Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia yang menjadi pedoman bangsa dalam berkehidupan setiap hari. Dalam kurikulum merdeka belajar ini, Menteri Pendidikan menggalakan akan pentingnya Pendidikan karakter peserta didik. Maka dari itu terbentuklah Karakteristik Profil Pelajar Pancasila yang mencangkup 6 dimensi yaitu, (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; (2) mandiri; (3) bergotong-royong; (4) berkebinekaan global; (5) bernalar kritis; dan (6) kreatif. Dengan adanya Pendidikan karakter dan juga merdeka belajar dalam Pendidikan Indonesia, semua guru berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung peserta didik dalam mengembangkan karakter yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai norma-norma Pancasila.
Saya beserta guru yang lainya berdiskusi bersama kepala sekolah untuk membuat kegiatan yang mencangkup 6 dimensi Pancasila tersebut. Kegiatan yang tak hanya sekali selesai akan tetapi juga bisa memberikan dampak yang signifikan dalam mengolah karakter mereka dalam kurun waktu yang panjang. Berbagai usulan diberikan dan akhirnya kami menyetujui kegiatan yang menyenangkan, menarik dan terintegrasi dengan kehidupan nyata dan lingkungan sekitar. Kegiatan ini yang akan nantinya menjadi budaya dan ciri khas sekolah kami.
Kegiatan Budaya Jumat menjadi pilihan kami untuk mengisi dan membangun karakter peserta didik. Budaya jumat pertama adalah senam sehat dan makan sayur, budaya jumat kedua adalah senam sehat dan minum jamu, budaya jumat ketiga di isi dengan istighosah dan jajanan tradisional, budaya jumat keempat adalah jumat bersih, dan budaya jumat kelima adalah jumat jawa. Setelah menyetujui kelima budaya tersebut dikoordinasikan dengan orang tua murid dalam rapat komite.
Setelah berkoordinasi dan musyawarah menimbang dampak yang ditumbulkan budaya ini, akhirnya disetujuilah dan orang tua mendukung 100% budaya jumat ini. Setiap budaya memiliki tantangan tersendiri. Menuntun anak-anak untuk bisa melakukan budaya tersebut dan menanamkannya sehingga bisa menjadi karakter diri mereka.
Beberapa tantangan dari penerapan budaya ini adalah memotivasi anak yang tidak suka makan sayur. Awalnya masih terdapat anak yang membawa bekal ayam krispi tanpa ada sayur dan ada yang membawa sayur akan tetapi hanya diambil kuahnya saja, mereka masih menyisihkan sayurnya. Disini peran guru beraksi, setiap guru memberikan pengetahuan dan mendorong mereka untuk mencoba sayur yang mereka bawa.
Tantangan kedua adalah mengedukasi apa nama minuman jamu yang mereka minum, mengenalkan mereka dengan tradisi orang jawa zaman dahulu. Menawarkan mereka untuk mencoba berbagai jenis jamu tidak hanya minum jamu kunir asem saja.
Berbeda dengan jumat jajanan tradisional, mereka menyukai jenis jajanan tradisional. Orang tua mereka membekali dengan berbagai jenis jajanan meski mereka tidak tahu apa namanya. Lagi-lagi peran guru sangat dibutuhkan untuk menjelaskan dan menarik kaingintahuan mereka untuk menggali lebih dalam jenis dan makna dari jajanan tradisional yang mereka bawa. Sedangkan untuk jumat jawa anak-anak hanya perlu membiasakan diri dengan pemilihan kata Krama Inggil jika ingin berbicara dengan orang yang lebih tua dari mereka dan jumat istighosah mereka sudah tertanam sikap khusuk dalam berdoa dan mengadahkan tangan keatas tanda meminta hajat pada Allah swt.
Lambat-laun kegiatan budaya jumat ini berjalan dan anak anak sudah mebiasakan diri dengan budaya yang dilaksanakannya setiap jumat memberikan dampak positif tak hanya dari diri mereka akan tetapi lingkugan sekolah dan orang tua mereka. Setiap budaya mengajarkan mereka akan pentingnya sikap yang harus mereka miliki dalam kecakapan hidup mereka.
Jum’at pertama menanamkan karakter pengenalan jati diri dengan hidup sehat makan sayur dan senam sehat di pagi hari. Kebudayaan ini bisa menanggulangi kekurangan gizi pada anak karena anak yang tidak suka makan sayur di rumah. Senam pagi hari bisa memberikan pemanasan dan mengalirkan darah dengan lancar sehingga anak tidak mengantuk dan bersemangat ketika menerima pembelajaran.
Jum’at kedua menanamkan karakter berkebinekaan dengan mengenal tradisi budaya jawa yang suka minum jamu dan menjunjung warisan budaya pola hidup sehat yang berbasis kearifan lokal. Selain sehat siswa dapat mengetahui macam-macam jamu dari teman teman yang membawa jamu yang berbeda setiap jum’atnya.
Jum’at ketiga menanamkan karakter beriman bertaqwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dengan membiasakan mereka berdoa bersama untuk keselamatan dan kesuksesan mereka dalam belajar. Selain itu, ada jajanan tradisional yang menggambarkan tradisi jawa setelah mengadakan selamatan atau doa bersama disuguhkan dengan jajan pasar. Sehingga hal ini bisa menambah wawasan anak mengenai asal usul atau cerita di balik jajanan tradisional.
Jum’at keempat menanamkan karakter kemandirian, gotong royong, dan peduli lingkungan. Siswa bergotong royong dalam membersihkan lingkungan sekolahan, mereka bisa meningkatkan kerja tim mereka dengan saling membantu satu sama lain, selain itu mereka juga terlatih untuk membersihkan lingkungan sekitar mereka secara mandiri tanpa disuruh orang tua.
Jum’at kelima menanamkan karakter peduli dengan bahasa lokal. Terkadang siswa tidak memahami bahasa lokal mereka dengan baik, sehingga jika ditanya mereka tidak bisa menjawab. Dengan adanya jum’at jawa ini anak bisa berlatih berbahasa jawa krama dengan baik dan sopan ketika berbicara dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua.
Tentunya budaya ini masih memiliki kekurangan yang harus saya dan para guru tingkatkan lagi di setiap momennya. Membiasakan diri dari hal terkecil untuk bisa menjadi kebiasaan setiap hari dan lambat laun menjadi budaya yang menemani mereka hingga dewasa nanti.