Dari murid saya belajar, belajar memahami murid yang ingin dipahami.
Menjadi guru awalnya bukanlah cita- cita yang saya dambakan. Apoteker adalah satu – satunya profesi yang saya impikan di masa depan saya. Untuk mendapatkan apa yang saya impikan untuk menjadi seorang apoteker , segala upaya saya lakukan, namun hasilnya nihil. Menjadi seorang guru adalah hal yang diinginkan orang tua saya sebagai pengganti cita-citanya yang tidak kesampaian. Hal ini tentu menjadi satu kendala bagi saya untuk menjadi seorang guru yang professional, yang bekerja dari hati.
Di awal saya menjadi guru, saya ditugaskan di sekolah yang lokasinya sangat dekat dengan perkotaan. Inilah yang menjadi awal pengalaman saya menjadi guru yang ingin sekali saya bagikan kepada teman- teman belajar dimana pun berada.
Kondisi sekolah yang dekat dengan perkotaan ternyata tidak sehebat yang saya bayangkan, tidak semudah yang saya harapkan, bahkan berbeda hingga seratus delapan puluh derajat. Saya dihadapkan dengan beberapa siswa yang usianya lebih tua daripada standar nya. Saya menghadapi siswa yang nilai kesopanannya masih rendah. Saya juga menghadapi minat sekolah yang rendah.
Saya mulai mengajar selayaknya seorang guru bermodalkan cara mengajar yang saya dapatkan di kampus tempat saya menamatkan perkuliahan saya. Hari berganti hari, namun setiap harinya bagaikan formalitas kerja saja, sampai pada tenggat waktunya saya menerima kompensasi bulanan. Tidak ada sedikitpun beban di diri saya terhadap tidak maksimalnya saya dalam mengajar.
Sampai pada akhirnya saya melihat seorang siswa, Iqbal namanya, yang hampir selalu tertidur di kelas dengan menelungkupkan kepala di meja belajarnya. Saya penasaran, saya panggil dan ajak bicara, dan ternyata saya sampai jatuhkan air mata ketika mendengar cerita panjang lebarnya. Siapa yang tega mengetahui siswanya harus berjualan rokok dari jam 3 subuh untuk membantu ekonomi orang tuanya, kemudian lanjut sekolah di pagi hari. Bagaimana tidak rasa kantuk selalu menyerang ketika sedang belajar di sekolah. Ini hal pertama yang menjadi tantangan bagi saya sejak saya bertugas di sekolah ini. Heran pada diri saya sendiri, mengapa satu siswa bisa membuat saya jadi timbul rasa peduli terhadap pekerjaan saya.
Terhadap kasus Iqbal siswa saya, saya putuskan untuk datang ke rumahnya, lalu membuka obrolan terhadap orang tuanya. Ketidaktahuan orangtua nya terhadap kondisi Iqbal sehari-harinya di kelas membuat mereka sadar bahwa tidak seharusnya mereka melibatkan Iqbal dengan pekerjaan yang menyita waktu anaknya untuk belajar, yang merampas hak anaknya untuk bermain dan belajar. Namun, ternyata tidak sesimpel itu, ekonomi keluarga yang cukup sulit memang mengharuskan Iqbal ikut berjualan membantu pemasukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan setelah disiskusikan panjang lebar, diputuskan oleh mereka agar Iqbal berjualan di sore hari setelah pulang sekolah, agar tidak mengganggu waktu istirahatnya di malam hari.
Saya beranikan diri juga menyarankan pada orang tuanya agar barang yang didagangkan oleh Iqbal diganti dari rokok menjadi sesuatu yang berbeda, makanan dan minuman ringan misalnya. Kami capai kata sepakat. Pulang dengan hati bangga menyelesaikan sebuah kasus di kelas saya, padahal saya sendiri tidak berbuat apa-apa, hanya mengajak bicara orang tua siswa.
