Mutiara Dari Pirak ( Menanamkan Karakter Religius Pada Siswa Melalui Otobiografi Cut Nyak Mutia)

Pendahuluan

Dunia pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan dan masalah. Seiring perkembangan teknologi dan globalisasi, terjadi penurunan moral dan akhlak generasi muda di Indonesia. Sekolah sebagai lembaga formal penyelenggara pendidikan mempunyai andil besar dalam upaya mengembalikan sikap moral dan akhlak siswa sehingga tetap sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di Negara kita. Guru sebagai pelaku utama dan berhubungan langsung dengan siswa, harus bertindak lebih aktif dalam upaya mengembalikan sikap moral dan akhlak siswa.

Guru menurut Prof. Abdurahman Ginting dalam bukunya “Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran” haruslah memiliki kompetensi kepribadian. Kompetensi ini berupa kepribadian yang mantap, stabil dan dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Dari gambaran di atas tersirat bahwa tugas guur bukan hanya mencakup masalah pengetahuan siswa, tetapi juga akhlak dan perilaku siswa.

Untuk mendidik siswa agar memiliki karakter religius ada beberapa cara menurut Oemar Bakry dalam bukunya “Akhlak Muslim” yaitu :

  1. Mengisi akal dan pikiran dengan ilmu pengetahuan
  2. Bergaul dengan orang-orang baik
  3. Merubah kebiasaan buruk
  4. Membiasakan membaca sejarah (otobiografi) orang-orang ternama.

Cut Nyak Meutia merupakan pahlawan nasional dari Aceh yang berjuang melawan kolonialisme tanpa sedikitpun meninggalkan sisi religi dari dalam dirinya. Pendidikan Islam menjadi pondasi kuat Cut Nyak Meutia dalam membela tanah airnya.

Pembahasan

Pendidikan Islam

            Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya! Ungkapan tersebut merupakan penegasan bahwa apabila suatu bangsa ingin berjaya, maka haruslah tetap menghargai jasa pahlawannya. Aceh merupakan provinsi yang berada paling barat nusantara ini. Aceh menjadi begitu istimewa karena selalu menerapkan pendidikan islam dalam kehidupan formal dan non formal masyarakatnya. Pendidikan Islam menurut H.M. Thamrin Z adalah pendidikan yang berdasarkan atau sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam berusaha mencapai keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Kegiatan pendidikan Islam bahkan masih berlanjut, karena pada dasarnya hal itu merupakan proses yang tidak pernah selesai. Pendidikan Islam di Aceh berjalan maju dan mendapat tempat yang terhormat. Hal ini terjadi karena kerajaan Aceh dipimpinan Sultan dan Ullebalang yang taat pada ajaran Islam. Kerja sama antara penguasa, ulama, dan rakyat Aceh merupakan lambang kesatuan, kedamaian, dan kesehjahteraan rakyat Aceh. Kecintaan Masyarakat pada bangsanya merupakan cerminan dari akhlak muslim yang taat (H.Oemar Bakry)

Karakter Religius

Menurut  kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. endidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pendidikan yang sesuai adalah metode keteladanan,  metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.

Kata dasar dari religius adalah religi yang berasal dari bahasa asing religion sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia. Sedangkan religius berasal dari kata religious yang berarti sifat religi yang melekat pada diri seseorang. Religius sebagai salah satu nilai karakter dideskripsikan oleh Suparlan sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Karakter religius ini sangat dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi perubahan zaman dan degradasi moral, dalam hal ini siswa diharapkan mampu memiliki dan berprilaku dengan ukuran baik dan buruk yang di dasarkan pada ketentuan dan ketetapan agama (http://repo.iain-tulungagung.ac.id/114/3/BAB%20II.pdf).

Perang Aceh

            Aceh memiliki posisi strategis karena terletak di pantai barat Selat Malaka, yang pada masa itu merupakan lintasan perniagaan dunia. Hal ini menjadikan Aceh incaran bangsa Eropa terutama Belanda dan Inggris. Namun dengan ditandatanganinya perjanjian London pada 17 Maret 1825; tertera dalam pasal ke tiga yang intinya menjelaskan bahwa kedua pihak yaitu Belanda dan Inggris tidak akan mengikat perjanjian (menguasai) wilayah timur (Aceh) untuk kepentingan salah satunya, karena akan mengakibatkan perniagaan menghadapi hambatan. Perjanjian London melindungi posisi kedaulatan Aceh pada saat itu. Keadaan berubah setelah adanya pembukaan Terusan Suez yang berdampak semakin ramainya bangsa-bangsa asing datang ke dunia timur. Hal ini membuat Belanda mendekati Inggris, agar menandatangani “Perjanjian Sumatera” pada tanggal 12 November 1871. “Traktat Sumatera” ini menyatakan bahwa Inggris menghapus perhatiannya atas perluasan kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan sebagai imbalannya Inggris mendapat hak seperti Belanda di wilayah Siak dan daerah taklukannya.

