Pembelajaran jarak jauh (PJJ) memberikan beragam tantangan baru bagi guru, salah satunya yakni menerapkan kedisiplinan pada murid. Pasalnya, PJJ dianggap menghilangkan sebagian besar kontrol guru atas kelola dinamika kelas.
Pada dasarnya penerapan disiplin saat pembelajaran tatap muka (PTM) dan PJJ tidak jauh berbeda. Keduanya memiliki prinsip yang sama yakni harus menghindari penggunaan kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun psikis.
Banyak guru tidak sadar ketika melakukan kekerasan psikis pada muridnya seperti misalnya memarahi murid di depan teman-temannya ketika terlambat, melabeli murid pemalas ketika tidak mengerjakan PR, dan sebagainya.
Kekerasan Bukan Solusi Murid Disiplin
Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar menegaskan, kekerasan bukan merupakan metode pendidikan melainkan hasil endapan pengalaman relasi emosional antara pendidik dengan murid.
“Mendengar dan patuh merupakan kewajiban yang hanya berlaku untuk anak. Jika tidak patuh maka sah melakukan pemaksaan bahkan dengan menggunakan kekerasan. Ini adalah pemikiran yang kuno,” jelas Bukik.
Lebih lanjut, Bukik mengungkapkan, Ki Hadjar Dewantara pernah mengkritik pemaksaan dalam pendidikan adalah ciri pendidikan kolonial. Murid sebagai seorang manusia memiliki kodratnya sendiri sehingga tugas pendidik adalah mendampingi tumbuh kembangnya, bukan memaksa kodratnya.
Bukik berpesan agar guru mulai mengenal dan menerapkan disiplin positif, yakni kedisiplinan yang dibangun bersama antara guru dan murid. Kedua belah pihak harus saling mendengarkan, memahami, dan menghargai untuk mengembangkan kesepakatan serta proses belajar yang bermakna.
Dihubungi terpisah, ketua Kampus Guru Cikal, Elisabet Indah Susanti menyebutkan setidaknya ada dua langkah esensial untuk menerapkan disiplin positif. Pertama, mengubah peraturan menjadi kesepakatan. Berbeda dengan peraturan, kesepakatan melibatkan kedua belah pihak yakni guru dan murid dalam proses perumusannya.
Langkah Membangun Kedisiplinan Tanpa Kekerasan Saat PJJ Maupun PTM
“Pertimbangkan pendapat murid agar kesepakatan tersebut memang merupakan milik bersama. Jika murid belum terbiasa mengemukakan pendapat, guru bisa memancing pertanyaan. Seperti meminta persetujuan pada poin-poin kesepakatan yang disarankan oleh guru,” jelas Susan, sapaan akrabnya.
Baik guru maupun murid, keduanya memiliki hak untuk menyanggah poin-poin yang sedang dirumuskan. Penolakan terhadap masukan satu sama lain adalah hal yang biasa, namun tentu harus disampaikan dengan bahasa yang baik dan tidak menyakitkan hati.
Selanjutnya, Susan menekankan, dalam disiplin positif tidak ada hukuman melainkan konsekuensi logis. Melalui konsekuensi logis, murid diajak untuk memahami apa saja kerugian yang ia terima jika melakukan pelanggaran.
Seperti misalnya seorang murid terlambat masuk ke kelas pasca istirahat. Menyuruh murid lari putar lapangan lima kali bukanlah konsekuensi logis.
“Tanyakan terlebih dahulu apa alasannya terlambat masuk ke kelas. Oh, ternyata karena tidak mendengar ada bel masuk. Lalu tanyakan ke murid, kira-kira apa solusinya agar tidak berulang? (Misalnya murid mengatakan) harus istirahat di tempat yang dekat dengan bel. Selain itu mungkin guru bisa mengajak murid lain untuk saling mengingatkan ketika susah bel,” jelas Susan.
Mendorong murid untuk memperbaiki keadaan, terang Susan, juga merupakan bagian dari konsekuensi logis. Misalnya ketika murid menumpahkan air maka diminta untuk mengepel dengan mempertimbangkan umur murid adalah tindakan yang tepat. Namun tentu dengan pembahasan bahwa lantai basah yang tidak segera dipel bisa menyebabkan orang terpeleset.
“Intinya konsekuensi logis itu merespon kesalahan atau pelanggaran murid namun dengan prinsip berhubungan, menghargai, beralasan, dan membantu. Anak bukan dipaksa melainkan diajak untuk memahami. Baik saat PTM maupun PJJ, kedisiplinan murid bisa dibentuk melalui cara ini” pungkas Susan. (YMH)