Mensyukuri Perbedaan Dan Keragaman

MENSYUKURI PERBEDAAN DAN KERAGAMAN

Bersyukur adalah ungkapan yang paling baik atas keragaman yang ada di negeri yang kita cintai ini. Betapa tidak? Amat banyak kekayaan dalam bentuk keragaman itu yang tidak dimiliki oleh negeri selain Indonesia. Suku, agama, budaya, kesenian, flora, fauna, serta kekayaan alam lainnya melimpah. Namun, beberapa kejadian menjadi sumber perhatian dan keprihatinan kita semua. Betapa keragaman yang merupakan himpunan dari perbedaan itu acap kali menjadi sumber konflik.

Para guru dan lembaga pendidikan seharusnya menjadikan hal itu sebagai tantangan. Apa dan bagaimana sistem yang perlu disiapkan untuk mengatasi potensi konflik, ‘menggarap’ perbedaan-perbedaan itu menjadi sumber-sumber kekuatan.

Terkait dengan perbedaan, keragaman dan bagaimana memanfaatkan potensi ini, saya akan menceritakan dua hal berikut. Yang pertama apa yang pernah saya ketahui dan alami ketika saya mengajar di Bandung dan yang kedua apa yang saya dan sekolah lakukan di Lampung.  

Saya agak lupa kapan tepatnya kejadian yang pertama. Waktu itu saya masih mengajar di sebuah sekolah di Bandung. Suatu pagi, ada tamu datang ke sekolah. Sepasang ayah-ibu, orang tua dari satu siswa saya. Pasangan pengusaha dan dokter. Pasangan dengan satu anak yang berkecukupan jika tidak dikatakan sebagai keluarga kaya. Mereka sengaja datang tidak bersama anaknya. Saat itu anaknya tengah berlibur sesuai dengan agenda sekolah. Mereka, kalau tidak salah, dari Bekasi.

Mereka maklum bahwa pimpinan sekolah kami dikenal sebagai tokoh dan ‘orang sibuk’. Jadi, tidak mudah untuk bertemu dengan beliau. Itulah alasan keduanya berangkat sejak sehari sebelumnya dan menginap di salah satu tempat menginap yang tidak jauh dari sekolah. Mereka berpikir bahwa dengan sepagi itu mereka datang, harapan untuk bisa bertemu pimpinan sekolah kami semakin besar.

Namun, apa yang terjadi? Pimpinan sekolah kami saat itu justru sedang tidak berada di Bandung. Lalu atas bantuan petugas sekolah yang menghubungi melalui telepon, orangtua itu memutuskan untuk tetap akan menunggu hingga pimpinan sekolah kami pulang. Mereka sepertinya kurang berkenan ketika perwakilan sekolah menawarkan untuk bisa melayani keperluan mereka mewakilil pimpinan kami. Mereka lalu kembali ke penginapan. Sekolah menyilakan dan menghormati keputusan itu.

Alhamdulillah, dengan terus berkomunikasi dengan pihak sekolah, juga komunikasi langsung antara mereka dengan pimpinan kami, mereka datang lagi ke sekolah keesokan harinya.

Mereka datang ke sekolah tepat seperti yang telah dijanjikan. Karena ada keperluan mendadak, pimpinan kami agak terlambat hadir di sekolah. Apa yang terjadi kemudian sangat mengagetkan dan menarik perhatian saya dan saya teringat terus hingga saat ini.

Setelah saling menyambut di lobi sekolah, pimpinan sekolah diiringi beberapa guru yang sedang on-duty (piket) mengajak masuk ke ruang tamu. Tiba-tiba, masih di awal pembicaraan menyambut tamu itu, ibu dari pasangan itu menubruk, memeluk, lalu menyungkurkan diri di hadapan pimpinan kami itu sambil menangis tersedu-sedu. Seketika beliau terkejut. Guru-guru yang mendampinginya pun demikian. Kami semua terpaku dan agak bingung.

Beberapa saat kemudian, sambil masih menangis dan dalam posisi terduduk di lantai, ibu itu berkata, “Ustadz, apa yang telah Ustadz lakukan kepada anak saya? Apa yang terjadi dengan anak saya, Ustadz?” Mata saya berkaca-kaca menuliskan ini. Haru setiap mengingat kejadian ini. Pimpinan kami dan kami yang hadir di situ kemudian mencoba menenangkan ibu itu. Kami saling berpandangan tidak mengerti. Kami masih bingung.

Beberapa saat kemudian ibu itu bercerita tentang perubahan anaknya. Anaknya, yang ia kenal sebelum ini agak susah diatur; mengelola keuangannya dengan sesukanya, sering tidak jujur, bahkan beberapa kali pernah ‘berulah’ sehingga perlu ada konsultasi khusus bersama konselor, tiba-tiba berubah. Berubah seperti apa?

