“Orang yang tak pernah membaca buku sama buruknya dengan orang yang tak bisa membaca buku.” begitulah ungkapan sebuah pepatah yang menggambarkan betapa pentingnya membaca.
Jika melihat kondisi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini, kita tentu prihatin. Aktivitas membaca belum mendapat tempat dalam hati masyarakat Indonesia. Hasil kajian UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca. Selebihnya, belum memiliki minat baca, dalam artian membaca buku atau bahan cetak.
Sebagai seorang guru pengampu mata pelajaran Sosiologi, saya memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pemahaman yang baik kepada murid tentang bagaimana hidup bermasyarakat. Sosiologi merupakan mata pelajaran yang memiliki banyak konsep. Konsep-konsep tersebut masih asing bagi murid. Oleh karena it,u dalam belajar Sosiologi, kemampuan literasi khususnya membaca buku teks pelajaran sangatlah penting. Namun, kenyataannya murid saya minim keinginan dan kurang termotivasi untuk membaca. Hal ini menjadi masalah besar ketika belajar materi-materi dalam Sosiologi.
Kemampuan membaca dan menulis, tentunya harus diawali dengan minat baca yang baik. Namun karena stimulus yang tidak tepat lah yang mengakibatkan minat tersebut menjadi lemah. Padahal untuk meningkatkan literasi yang paling utama yang harus dimiliki adalah motivasi. Motivasi dimunculkan melalui emosi dan emosi lah yang menggerakkan manusia.
Membaca buku dan menulis menjadi sebuah kegiatan yang asing bagi murid-murid saya. Mereka sudah terbiasa membaca melalui gawai dan mengetik di gawai. Kegiatan menulis di jejaring sosial merupakan media yang paling diminati oleh murid-murid untuk mengungkapkan isi hatinya dan menyampaikan ide-ide segar. Melalui media sosial mereka terstimulasi dan terinspirasi untuk menulis apa yang dilihatnya dan apa yang pernah dialaminya. Bahkan, yang sedang dirasakan saat itu. Oleh sebab itu, kegiatan menulis di jejaring sosial memiliki potensi yang dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan membaca serta menulis murid.
Kemudian saya belajar dari berbagai sumber tentang bagaimana membentuk sebuah stimulus untuk berliterasi melalui gawai. Suatu malam ketika saya membuka YouTube, saya melihat sebuah rekaman webinar yang mengajarkan tentang bagaimana proses membuat media pembelajaran berbasis grafis yang dibawakan oleh Duta Rumah Belajar melalui sebuah kegiatan pelatihan online. Dari tutorial tersebut muncul sebuah ide untuk merancang sebuah pembelajaran berbasis proyek menggunakan aplikasi Canva dengan membuat sebuah komik digital yang nantinya akan di posting di media sosial.
Dalam proses pembelajaran, saya mengajak murid-murid membahas materi dengan cara yang berbeda, yaitu membuat sebuah komik menggunakan aplikasi Canva di gawai mereka masing-masing. Membuat komik menggunakan Canva sangatlah mudah. Setelah login ke platform Canva, silakan cari template “Komik” pada halaman beranda. Agar lebih mudah, kita bisa mengetik kata kunci “Komik” di kolom pencarian. Kita tinggal memilih template siap pakai dan tinggal edit. Dengan cara ini, setiap halaman template sudah disajikan judul, berbagai set ilustrasi, dan beragam jenis gelembung percakapan, kita juga bisa membuat desain ukuran khusus. Tapi nantinya kita akan repot mencari elemen kartun dan komik yang sesuai. Agar komik yang kita buat menjadi lebih menarik, maka dibuatlah percakapan dengan memilih set ilustrasi dan gelembung bicara. Sesuaikan dengan tema komik. Murid dapat juga memberikan animasi gambar dan teks agar komik jadi lebih hidup.
Pertama-tama, saya mengenalkan aplikasi Canva kepada murid-murid. Kemudian saya menunjukkan kepada mereka betapa mudahnya membuat sebuah komik. Sebelum membuat komik, saya terlebih dahulu menjelaskan tujuan pembuatan komik, materi apa yang akan diangkat serta alur cerita sebuah komik.
Selanjutnya, saya menyampaikan topik dan mengajukan pertanyaan bagaimana cara memecahkan sebuah masalah. Saya memastikan setiap murid dalam kelompok memilih dan mengetahui prosedur pembuatan komik yang akan dihasilkan. Murid membuat kesepakatan tentang jadwal pembuatan komik. Kemudian saya memantau keaktifan peserta didik selama melaksanakan proyek, memantau realisasi perkembangan, dan membimbing jika mengalami kesulitan. Saya juga berdiskusi tentang prototipe proyek, memantau keterlibatan murid, mengukur ketercapaian, membimbing proses pemaparan komik, menanggapi hasil, selanjutnya guru, dan peserta didik merefleksi atau kesimpulan.
Komik karya murid-murid tersebut, kemudian saya posting di akun Instagram saya. Lalu saya meminta semua murid memberikan respon yang positif serta menanggapi terhadap setiap komik yang saya posting. Hal ini saya lakukan agar murid-murid memiliki kepekaan sosial yang tinggi, dengan proyek membuat komik ini. Dalam prosesnya, murid-murid secara tidak langsung akan berliterasi membaca, dan memahami isi dari materi tersebut serta postingan komik juga menjadi pemicu yang sangat baik bagi mereka untuk terus berkarya dan berliterasi sehingga pemahaman mereka terhadap bahan bacaan maupun materi pelajaran akan semakin baik pula.
Akhirnya, murid-murid sudah mulai bersemangat untuk membaca, karena ketika menyusun percakapan di komik, murid-murid harus punya bahan dan pengetahuan terlebih dahulu tentang materi apa yang sedang dipelajari. Mereka senang, bahkan mereka memposting karya komik mereka di media sosial mereka masing-masing.
Membuat murid gemar membaca tanpa mereka sadari melalui pebuatan komik adalah salah satu cara yang menyenangkan baik bagi murid maupun saya. Tanpa harus memaksa, namun dengan hal yang mereka sukai. Saya belajar memahami minat murid untuk membantu mereka menyukai literasi.