Dalam situasi darurat akibat pandemi, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) merekomendasikan agar pendidik mengutamakan kemampuan literasi murid. Pasalnya, sesuai menurut hasil riset kementerian itu, pandemi menyebabkan murid kehilangan kemampuan literasi seperti 6 bulan tidak belajar.
“Dari rekomendasi Kemendikbud-Ristek juga disebutkan agar guru melaksanakan asesmen diagnosis kognitif agar kami dapat mengetahui tingkat penguasaan literasi murid. Tapi saya sempat bingung, bagaimana ya agar asesmen yang saya lakukan tidak hanya mendapat gambaran umum tentang kemampuan murid,” kata Lies Indrawati, guru SD Negeri 73 Pontianak Barat.
Guru yang aktif menjadi bagian dari Cerita Guru Belajar tersebut mengatakan, akhirnya Ia memanfaatkan pengetahuan yang diperolehnya dari Gerakan Nasional Pemberantas Buta Membaca (Gernas Tastaba), yakni early grade reading assessment (EGRA).
Lies menjelaskan, ada lima aspek penilaian dalam EGRA, yaitu fonologi, alfabet-fonik-membaca, kosakata dan bahasa lisan, kelancaran, dan pemahaman. Fonologi berkaitan dengan kemampuan murid mengenai bunyi-bunyian bahasa. Lalu aspek kedua, alfabet-fonik-membaca adalah kemampuan murid membaca suku kata dengan variasi konsonan dan vokal.
“Kalau kosakata dan bahasa lisan itu dinilai dari kemampuan murid untuk mengetahui arti dari sebuah kata, ketika dia membaca sendiri maupun dibacakan. Sedangkan kalau kelancaran ya berkaitan dengan seberapa cepat dan akurat mereka membaca,” terang Lies.
“Terakhir, pemahaman, gunanya untuk menguji sejauh mana murid memahami apa yang dibaca melalui pertanyaan lisan setelah membaca. Bahan bacaannya harus disesuaikan dengan jenjangnya,” lanjutnya.
Dari cara tersebut, guru kelas 6 ini bercerita, Ia mempraktekkan asesmen diagnosis literasi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, murid diminta untuk membaca teks berisi sekitar seratus kata. Lalu pada bagian kedua, murid akan diberikan pertanyaan berdasarkan bacaan yang bacaan sebelumnya. Pertanyaannya terdiri dari pertanyaan eksplisit dan implisit.
Dari hasil asesmen dengan cara EGRA tersebut, Lies menemukan muridnya terbagi menjadi tiga kelompok dengan kemampuan yang berbeda. Setengah dari murid kelasnya masih kesulitan membaca dasar.’
“Tapi yang penting sekarang saya sadar dan memperbaiki cara. Dulu saya kasih tugas yang tidak sesuai dengan kondisi murid. Mereka jadi menderita belajar. Saya berharap guru-guru lain juga ikut menerapkan asesmen diagnosis yang mendalam agar kita bisa sesuaikan cara mengajar dengan murid. Sudah saatnya menerapkan pembelajaran yang berpihak pada anak,” tutup Lies. (YMH)