Aktivitas pagi di sekolah SDN 49 Sungai Tapang adalah bebersih lingkungan. Hampir setiap hari selalu ada sampah plastik dan yang lainnya berserakan. Sebagai guru, saya sangat prihatin dengan hal ini. Kebiasaan memungut sampah memang bagus, namun, alangkah baiknya jika sampah itu tidak perlu dipungut, melainkan sudah bertempat di tempat sampah sejak awal si empunya membuangnya.
Berhari-hari saya berpikir, bagaimana cara membuat materi kebersihan ini menjadi bermakna bagi mereka? Bukankah hampir setiap hari, mereka sudah diberi tahu? Sudah diberi contoh oleh guru-gurunya? Sudah diajarkan teorinya, bahkan sejak mereka masih duduk di kelas awal?
Bukan hanya itu, tempat sampah pun sudah disediakan di semua kelas. Bahkan, strategi teguran hingga hukuman pun telah dilakukan. Tapi mengapa kebiasaan ini belum berubah?
Sebagai guru, saya ingin agar murid mendapatkan pembelajaran yang bermakna sebagai proses pendidikan yang sebenar-benarnya bagi mereka. Bukankah makna pendidikan itu sendiri adalah perubahan? Pendidikan diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar orang tersebut mencapai kedewasaan (Winkel;2012). Dewasa di sini maksudnya adalah perubahan dari yang belum paham menjadi paham, yang belum tahu menjadi tahu, yang belum sadar menjadi sadar, yang belum bersikap baik menjadi baik dan seterusnya. Kemudian, jika setelah dididik, murid tidak berubah, berarti kita perlu berefleksi. Melihat kembali apa dan bagaimana proses pembelajaran yang telah kita lakukan.
Ingat, poinnya di sini yaitu, bahwa murid adalah pemilik pembelajaran. Ia adalah pusat dari apa yang kita dan ia usahakan (subjek pendidikan). Maka, bisa dibilang bahwa ‘murid tak pernah salah’.
Saya mulai berpikir bahwa ada beberapa hal yang membuat murid tidak benar-benar menyerap ilmu tentang menjaga kebersihan. Pertama, pelajaran ini mungkin disampaikan dengan cara yang biasa. Hanya sekedar dengan metode ceramah. Kedua, pelajaran ini mungkin hanya terjadi di sekolah. Artinya, di rumah atau di lingkungan di luar sekolah, membuang sampah sembarangan masih dianggap ‘bukan dosa’. Ketiga, tidak adanya tempat sampah di tempat umum. Sehingga kesadaran yang mulai muncul untuk membuang sampah di tempat sampah terkalahkan oleh godaan betapa melemparkan bekas makanan atau bekas apapun yang telah kita gunakan adalah hal simpel yang biasa dilakukan banyak orang. Jadi, tidak perlu ada malu-malunya membuang sampah sembarangan, hehe. Keempat, tidak adanya pengelolaan sampah yang baik. Kadang, sampah yang sudah terkumpul di tempat sampah, bermuara juga di penampungan atau bahkan di sungai. Membakar sampah pun sebenarnya bukan solusi yang baik,terutama di perkotaan yang super padat penduduk. Kalau di daerah trans yang jarak rumahnya per setengah hektar baru ada rumah tetangga, nampaknya membakar sampah rumah tangga masih bisa jadi solusi.
Dari refleksi di atas, saya mengambil permasalahan yang pertama. Yakni bahwa pelajaran tentang menjaga kebersihan ini disampaikan dengan cara yang biasa. Yaitu masih dengan metode ceramah. Dari permasalahan ini, saya mengambil inisiatif untuk mengajarkan materi ini dengan sesuatu yang saat ini sangat dekat dengan dunia anak. Yakni dunia gadget, dunia teknologi internet. Saya memetakan profil murid-murid saya yang seratus persen memiliki telepon pintar. Saya juga rajin menikmati karya murid di status sosmed saat mereka membuat editan-editan video pendek. Saya pun mencari informasi tentang apliaksi-aplikasi tersebut. Kemudian saya mempelajari salah satu yang cukup familiar, yakni tiktok. Sebelum saya menggunakan ini untuk pembelajaran, saya terlebih dahulu mencobanya sendiri. Saya membuat konten singkat tentang kegiatan saya yang sedang belajar online. Tapi, hasilnya sangat jauh dari hasil editan video para murid saya. Dari sini, saya yakin bahwa media ini akan sangat menarik buat mereka. Dan hasilnya pun akan lebih bagus.
