Menulis Untuk Menata Emosi

MENULIS UNTUK MENATA EMOSI 

Oleh Sarmina Tampubolon, ST

Tenaga Didik di PKBM Permata Unggul

Orprof KGBN

Terluka adalah kata pertama yang bisa mewakili pikiran dan perasaan saya waktu dulu. Saat itu, seorang teman mengatakan anak kami yang berusia hampir empat tahun, tidak bisa bicara. Padahal, gadis kecil itu hanya ‘membatasi diri’ untuk bicara dengan orang lain.

Selain gelisah dan sedikit terpuruk, saya mencoba mencari tahu tentang penyebab seorang anak tidak bisa bicara dengan lancar. Ternyata … kasusnya sangat banyak. Bukan hanya di literatur, ahli, dan kalangan terapis yang mengatakannya. Namun di sekitar saya dan orang-orang yang sering interaksi pun pernah dan bahkan sedang berada di posisi itu.

Gangguan bicara ternyata banyak jenisnya dan beragam pemicu. Masalah yang sudah ada sejak zaman purba, begitu disebutkan dalam salah satu sumber. Beruntungnya, saya menemukan cara mengatasi kasus pada anak kami. Kabar baiknya, masalah bicara bisa dikenali dan diatasi sejak dini.

Saya membayangkan betapa banyak ibu, saudara, kerabat, bahkan pendidik atau guru yang mengalami kesulitan menghadapi masalah ini. Seperti pengalaman Bu Gea yang memiliki anak laki-laki dengan kesulitan membaca.

“Maaf, Bu. Ini kan sudah kelas 2, anak ibu belum bisa membaca dan tulisannya sering terbalik. Jadi terpaksa, dia dirumahkan dulu,” keluh salah seorang guru di sekolah X.

Bu Gea dan guru anaknya tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan anak berusia hampir 9 tahun itu kesulitan menghubungkan huruf dan menuliskannya dengan benar. Tak pernah terpikir kemungkinan ada gangguan pada indera atau saraf halus anak itu, karena semua tampak normal dari luar. Dan siapa yang menduga kalau anak itu adalah anak dengan Disleksia.

Belum lagi kasus anak yang bicaranya terbata-bata, patah-patah seperti kelelahan, trantrum, dan masih banyak lagi kasus bicara lainnya. Bukan tidak mungkin anak-anak seperti itu akan murung, kecewa pada diri dan pencipta-Nya, atau meningkat menjadi gangguan yang lebih kompleks.

Anak yang suka tantrum adalah anak yang tak mampu mengendalikan keinginannya untuk mendapatkan sesuatu. Emosi yang menumpuk akibat sulitnya orang dewasa atau orang di sekitarnya untuk mengerti apa yang diinginkan. Seakan dunia tak peduli kecuali kalau dia berteriak, memukul atau menyakiti, bahkan melampiaskannya dengan membuang barang-barangnya serta menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Pengalaman adalah pelajaran bermakna, dan yang hidup dalam kehidupan.

Pengalaman hidup dari beragam kalangan, mendorong saya untuk menuliskan buku solo, “Please Talk To Me, My Dear”. Dalam buku ini terdapat banyak contoh nyata masalah bicara dan rujukan yang bisa diikuti berdasarkan pertimbangan ahli di bidangnya. Buku ini saya rekomendaikan kepada teman dan siapa saja yang sedang menghadapi masalah seperti disebut di atas, atau yang sedang dan akan  menyiapkan diri jadi orangtua atau guru.

Menuliskan hal-hal berkesan dan bermakna dalam keseharian itu mampu mengembalikan kepercayaan diri dan menata diri lebih baik. Ketika berhadapan dengan dunia di luar diri dan anak-anak, saya pun lebih siap dengan segala kondisi. Apalagi dengan merdeka belajar, ini benar-benar sejalan.

Mungkin teman-teman sama seperti saya, pernah terlintas dalam pikiran, “Apakah ada ‘cuan’ dari menulis?”

Bukankah petani menanam, lalu buahnya menyusul kemudian?. Itu pasti.

Selain penjualan buku, terbuka beberapa peluang untuk mendapat penghasilan tambahan dari menulis. Misalnya mengisi pelatihan menulis, seminar, workshop, dan lain-lain.

Namun, hal terbesar yang saya dapatkan ketika menuliskan buku ini adalah kemampuan menata emosi jadi lebih baik, tidak mudah baper, terbuka terhadap berbagai masukan. Menata emosi ketika ada masalah dalam mendidik anak, berhadapan dengan berbagai pendapat orang dan bisa memberi manfaat pada orang lain.

Buku ini telah menghubungkan saya dengan teman yang telah terpisah lama, sekitar tigapuluh tahun. Terhubung dengan teman yang punya minat menulis hingga daerah terluar Nusantara.

Beberapa pengalaman manis dan bermakna lainnya, ketika pembaca memberikan refleksinya setelah membaca buku ini. “Andai buku ini ada waktu dulu, ketika saya menghadapi anak yang susah bicara … Saya pasti tidak sepanik dulu, bahkan hampir terpuruk karena anak jadi suka teriak-teriak dan gunjingan orang lain yang bikin kupung panas,” keluh salah seorang ibu muda.

Baru-baru ini, seorang ibu dengan anak disleksia juga mengaku, “Bun, saya sudah baca sebagian bukunya. Seolah saya yang bicara di dalam buku ini, padahal kita kenal belakangan ini,”

Saya teringat kisah almarhum B.J. Habibie dengan buku, “Ainun dan Habibie” yang akhirnya diangkat ke layar lebar. Tulisan yang lahir ketika teknokrat dan negarawan kebanggaan Indonesia itu terpuruk karena wafatnya istri tercinta, Ainun. Terapisnya menyarankan untuk menuliskan segala kenangan dan perasaannya untuk mengurangi depresi hebat akibat kehilangan orang terdekatnya. Alhasil, emosinya lebih tertata dan dia tersenyum mengenang belahan jiwanya yang kemudian dia susul ke alam keabadian.

Menulis bukan sekadar mengeluarkan uneg-uneg, tetapi membuat diri kita makin terbangun dengan pengalaman baru, berpikir objektif, emosi yang tertata, dan memberi manfaat bagi semua pembaca.

***

Semarang, Oktober 2022

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top