Menulis Novel Ramai-Ramai Dengan Metode Mind Maping

Menulis Novel Ramai-ramai dengan Metode Mind Maping

Mood dan motivasi tidak datang setiap hari. Pada banyak kesempatan, kita harus memaksanya keluar dari dalam diri untuk mengalahkan rasa malas dan setengah hati.

A Wan Bong

Ketika tujuan pembelajaran berbunyi bahwa murid mampu menganalisis unsur dan kebahasaan sebuah novel, saya yakin mereka bisa lebih dari itu. Quotes itulah yang menginspirasi saya membelajarkan menulis pada murid-murid. Ya, mereka harus meningkatkan satu level lagi yaitu menulis novel. Semua harus dilatih, saya percaya bahwa menulis tidak perlu bakat. Bagi saya tidak ada kata terlambat untuk memulai menulis.

Murid-murid saya memiliki potensi untuk bisa menulis. Dalam hal ini menulis karya sastra berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Hal tersebut, saya ketahui ketika saya melakukan asesmen diagnostik. Namun potensi tersebut kurang dilatih, sehingga murid-murid saya merasa kesulitan untuk menulis.

Dari keadaan tersebut, saya ingin menumbuhkan potensi menulis pada murid-murid saya. Semua itu perlu dilakukan pendampingan yang maksimal. Selain itu motivasi yang tinggi kita berikan ke mereka, agar murid-murid saya merasa percaya diri bahwa mereka bisa menulis.

Melatih dan membiasakan murid untuk menulis bukanlah hal yang mudah. Jika murid dibiasakan menulis, kebiasaan membaca juga digalakkan. Kegiatan menulis dan membaca seperti kepingan mata uang. Selalu hadir bersamaan. Ketika seseorang ingin menjadi penulis yang handal, harus melewati proses membaca. Demikian juga sebaliknya. Inilah tantangan pertama yang saya alami. Ketika saya melatih murid untuk menulis, kegiatan membaca juga dibiasakan. Pada kenyataannya, tidak banyak murid yang gemar membaca.

Pandemik Covid 19 sangat berdampak bagi murid dan guru. Meskipun telah dilaksanakan pendidikan jarak jauh, kemungkinan telah terjadi Learning Loss. Beberapa murid, mulai merasa kehilangan semangat belajar. Hal ini terjadi karena proses pendidikan kurang maksimal. Guru perlu waktu dan tenaga untuk mengembalikan semangat belajar secara maksimal. Hal ini juga menjadi tantangan saya untuk membiasakan berliterasi pada murid-murid.

Membaca novel bukan hobi utama bagi sebagian murid. Mereka lebih suka berkegiatan bermain dari pada membaca buku. Selain itu menonton film dan jalan-jalan ke mal lebih asyik baginya. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Kenyatannya, membaca novel bukanlah kegiatan yang sia-sia. Miskonsepsi harus dilawan. Ketika membaca novel banyak pengalaman hidup yang dipelajari. Terbangun filosofi yang sangat kuat. Apalagi kalau kita membaca novel karya penulis terkenal. Pasti ada hal baru yang didapatkan.

Dari beberapa tantangan yang ada, saya percaya pasti semua akan berubah. Bagaimana saya bisa mengajak murid bisa menulis novel? Setelah mengetahui siapa murid saya dengan melakukan asesmen diagnosis, murid wajib membaca novel di perpustakaan sekolah atau milik sendiri, itu kegiatan awal yang saya lakukan. Setelah membaca novel, murid menerima tantangan menulis sinopsis atau resumenya. Murid banyak mendapatkan manfaat dari kegiatan ini. Di antaranya, mereka mendapatkan ilmu pengetahuan baru, selain itu dengan membaca secara tidak langsung menambah kosa kata baru, sehingga ketika murid mulai belajar menulis, dia tak kesulitan untuk mengungkapkan ide-idenya.

Setelah menulis sinopsis, masing-masing murid saling menceritakan isi novel yang telah dibaca. Terjadilah sebuah diskusi yang menarik di pembelajaran tersebut. Salah satu murid, ada yang bercerita tentang novel “Layangan Putus”. Ternyata murid lain menyangga isi cerita dalam novel tidak sesuai dengan film. Nah, terjadilah keseruan-keseruan pada diskusi tersebut. Dari diskusi, secara tidak langsung mereka sudah berproses memahami isi dan kebahasaan pada sebuah novel. Tidak berhenti sampai di sini, tantangan selanjutnya, adalah murid-murid bisa menulis novel dengan cara berkelompok.

Tidak mudah menyatukan ide, apalagi untuk menulis novel. Menulis novel secara individu, merupakan beban bagi kelas XII SMA. Memang itu tantangan yang tidak ringan. Maka, yang saya lakukan adalah membagi empat kelompok dalam satu kelas. Masing-masing kelompok beranggotakan 8 – 10 murid. Diharapkan nanti tercipta 4 novel.

Untuk menyatukan ide mereka, masing-masing kelompok menerima kanvas dalam bentuk Mind Mapping. Yang di dalam Mind Mapping tertulis unsur-unsur instrinsik sebuah novel. Di bagian tengah ada tema, lalu dibuat cabang-cabang, dari beberapa cabang dibuat ranting-ranting. Bagian cabang ditulis penokohan, alur, seting, sudut pandang, amanat, serta gaya bahasa yang digunakan. Di bagian cabang penokohan ditarik lagi oleh ranting tokoh antagonis, protagonis, tritagonis, dan figuran. Di bagian alur di tarik ranting perkenalan, pemunculan konflik, klimaks, antiklimaks, serta penyelesaian. Kemudian di bagian seting ditarik ranting seting tempat, suasana, dan waktu. Cabang sudut pandang disepakati menggunakan sudut pandang orang ke tida atau pertama. Di cabang amanat dapat ditarik ranting nilai-nilai moral, pendidikan, agama, maupun sosial. Untuk cabang gaya bahasa, disesuaikan dengan penulis. Sedangkan tema harus disepakati bersama.

Masing-masing kelompok mendiskusikan isi dari mulai cabang tema sampai ranting yang paling kecil. Setelah semuanya terisi, maka anggota kelompok harus memahami novel yang akan ditulisnya. Ibarat membuat bangunan, bahan dan bentuk sudah disiapkan, tinggal tugas masing-masing anggota menyelesaikan ruang-ruang yang ada dalam bangunan tersebut. Jadi anggota kelompok wajib menulis satu episode cerita yang mengacu pada Mind Mapping tersebut. Setelah masing-masing anggota menyelesaikan tulisannya, disatukan hingga terbentuk satu novel. Di bagian terakhir pemberian judul novel.

Proses yang tidak sederhana, karena kemampuan murid juga berbeda-beda. Maka saya terus memberikan umpan balik serta motivasi, agar masing-masing kelompok bisa mewujudkan novelnya.

Betapa gembiranya ketika novel tersebut bisa tercipta. Dibutuhkan kekompakan, kebersamaan, gotong royong, saling memberi, untuk mencapai sebuah tujuan. Hasil kumpulan cerita yang mengacu dalam satu tema tersebut disunting, kemudian dicetak. Banyak nilai-nilai yang diambil dari proses pembelajaran tersebut. Titik kepuasan sudah bisa dirasakan, bahwa mereka ternyata bisa mencipta sebuah novel.                

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top