Di sekolah, saya seorang guru sekaligus menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Aktif mengikuti berbagai pelatihan guru dan menerapkan hasilnya dalam pembelajaran di kelas. Secara sadar dan selalu berusaha menampilkan pembelajaran bermakna bagi murid-murid. Rupanya berkembang sendiri itu tidak enak. Saat saya begitu semangat belajar dan mengajar, tidak demikian dengan guru-guru di sekitar saya. Ada guru yang semangat mengajar, namun muridnya “menolak” hadirnya. Tidak sedikit guru yang sangat humanis, disukai murid, namun belum mampu memberikan pembelajaran yang berdampak. Banyak murid belum mampu berhitung dasar, kompetensi literasi dan numerasi tidak berkembang dengan baik. Ada pula guru yang tidak betah di dalam kelas. Murid ditinggal sendirian dengan aktivitas mencatat dan mencatat. Tidak sedikit pula yang semangat belajar dan mengembangkan pembelajaran tapi tidak tahu caranya dan bagaimana memulai.
Di titik inilah saya perlu melakukan sesuatu agar kondisi ini tidak terus terjadi. Apa gunanya mendorong kemerdekaan belajar murid jika gurunya tidak jua merdeka belajar. Pastinya bukan hal yang mudah, karena latar belakang ekonomi, keluarga, usia dan pola pikir guru yang beragam. Dalam proses pengembangan diri, guru-guru lebih banyak terjebak pada cara dan hal-hal teknis. Salah satunya bagaimana membuat perangkat pembelajaran. Karena banyak yang harus dibuat dan dipikirkan dalam prosesnya, akhirnya pilihan terakhir adalah copy paste.
Artinya, ada hal yang keliru dan perlu diperbaiki dalam proses guru belajar. Materi pelatihan guru dan cara menfasilitasinya harus diubah. Bersama kepala sekolah kami mengambil inisiatif untuk mengadakan kegiatan workshop implementasi kurikulum merdeka. Semesta mendukung, pengawas sekolah merekomendasikan agar kegiatan ini diadakan secara kolboratif dengan sekolah lain yang mirip profil dan kondisinya dengan sekolah kami. Rencana ini disambut baik oleh 2 kepala sekolah yang kami tuju. Kebetulan salah satu kepala sekolah tersebut adalah alumni guru penggerak angkatan 1 Kabupaten Lombok Timur. Saya menemukan teman seperjuangan satu frekuensi.
Proses perencanaan berjalan cukup lancar meskipun lebih banyak melalui Google Meet. Sesuatu yang tidak lazim sebenarnya di kalangan kepala sekolah dan guru-guru SATAP (Sekolah Satu Atap). Terpaksa dilakukan karena berbagai kesibukan panitia di hari aktif sekolah. Disinilah transformasi awal itu terjadi. Sesi penyampaian materi guru merdeka belajar yang sangat menginspirasi di modul PPMB (Pendidikan Penggerak Merdeka Belajar) di sekolah,Mu menjadi salah satu item materi wrokshop. Hal ini penting agar guru-guru tidak terjebak pada cara, melainkan pada cita/tujuan implementasi kurikulum merdeka.
Hasilnya, berdasarkan hasil observasi selama kegiatan dan membaca tulisan refleksi diakhir kegiatan, peserta sangat antusias dan mendapatkan pemahaman baru baik dalam hal konsep merdeka belajar, miskonsepsi belajar, dan penerapan kurikulum merdeka. Kendala keterbatasan waktu memantik guru-guru untuk belajar secara berkelompok di luar kegiatan workshop. Guru-guru di sekolah saya menjadi lebih peka dengan permasalahan murid, dan mencari solusi dengan cara melibatkan murid. Tidak melakukan penghakiman, dan lebih mengedepankan dialog. Terkait dengan penerapan dalam pembelajaran di kelas, tentunya masih berproses. Hasil belajar tidak bisa dinilai secara instan. Tapi yang pasti , dari kegiatan ini guru-guru mulai terbuka untuk mulai menerapkan pembelajaran dan penilaian bermakna di kelas masing-masing. Keseruan diskusi saat sesi presentasi peserta yang harus diakhiri karena keterbatasan waktu semoga menjadi pemantik semangat untuk mau terus belajar , mengembangkan diri dan menerapkan pembelajaran yang berdampak pada murid.