Perubahan yang sangat jelas terjadi pada Iqbal siswa saya, wajahnya lebih merona tanda lebih segar dan sehat, tidak mengantuk lagi di kelas, dan bermain di jam istirahat bersama dengan teman- temannya, hal yang jarang sekali dia kerjakan karena lebih memilih untuk tidur di kelas. Jelas Bahagia dan haru bercampur di hati dan kepala saya.
Tantangan yang saya alami ternyata tidak sampai pada kasus Iqbal saja. Saya diperhadapkan pada siswa lainnya, Arman namanya. Setiap hari duduk sendiri di bangku belakang kelas, dan bermain sendiri ketika jam istirahat sekolah. Arman termasuk siswa yang lumayan di kelas, cukup sopan, dan minat belajarnya juga lumayan baik. Awalnya saya berpikir bahwa dia memang tidak suka bergaul. Namun, belajar dari kasus Iqbal, saya takut ada sesuatu yang kasat mata tidak diketahui oleh saya dari sikap menyendirinya tersebut.
Aksi yang saya lakukan, saya bertanya pada teman- temannya apakah sesuatu terjadi antara mereka dan Arman, ataukah memang sifatnya saja yang suka menyendiri. Lagi- lagi hati saya terenyuh mendengar cerita dari beberapa temannya yang saya panggil dan ajak bicara. Arman seorang siswa kelas VI SD harus membantu orang tua nya berjualan ikan dan ayam dari jam 5 subuh hingga jam 7 pagi. Dari pasar tempat mereka berjualan, Arman langsung berangkat ke sekolah tanpa sempat mandi dan menggunakan seragam yang bersih dan rapi. Baju yang sudah digunakan dari jam 5 subuh, ternyata menyimpan aroma ikan dan ayam dagangannya. Hal ini membuat dia dijauhi oleh teman- temannya karena aroma pada baju dan tubuhnya.
Saya lakukan lagi hal yang sama, berkunjung ke rumah orang tuanya, membuka obrolan tentang hal yang terjadi. Saya jelaskan bahwa tidaklah salah anak membantu ekonomi keluarga, namun jangan sampai anak menerima dampak yang tidak baik dari hal tersebut. Seperti orang tua Iqbal, ternyata orang tua Arman tidak memahami dampak yang terjadi pada anaknya. Sama dengan halnya dengan solusi pada kasus Arman, saya hanya memberi saran, namun saya serahkan semua keputusan pada orang tua Arman. Saya menyarankan agar Baju seragam Arman dicuci dengan bersih, lalu mengurangi waktu berjualannya di pasar, agar Arman sempat pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian sebelum berangkat ke sekolah. Kami sepakat, dan saya sangat bersyukur sekali.
Esok hari, saya sendiri juga penasaran akan perubahan yang terjadi terhadap Arman. Dan perubahan yang saya harapkan memang menjadi nyata, Arman datang dengan baju yang lebih bersih, badan yang lebih segar, dengan rambut basahnya yang menggunakan minyak wangi pada rambutnya. Saya segera buat aksi baru, menasehati teman- temannya agar tidak lagi manjauhi Arman, agar bermain dan belajar bersama, dan saling menghargai juga menghormati terhadap semua teman di kelas.
Sejak itu, saya merasa bahwa saya sebagi guru harus lebih peka pada siswa saya. Saya mulai melibatkan orang tua siswa pada setiap hal yang terjadi pada siswa. Tanpa saya sadari, saya sudah melakukan komunikasi dan kerja sama yang baik dengan orang tua. Saya sadar bahwa keresahan- keresahan di dalam kelas sangatlah beragam, dan akan terus ada. Dari siswa saya, saya belajar bahwa memahami profil siswa sangatlah penting untuk kesiapan belajar siswa. Dan dari siswa, saya juga belajar untuk memahami setiap keadaan yang dialami siswa. Dari siswa saya, saya juga belajar bahwa guru haruslah menjadi seorang guru bukan sekedar tenaga pengajar. Sekarang, bagi saya belajar tidak mengenal waktu, belajar bisa pada siapa saja, belajar bisa dari mana saja. Panjang umur perjuangan !