Menurut pasangan orangtua itu, sepanjang pengalaman mereka membesarkan anak tunggal itu, setiap menjelang Idul Fitri biasanya mereka bertanya tentang kebutuhan pakaian baru, sepeda motor atau mobil baru, hadiah lainnya, atau uang dan kebutuhan tambahan apa yang ia inginkan. Biasanya permintaan itu selalu segera dipenuhi. Namun, menjelang lebaran terakhir saat itu, dengan pertanyaan yang kira-kira sama setiap tahunnya itu, sang anak menjawab, “Uangnya dikasihin ke orang lain yang membutuhkan saja lah, Mah.” Seketika ibunya kaget lalu terdiam. Menurut ceritanya, nafas dan jantungnya terasa berhenti sebentar “… seperti disambar geluduk…” begitu ibu itu menyampaikan. Dalam benaknya, ibu itu berpikir; ada apa dengan anakku? Namun, di lubuk hatinya, ada syukur yang tak berhingga dengan kejadian singkat itu yang kemudian mendorongnya untuk segera ke Bandung bertemu dengan pimpinan sekolah kami. Ada keajaiban yang luar biasa menurutnya saat itu.

Dalam diskusi atas ungkapan dan cerita sang ibu itu, yang juga dikonfirmasi per telpon bersama anaknya, akhirnya kami menyadari bahwa perubahan yang terjadi pada anak itu adalah hasil dari salah satu kegiatan sekolah yang telah ia ikuti.

Pada semester akhir, siswa-siswa kelas tiga wajib mengikuti kegiatan yang dinamai Social Work & Spiritual Camp. Atas pengelolaan panitia yang ditugasi oleh sekolah, mereka diajak ke sebuah tempat yang biasanya cukup jauh dari kota. Ke desa-desa atau tempat terpencil. Di tempat itu siswa-siswa ‘dititipkan’ selama beberapa hari pada beberapa keluarga yang pada umumnya hidupnya sangat sederhana. Siswa-siswa itu harus mengikuti kegiatan dan kehidupan sehari-hari dari keluarga tempat ia dititipkan itu. Ada yang bekerja di sawah, angon ternak, membuat dan menjajakan kerupuk atau barang dagangan lainnya, berjualan di pasar, menjalankan angkutan desa, mengojeg, dan sebagainya.

Dari situlah sang anak tadi mengaku mendapat pelajaran sehingga ia memutuskan untuk berubah. Ia yang selama ini hidup dengan kelimpahan banyak kemudahan telah belajar dari perbedaan bahwa ada orang lain yang untuk hidup dengan banyak kekurangan dan harus berjuang sedemikian keras dalam keseharian mereka.

Ia berubah menjadi orang dengan sikap dan pemikiran barunya, bahwa ternyata hidup sederhana dan selalu bersyukur jauh lebih membahagiakannya. Dengan berbagi meskipun tidak banyak dari kelebihan uang yang ia terima dari orang tuanya, ia merasa lebih bahagia ketika menyaksikan sekelompok anak di sekitar bantaran rel kereta api tidak jauh dari asrama sekolah kami berbinar matanya ketika ia mengajaknya makan, buka bersama, atau sekadar memberi uang tambahan untuk membayar SPP sekolahnya. Ia merasa lebih bahagia ketika dengan sebagian uangnya melatih ibu-ibu dari kalangan ekonomi lemah membuat kue coklat untuk dijajakan melalui kios kecil yang ia bangun dan ia kelola. Sungguh, kami pun para gurunya awalnya tidak tahu dan tidak menduga atas hal baik yang ia lakukan itu.

Si kaya-raya di satu sisi, si miskin-papa di sisi yang lain. Satu dari sekian perbedaan yang selalu kita temui dalam kehidupan.

Semoga pengalaman itu makin menyadarkan kita bahwa perbedaan itu bisa menghadirkan manfaat jika dikelola dengan sepenuh kesadaran. Si kaya akan sadar bahwa ada yang indah ketika ia mau berbagi dengan si miskin. Si miskin juga akan mendapatkan kebaikan ketika bekerjasama dengan si kaya. Kira-kira begitu jika disederhanakan.

Masih berkait dengan keniscayaan akan perbedaan, semangat dari kejadian nyata bersama sekolah di Bandung ini saya bawa, sisipkan, dan sinergikan bersama beberapa kawan baru saya ketika kami diterima bekerja dan memulai pengelolaan sekolah baru di SMA Sugar Group Lampung. Sebuah sekolah suasta di bawah perusahaan gula.

Dalam disain kurikulum kami, ada satu program yang kami namai Live-In. Program ini diterapkan bagi siswa kelas 11 atau kelas 2 SMA. Live-In merupakan sebuah proyek untuk mengasah dan mengembangkan kesadaran siswa atas perbedaan (diversity) dengan cara mendekatkan mereka secara lebih nyata kepada keragaman budaya dan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, siswa akan tinggal beberapa hari di sebuah masyarakat lokal yang unik dan berkolaborasi dengan mereka  dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas spesifik lainnya. Sekolah bekerjasama dan mengirim mereka ke Kampung Bali yang ada di sekitar site tempat sekolah perusahaan ini berada.         