            Penandatanganan “Traktat Sumatera” adalah taktik licik Belanda untuk menciptakan “Pax Nenderlandica” yaitu Aceh yang utuh di bawah payung kekuasaan Belanda. Peperangan secara terbuka dimulai ketika armada Belanda pimpinan Edelaar Nieuwenhuyzen tiba di pelabuhan kerajaan Aceh pada tanggal 23 Maret 1870. Kapal mengangkut 3.200 serdadu,168 perwira dan dipimpin perang Mayor Jenderal H.R.Kohler. Ismail Jakub dalam bukunya yang berjudul “Tengku Chik Di Tiro” menceritakan bahwa Belanda mengirimi surat kepada Sultan Aceh yang isinya mengharap agar Sultan bersedia mengakui kedaulatan Belanda. Namun, Sultan menolak dengan tegas keinginan Belanda tersebut. Maka pada tanggal 26 Maret 1870, atas nama pemerintah Belanda mengumumkan ultimatum perang terhadap kerajaan Aceh.  Perjuangan yang tak kenal lelah terus  dilakukan oleh para pejuang Aceh, mulai dari Aceh Besar hingga Aceh Timur. Perjuangan ini bukan hanya dilakukan oleh para pemimpin Aceh, tetapi juga rakyat Aceh. Perlawanan bukan hanya milik kaum pria,  perempuan Aceh juga memiliki kesempatan dan penghormatan yang sama besar untuk menjadi pejuang. Pendidikan Islam yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat Aceh, memberi kedudukan dan kehormatan yang mulia untuk perempuan. Itulah sebabnya mengapa di Aceh, kaum Ibu bisa menjadi Sultanah (Raja), Ullebalang bahkan jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan. Perempuan Aceh juga ikut bersama-sama mengangkat senjata dan menyelipkan rencong di pingangnya. Pendidikan Islam benar-benar telah menyatu dalam diri masyarakat Aceh, keinginan membela bangsa,dan memusuhi “Kaphe” (sebutan masyarakat Aceh kepada Belanda), menyebabkan Belanda kesulitan mengalahkan Aceh. Perang Aceh banyak melahirkan pejuang-pejuang wanita yang rela mengorbankan nyawanya demi agama dan bangsa.

Cut Nyak Meutia

            Cut Meutia,  Kelahiran Pirak (Keureuto, Aceh Utara) pada tahun 1870. Keempat kakaknya adalah Teuku Cut Berahim,Teuku Cut Hasan, Teuku Muhammad Syah dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah Uleebalang (pemimpin daerah) dan ibunya adalah Cut Jah anak Uleebalang Ben Seulemak. Meutia memiliki arti mutiara. Menurut Zakaria Ahmad dalam bukunya yang berjudul “Cut Nyak Meutia”,  Ayahnya Teuku Ben Daud memberikan nama ini karena Cut Meutia memiliki wajah rupawan dan berkulit putih. Meutia kecil dibesarkan dengan pendidikan Islam yang kuat. Perlakuan lemah lembut yang diterima dari orang tua dan kakak-kakaknya tidak menjadikan Meutia bersikap lemah. Keadaan politik di Aceh yang semakin kritis kerap menjadi pembicaraan di semua lapisan masyarakat menjadi hal yang sangat mengesankan bagi Meutia. Apalagi keluarganya termasuk keluarga uleebalang yang taat kepada agama dan berjanji akan memusuhi Belanda. Meutia memiliki jiwa pejuang, sekaligus memiliki kepatuhan kepada orang tuanya. Sikap taat beragama keluarga Teuku Ben daud menjadi sumber kekuatan dalam melawan penjajah Belanda. Bagi keluarga ini sesuatu yang tidak baik bagi Islam, adalah hal yang tidak bisa ditawar, termasuk untuk berdamai dengan orang kafir (Belanda). Hal ini kiranya juga tertanam di hati Cut Meutia sedari ia kecil.

