Keberadaan Bimbingan dan Konseling memiliki peran yang penting dalam mendampingi murid menjalani masa pendidikan di setiap jenjang pendidikan. Melalui berbagai layanan yang dilakukannya seorang guru Bimbingan dan Konseling (BK) berusaha menyentuh dan membantu murid menghadapi hambatan dalam berbagai sisi kehidupannya (baca dalam bidang : belajar, sosial, pribadi, dan karier). Salah satu layanan responsif yang dilakukan oleh guru BK adalah melalui layanan bimbingan klasikal, yang dilakukan secara terjadwal seminggu sekali di setiap kelas. Melalui layanan bimbingan klasikal diharapkan guru BK bisa membantu permasalahan yang umumnya dihadapi oleh murid (info data diambil melalui Asesmen yang dilakukan guru BK di setiap awal tahun pelajaran).
Pelaksanaan layanan BK dilakukan dengan berbagai cara yang menarik, yang melibatkan partisipasi seluruh anggota kelas, misal melalui game edukasi, diskusi dalam kelompok, sosiodrama, ceramah dialog, dan sebagainya. Namun demikian, suatu hal yang harus dilakukan dalam setiap akhir layanan (dalam 1 topik), yaitu refleksi setiap murid terhadap layanan yang telah diberikan, karena melalui refleksi itu guru akan tahu bahwa topik bahasan yang dibicarakan sudah dipahami dengan baik (artinya tujuan layanan telah tercapai), dan tahapan selanjutnya adalah murid dapat mengaplikasikan dalam kehidupannya. Sehingga efek dari layanan bisa terlihat melalui perubahan cara pandang dan sikap murid terhadap suatu masalah menuju ke arah yang lebih positif.
Selama ini kegiatan refleksi saya lakukan melalui beberapa cara di antaranya mengemukakan secara lisan atau menuliskan pada buku/kertas tentang apa yang mereka rasakan/pikirkan, dan komitmen murid tentang topik yang telah dibahas. Sayangnya cara ini sering kali tidak sesuai harapan saya. Padahal melalui refleksi saya juga bisa menilai apakah kegiatan layanan ini sudah berjalan baik atau masih perlu perbaikan ke depannya.
Menyampaikan refleksi secara lisan sangat tidak efektif, karena kebanyakan murid jarang yang mau berpendapat secara langsung, hanya beberapa murid yang bersedia, dan orangnya itu-itu saja. Oleh karena itu saya mencoba cara lain, yaitu meminta murid menuliskan refleksi di kertas kemudian dikumpulkan. Ternyata dengan cara ini pun murid malas mengerjakan, dan cenderung copas milik temannya. Padahal ini tidak boleh terjadi, karena refleksi bersifat individual. Hal ini tentu mengaburkan keberhasilan layanan yang diberikan. Memang selama ini refleksi berbentuk uraian cerita.
Melihat kenyataan seperti itu, saya teringat di awal semester pernah menyebar angket asessmen gaya belajar. Saya berpikir apakah saya masih kurang mengakomodir gaya belajar mereka dalam kegiatan refleksi yang saya lakukan? Selain itu saya berusaha mereka mencari tahu apa aktivitas yang mereka gemari atau sesuatu yang menarik minat mereka sehingga murid tertarik atau senang dalam mengerjakan refleksi.
Hasil asesmen gaya belajar memang umumnya murid di sekolah ini memiliki gaya belajar kinestetik. Itu sebabnya dalam layanan saya lebih suka melakukan kegiatan yang membuat mereka bergerak dan beraktivitas bersama. Namun, dalam refleksi saya memang belum menerapkannya. Kemudian saya terpikir untuk menerapkan refleksi mereka dengan cara konvensional yang sebelumnya saya lakukan.
Sementara itu dari hasil pengamatan saya, sejak masa pandemi ini murid sangat lekat dengan aktivitas bermain HP/Gadget, dan dari beberapa sosial media mereka tampaknya mereka mahir menggunakan berbagai aplikasi poster dalam berbagai unggahan status mereka. Dari dua hal yang saya temukan, kemudian saya mencoba memadukan keduanya. Hingga akhirnya berinisiatif mencoba meminta murid melakukan aktivitas refleksi melalui poster digital.