Para siswa sekolah Sugar Group pada umumnya lahir dan bertumbuh-kembang di lingkungan yang relatif sama atau homogen dalam banyak hal. Dalam kehidupan kebergamaan, cukup banyak masjid dan mushola di permukiman. Hal ini wajar karena mayoritas warga di site perusahaan adalah muslim. Di beberapa tempat dibangun pula beberapa gereja sebagai tempat beribadah warga yang bergama Kristen dan Katolik. Meski ada beberapa warga yang bergama Hindu, di site tidak ada pura atau tempat sembahyang khusus.

Permikuman kami cukup terisolir di tengah-tengah perkebunan tebu yang sedemikian luas. Jauh dari keramaian kota, bahkan setingkat kota kecamatan sekalipun. Kondisi ini tentu menyebabkan sebagian di antara warga kurang cukup pengalaman, kurang pergaulan, dan kurang paham atas keragaman dan tantangan yang ada di luar site. Kondisi seperti itu berpotensi membawa orang atau sekelompok orang menjadi seperti ‘katak dalam tempurung’. Sebagai informasi tambahan bahwa pada tahun 2005-an, perkembangan teknologi dan infrastukturnya belum secanggih sekarang. Saat ini hampir setiap orang relatif lebih mudah mengakses suatu pengetahuan atau informasi. Tetapi, bagi kita sebagai pendidik, pengalaman atau praktik itu jauh lebih mengantarkan para siswa pada tujuan yang hendak dicapai, yaitu mengenal dan menanamkan kesadaran akan keberagaman (diversity).

Dengan sedikit paparan mengenai keunikan dan keragaman warga di site yang dituliskan di atas, sekaligus untuk meningkatkan penghormatan mereka yang bergama Hindu, dan yang lebih luas lagi untuk mengenalkan budaya Bali dengan keunikan dan keragamannya, sekolah memutuskan untuk mengadakan Live-In ke beberapa Kampung Bali yang terdekat di sekitar site. Konon, orang asing lebih mengenal Bali sebelum mereka tahu lebih banyak tentang Indonesia dan seluruh keragamannya.

Pada kegiatan Live-In itu, beberapa keluarga yang ditempati guru dan siswa menyediakan tempat shalat bagi guru dan siswa yang pada umumnya muslim. Bahkan pernah ada warga yang menyiapkan truknya untuk mengangkut siswa dan guru pria ketika shalat Jum’at ke tempat yang agak jauh dari luar desa. Mereka juga sangat menjaga ternaknya karena menghormati nilai-nilai kehidupan yang berbeda dari sebagian besar tamunya saat itu. Mereka juga menyilakan guru dan siswa yang berkenan untuk melihat kegiatan ibadah mereka, baik di rumah maupun di beberapa pura yang ada di sana. Mereka juga mengajak peserta untuk bergabung dengan aktivitas mereka yang pada umumnya bertani. Setiap pertemuan atau pembicaraan dengan para peserta Live-In diadakan di balai kampung yang unik. Selain melebur bersama keseharian masyarakat di Kampung Bali itu, peserta Live-In juga melakukan pengabdian masyarakat. Siswa bersama guru juga bersama-sama menyelenggarakan pertandingan olah-raga dan keterampilan persahabatan, juga pentas seni di puncak kegiatan pada penutupan. Pada pentas seni, warga setempat menampilkan kegiatan dan budaya yang bernuasa Bali sedangkan siswa menampilkan tarian-tarian Jawa, tarian Lampung, hingga tarian-tarian modern, melakonkan drama, bermain musik, melawak, stand-up comedy, dan kegiatan lainnya yang selama ini mereka pelajari. Kegiatan ini hampir selalu meriah dan menjadi salah satu hiburan bagi warga setempat selain pastinya seluruh siswa pun sangat terhibur.

Berdasarkan pengalaman, hampir setiap anak merasakan waktu yang sedemikian pendek dan berlalu sedemikian cepat. “Waktunya kurang. Diperpanjang lagi dong Pak/ Bu.” Kira-kira begitulah kesan yang mereka ungkapkan setiap menjelang atau dalam sambutan kegiatan perpisahan.

Ya…. Mengenali perbedaan atau keragaman dan mengelolanya itu mungkin tidak mudah bagi sebagian orang. Namun, keberhasilan atasnya sungguh indah terasa dan manfaatnya. Anak-anak didik kita perlu kita antarkan untuk mengasah dan mempertajam kesadaran akan hal ini. Bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan. Tidak untuk saling mengklaim siapa yang paling dominan, siapa yang paling hebat, tetapi untuk menyinergikan perbedaan itu, untuk berkolaborasi atas perbedaan itu sehingga menghasilkan kehidupan yang indah dan bermanfaat bagi sesama. Orang bijak berkata bahwa Indonesia ini seperti surga dunia. Keragaman yang dimilikinya adalah karunia Tuhan yang luar biasa. Sungguh rugi mereka yang tidak bersyukur atasnya. Berbeda? Siapa takut?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top