            Kecantikan Cut Meutia membuat Teuku Ben Daud kewalahan menghadapi Seulangke/Teulangke  (Utusan) yang datang untuk meminang Cut Meutia. Hingga akhirnya keluarga Cut Meutia memutuskan menerima lamaran terakhir  putra Uleebalang Keureuto yaitu Teuku Syamsarif. Tetapi saying, Teuku Syamsarif adalah bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan Belanda. Hingga akhirnya Teuku Syamsarif diangkat Belanda menjadi Uleebalang Keureto dan berganti nama menjadi Teuku Chik Bintara dan Cut Meutia menjadi Cut Nyak Meutia. Hal ini bukan merupakan kebahagian bagi Cut Nyak Meutia. Kekecewaannya kepada Teuku Chik Bintara pada awal perkawinan mereka semakin bertambah karena pengangkatan suaminya. Cut Nyak Meutia membenci sikap suaminya yang selalu memihak kepada Belanda. Pendidikan Islam yang tertanam pada dri Cut Nyak Meutia, tidak bisa dirubah oleh siapa pun bahkan oleh suaminya sendiri. Pernikahan Cut Nyak Meutia pun tidak bertahan lama. Ia beranggapan keselamatan agama dan bangsanya jauh lebih penting daripada kebahagian pribadinya. Kecintaannya kepada agama dan bangsanya adalah cerminan akhlak seorang muslim yang taat.

Pahlawan Wanita

            Cut Nyak Meutia dipulangkan ke rumah orangtuanya di Pirak. Kepulangannya ke rumah keluarga yang sangat membenci Belanda semakin membuat jiwa pejuang Cut Nyak Meutia semakin bergelora. Cut nyak Meutia selalu ingin bergerilya bersama pejuang lainnya. Namun hal ini baru dapat terlaksana setelah ia menikah dengan Teuku Cut Muhammad, adik dari Teuku Chik Bintara. Meskipun mereka saudara sekandung, tetapi rupanya mereka memiliki sikap dan pemikiran yang sangat jauh berbeda. Teuku Cut Muhammad adalah pejuang Aceh yang sangat mencintai bangsanya dan membenci Belanda. Cut Nyak Meutia selalu mendampingi Teuku Cut Muhammad ketika bergerilya. Ia bukan hanya bertindak sebagai istri ketika sedang berperang, tetapi ia menempatkan dirinya sebagai sesama pejuang. Kemampuannya mengatur taktir serang-mundur dan menempatkan mata-mata, membuat Belanda kewalahan menghadapi pasukan yang dipimpin oleh pasangan pejuang ini. Cut Nyak Meutia, Mutiara dari Aceh ini harus diuji kesetiannya kepada bangsa ini lagi ketika suaminya  Teuku Cut Muhammad, dihukum tembak mati di Lhokseumawe pada 25 Maret 1905. Sebelum Teuku Cut Muhammad dijatuhi hukuman, ia memberikan pesan kepada Cut Nyak Meutia: “setelah kepergiannya ia harus menikah dengan Pang Nanggroe, Pang Nanggroe merupakan tangan kanan Teuku Cut Muhammad”. Kematian suaminya tidak membuat Cut Nyak Meutia menjadi tidak bersemangat. Bersama putranya Teuku Raja Sabi yang masih kecil, Cut Nyak Meutia melanjutkan perjuangannya.

            Cut Nyak meutia akhirnya melaksanakan wasiat suaminya untuk menikah dengan Pang Nanggroe. Ia terus memimpin perjuangan melawan penjajah. Kemenangan dan kekalahan silih berganti mewarnai perjuangan mereka. Hingga akhirnya Pang Nangroe terkena tembakan pasukan belanda pada tahun 1910. Pada 25 Oktober 1910 tepat sebulan setelah kematian Pang Nanggroe di Pucok Krueng Peutoe (Hulu sungai Peuteo), terjadi tembak menembak antara pasukan Belanda dan pasukan Cut Nyak Meutia. Tiga peluru tepat mengenai dahi Cut Nyak Meutia, dan dua peluru lainnya bersarang di dadanya. Cut Nyak Meutia, mati syahid membela agama dan bangsanya.

Demikianlah, sekalipun Cut Nyak Meutia tidak mendapat gelar pahlawan nasional sebelum tahun 1964, ia kadung diberi gelar “pahlawan agama” oleh sebagian besar rakyat Aceh. 

Penutup

Demikianlah, sekalipun Cut Nyak Meutia baru mendapat gelar pahlawan nasional sebelum tahun 1964, ia kadung diberi gelar “pahlawan agama” oleh sebagian besar rakyat Aceh.

Daftar Pustaka :

  1. Ahmad, Zakaria dkk.2007.Lintas Perjuangan Cut Nyak Meutia Sosok Pejuang Wanita Aceh, (Banda Aceh:Yayasan Pena)
  2. Ismail Jakup.1960.Tengku Chik Di Tiro (Muhammad Saman), Pahlawan Besar Dalam Perang Aceh(1881-1891),(Djakarta:Bulan Bintang)
  3. Bakry,H.Oemar.1993.Akhlak Muslim,(Bandung:Angkasa bandung)
  4. Z,Thamrin.H.M. 2004.Aceh Melawan Penjajahan Belanda,(Jakarta:Wahana)
  5. Gintings,Abdorrahman,2008.Esensi Praktis belajar dan Pembelajaran,

(Bandung,Humaniora)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top