Akhirnya, tibalah masa hari yang ditunggu-tunggu. Sebelumnya saya sudah menyampaikan bahwa hari ini murid-murid akan belajar menggunakan Hp. Mereka akan membuat sebuah proyek video singkat tentang mencintai lingkungan. Sehari sebelumnya, anak-anak juga sudah menyiapkan diri dengan bagian pekerjaan yanag berbeda-beda. Ada yang menjadi modelnya, ada yang menjadi foto dan videographer, ada yang menjadi koreografer, ada yang menjadi editor.
“Anak-anak, di mana kalian akan membuat proyek ini?” ditanya sepeti ini, mereka hanya diam. Saling melempar pandang satu sama lain.
“Maksud Ibu, buat videonya mau di kelas atau di luar kelas?” tambahku.
Langsung terjadi kasak kusuk. Ada yang maunya di kelas, ada yang maunya di luar kelas. Saya bebaskan mereka untuk memilih. Senyamannya saja. Ketika melihat satu grup keluar menuju tepi sungai, ternyata grup yang lain berubah pikiran. Mereka ikutan menuju tepi sungai. Terlihat satu rombongan menuju taman di depan kedai Pak Wa. Sedangkan satu kelompok lagi nammpak masih kebingungan.
“Tunggu ya, Ibu ke teman kalian sebentar. Nanti kembali lagi kesini”
Saya menuju ke kelompok Cika. Ternyata mereka sedang bersiap. Saya merasa mereka sudah bisa. Maka saya berpindah ke kelompok yang lain. Kelompok ini butuh bimbingan lebih.
Setelah mengambil foto dan video, anak-anak kembali ke kelas. Tinggal tugas editor yang bekerja. Saya melihat anak-anak sangat semangat dan antusias.
“gimana rasanya belajar hari ini?”
“seruuu.” Teriak mereka serentak.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan saat memiliki sampah, tapi taka da tempat sampah di dekat kita?”
“dikantongin, Bu. Kalau sudah ketemu tempat sampah baru dibuang.”
“Gak boleh buang sampah di sungai, Bu”
“Sampahnya dibakar, Bu”
Setelah mengunci pembelajaran hari ini, saya menunggu hasil editan video dari para editor. Ada Dude dan Aurel yang memegang tanggung jawab ini. Aurel mengerjakan dengan cukup cepat, namun ada beberapa kali pengulangan setelah diberi masukan. Begitu juga dengan Dude. Hingga akhirnya video siap diunggah. Namun, kelompok Dude meminta penundaan. Mau edit ulang katanya. Saya pun mengijinkan.
Alhamdulillah, video tiktok hasil karya anak-anak banyak mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Baik itu kepala sekolah, kawan guru, wali murid maupun dari murid itu sendiri.
“Menarik”
“Keren”
“Inspiratif”
“Sungai Tapang semakin maju” ini adalah komentar dari salah satu wali murid.
Dan masih banyak komentar lain yang saya rasa itu merupakan penghargaan untuk mereka yang sudah berkarya dan bahkan berdampak secara luas. Bukan hanya bagi teman-teman sekelas, tapi juga dunia.
Saya berharap, pengalaman belajar ini dapat memberi mereka pesan dan kesan bermakna sehingga dapat mempraktikkan cara menjaga kebersihan sebagai wujud cinta lingkungan dengan lebih baik.
Ganbate!
Link video : https://web.facebook.com/aliyaniesa/videos/529624621744357