Saya mencobakan pada saat kami membahas tentang bahasa rokok bagi remaja. Usai melakukan eksplorasi dan diskusi, saya meminta refleksi kali ini dituangkan dalam poster digital yang berisi ungkapan mereka tentang bahaya merokok dan ajakan kepada remaja untuk menjauhi rokok. Pada refleksi ini, saya meminta mereka membuat poster dalam waktu yang sudah disepakati bersama (selama satu minggu). Meski demikian saya mengerti jika tidak semua murid punya ketertarikan dengan tugas ini, oleh karena itu saya memberikan pilihan tugas lain yaitu dengan membuat tulisan singkat yang isinya anjuran/provokasi gerakan anti rokok pada remaja. Jadi murid dipersilakan memilih cara mana yang menurut mereka asyik/menyenangkan untuk melakukan refleksi.
Ternyata murid dominan memilih refleksi dengan membuat poster digital. Khusus refleksi melalui poster, saya meminta poster yang sudah jadi wajib diunggah di media sosial mereka (misal WA, IG, atau FB). Poster boleh diserahkan melalui GCR BK setelah di-like, atau dilihat oleh minimal 10 orang viewer. Hal ini saya lakukan agar kebermanfaatan poster mereka bisa dinikmati banyak orang sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri murid akan hasil karyanya serta melatih kejujuran mereka dalam karya karena harus original/buatan sendiri, sehingga mengajarkan mereka tentang plagiarisme karya dan risiko pidananya.
Awalnya mereka pesimis dan ada rasa malu jika harus diunggah ke media sosial dan harus diperlihatkan kepada orang banyak. Namun, saya meyakinkan tentang beberapa tujuan di atas, akhirnya mereka termotivasi membuat karya sebaik mungkin, karena nanti akan dilihat banyak orang.
Saat saya cek di GCR BK (Google Classroom Bimbingan dan Konseling), saya sangat terharu, mereka begitu bersemangat melakukannya, bahkan sebelum batas waktu yang ditentukan 100% murid sudah menyetor karyanya. Dan hasilnya luar biasa, poster mereka sangat bagus. Hal ini menunjukkan kreativitas mereka sangat baik.
Saat saya tanya kepada mereka apa perasaan mereka saat mengerjakan tugas ini. Hampir semua yang memilih cara ini sangat menyenangkan/mengasyikkan sekaligus menantang. Tanpa disadari justru murid berlomba membuat poster yang melebihi karya temannya. Dan mereka umumnya mampu mendapatkan viewer di atas target yang saya syaratkan.
Apa yang saya lakukan ini kemudian saya lakukan di kelas dan topik yang lain, dan ternyata mendapat respons yang sama, yaitu menyenangkan dan menantang. Dampak berikutnya, jam bimbingan terasa semakin hidup. Murid lebih memperhatikan materi yang sedang dibahas, karena modal membuat refleksi mereka harus memahami apa yang sedang dibahas saat itu. Sebuah catatan penting bagi saya, bahwa memahami gaya belajar itu sangat penting tidak hanya saat pelaksanaan kegiatan pembahasan materi namun juga pada saat mereka harus melakukan refleksi.
Kebebasan dalam memilih cara dalam refleksi ternyata membuat murid merasa nyaman dan memberikan kebebasan berekspresi. Sehingga kesulitan atau tantangan yang mereka hadapi saat mengerjakannya dapat diatasi dengan semangat yang tinggi. Selain itu guru juga harus mencari tahu apa kegemaran murid sebagai pintu masuk ke dalam dunia mereka, sehingga mereka menerima tugas dengan rasa senang.
Sebagai hadiah atau penghargaan atas karya mereka, saya membuat album karya mereka semua dalam sebuah tayangan video sebagai kenangan mereka di suatu saat nanti. Alhamdulillah murid merespons-nya dengan sangat antusias.
Meski demikian, cara refleksi ini, baru saya terapkan saat membahas dua topik. Oleh karena itu perlu dicobakan pada materi yang lain.
Profil Penulis
Diana Mulawarmaningsih, S.Ag. Lahir di Balikpapan pada tanggal 21 Juli 1972. Saat ini bertugas sebagai Guru Bimbingan dan Konseling di SMAN 2 Kasongan. Hingga sekarang masih bergabung sebagai anggota organisasi profesi guru IGI (Ikatan Guru Indonesia) Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah.