Seperti biasa, diawal semester saya selalu menggunakan angket untuk melakukan asesmen secara singkat mengenai apa yang murid saya rasakan dan alami. Banyak sekali jawaban anak-anak mengenai apa yg mereka rasakan. Namun yang saya ingin ceritakan disini adalah ketika murid-murid saya tidak puas dengan kondisi diri mereka sendiri. Merasa kurang pintar, tidak cantik karena tidak putih seperti artis yang ada di layar kaca. Saya mulai mengamati ternyata banyak murid perempuan menggunakan krim wajah yang menjadikan wajahnya putih namun bukan putih alami. Tidak hanya wajah, namun bibir anak-anak sudah mulai dipulas dengan gincu merah. Banyak guru heran, sebenarnya mereka mau sekolah atau manggung. Sebab tampilan murid perempuan saya tersebut sangat mencolok. Yang saya khawatirkan bukan tampilan mereka namun, apakah kosmetik yang mereka gunakan itu aman dan tidak mengandung zat berbahaya? Mengingat budget mereka untuk membeli kosmetik sangat terbatas, sebab uang yang mereka miliki pun terbatas.
Tidak mudah untuk memberi pengertian pada remaja. Mereka ingin tampil cantik namun terkadang abai terhadap dampak yang nantinya akan ditimbulkan. Belum lagi satu sama lain terkadang saling cemburu karena menganggap teman mereka lebih cantik secara fisik. Ketika saya sebagai guru perempuan mengingatkan pun terkadang dianggap sebagai rasa iri saya terhadap mereka. Saat dikelas mereka bertanya, “Bu, kenapa murid ga boleh pakai make up tapi guru boleh?”. Saya pun tersenyum mendengar pertanyaan tersebut. Sebagai sesama perempuan saya pun pastinya pernah merasakan apa yang mereka rasakan.
Langkah pertama setelah saya lakukan pengamatan terhadap kecenderungan beberapa murid perempuan saya pun mulai mengajak beberapa murid saya secara individu. Saya menanyakan tentang produk apa yang mereka pakai, berapa lama mereka memakai, dari mana mereka tahu, apa yg mereka rasakan setelah memakai produk tersebut. Jawaban mereka juga hampir sama. Rata-rata hanya mencoba salah satu produk yang saya juga baru tahu setelah mendengar penjelasan dari mereka dan jika dipakai dalam hitungan Minggu saja bisa menjadikan kulit mereka putih. Setelah mendapat beberapa cerita, saya mulai menyusun RPL (Rencana Pelaksanaan Layanan).
Untuk melengkapi RPL saya membawa contoh wanita-wanita cantik dengan keunikan mereka sendiri serta beberapa contoh kosmetik yang saya pernah saya beli. Dikelas mereka tampak senang setelah saya mengeluarkan beberapa kosmetik dari tas kecil yang saya bawa. Mereka langsung bertanya, “Bu Ani mau tutorial make up?” Saya tersenyum, “Gimana Bu Ani mau ngajarin kalian make up. Bu Ani saja ga bisa pakai make up?” Setelah berdialog beberapa menit, saya pun mulai memberikan materi. Saya mulai dengan menampilkan video Najwa Shihab yang menjelaskan arti cantik bersumber pada kekuatan empati dalam diri. Kemudian saya pun menampilkan foto-foto wanita cantik dari berbagai belahan dunia. Seperti Korea, Amerika, India, Arab, dan Indonesia.
Kemudian saya bertanya kepada mereka, “Apakah cantik itu sama dengan putih?” Mereka kompak menjawab, “Tidakkkkk”
“Apakah cantik itu harus langsing”
Mereka masih menjawab, “Tidakkkk”
“Tapi kenapa ya?
Kita selalu ingin tampil cantik?” Hening seketika
Saya pun menjelaskan bahwa beberapa hal yang menyebabkan kita ingin tampil cantik. Setelah mereka mengerti, akhirnya saya mengeluarkan beberapa kosmetik yang saya beli. Beberapa saya beli namun tidak cocok di kulit saya, sekali pun memberikan efek rasa bersih namun membuat kulit saya sering berjerawat. Padahal kosmetik tersebut diklaim aman. Tanpa aba-aba seorang murid bertanya, “Bu merk X aman ga, merk C aman ga?” Saya pun balik bertanya, “Kalau di pakai dikulit panas dan membuat kulit kalian tipis kira-kira aman ga ya” “Tidakkk” jawab anak-anak.
Dari sinilah mereka berfikir ulang, apakah kosmetik yang mereka beli aman atau tidak. “Nah kalau tidak, berarti harus di stop. Bukan karena kalian tidak ingin cantik tapi kalau ujung-ujungnya tidak aman bagaimana?” Diakhir sesi saya menutup dengan memberikan refleksi dari beberapa murid yang sempat saya tanya. “Pada akhirnya cantik tidak hanya bersumber dari fisik, tapi juga hati. Kalau fisik kita dirawat hati pun perlu dirawat” “Kira-kira kalau kita kapan-kapan bahas lagi tentang cantik bagaimana?” Mereka menjawab dengan penuh semangat, “Mauuuu Bu”
Dari anak-anak saya pun belajar bahwa mereka melanggar aturan bukan tanpa sebab. Namun dengan dialog dan tidak melabeli mereka nakal menjadikan mereka lebih terbuka untuk menerima usulan kita.