang beberapa tahun terakhir hingga saat ini telah menjadi rekan kerja saya karena mereka menjadi guru untuk kami tumbuh bersama mengembangkan sekolah yang kami cintai.