“Di akhirat itu yang terpakai ilmu agama, bahasa arab.”
“Buat apa sih pak, belajar bahasa inggris, bahasa indonesia, IPA, IPS dan lainnya?”
Ungkapan bagai petir di siang bolong yang terlontar dari salah satu murid kami. Kaget? Itu juga yang saya rasakan, saat bersama teman guru di kantor membahas kondisi murid-murid di kelas. Sebagai sekolah yang terintegrasi dengan pondok, memang sebagian murid berada di situ karena ingin fokus belajar agama. Tapi ucapan anak tersebut tetaplah membuat hati kami sebagai guru berdegup lebih kencang. Saya ingat sekali sampai ada teman guru bilang ‘Ah, Yo Angeeeel!’ (Ah, susah kalau begini).
Sebenarnya, saya dan guru lainnya pernah mengobrol dengan pembina pondok pesantren yang menyatakan, ingin anak-anak juga belajar ilmu umum, jadi tidak hanya ilmu agama. Tapi kami merasa akan sangat berat mengajar murid, jika sejak awal mereka tegas menolak dengan kalimat seperti itu. “Mau dinasehati juga percuma sepertinya.” Kalimat itu yang kami sepakati bersama, dan sudah mulai agak pesimis.
Lalu saya teringat dengan cerita praktik pembelajaran teman-teman di Komunitas Guru Belajar Nusantara Pekalongan. Ada Pak Nuno Riza puji, yang menjadikan murid pasif di kelas jadi aktif dengan memberi diferensiasi tugas pada murid. Apa dampaknya? Salah satu murid yang suka balapan motor, malah jadi bisa presentasi secara keren di kelas, karena diberi kesempatan memilih konten presentasinya. Ada pula Pak Rizqy Rahmat Hani yang membahas puisi lama bersama murid menggunakan bedah lirik lagu rap. Kedua pembelajaran itu berhasil membuat murid aktif dengan membawa konteks yang murid sukai di kelas. Awalnya saya berpikir, ini kan contoh dari Pak Nuno maupun Pak Rizqy budaya pop semua, sedangkan kasus saya malah murid sukanya ilmu agama.
Sebagai guru yang diamanahi mengajar beberapa mata pelajaran, saya pun coba memetakan hal-hal yang disukai murid. Apa saja sumber data yang saya pakai?
1. Papan cita-cita yang pernah murid buat saat awal tahun pelajaran
2. Kebiasaan murid.
3. Informasi terkait topik yang mereka suka, dari guru pendamping di pondok.
Saya pun mendapati kebanyakan murid:
1. Bercita-cita menjadi pendakwah, sebagian lainnya pedagang.
2. Menyukai selawat dan hadroh, apalagi ini hiburan yang paling dekat bagi mereka di pondok.
3. Kalau murid di luar sana suka mengkoleksi foto artis, pemain bola dan sebagainya, murid-murid saya sering menyimpan foto ulama di lemari.
Maka pembelajaran seperti apa yang saya rancang? Pada pembelajaran bahasa Indonesia dengan topik bahasan puisi lama, saya menduplikasi yang sudah Pak Rizqy lakukan. Di awal pembelajaran saya mengajak murid membaca kitab-kitab selawat yang mereka suka, dari Maulid Diba, Barzanji, hingga Dhiyaul Lami. Setelah mereka bergantian membacanya, saya bertanya, “mengapa kalian suka berselawat?” Tentu awalnya jawaban yang banyak muncul seputar “Biar dapat pahala.” Lalu saya lanjut bertanya, “apa yang membuat kalian suka kitab-kitab tadi?” Mereka pun mulai menyahuti dengan beragam.
“Nada selawatnya bagus pak.” “Ini kalau dibaca punya akhiran yang sama gitu Pak, apalagi di kitab Dhiyaul Lami” Dalam hati saya berkata, “nah dapet nih.”
Dari situ saya tanyakan lagi ke murid, “Pengen ga bisa bikin kalimat yang indah seperti Alhabib Umar Bin Hafidz (Penulis kitab Dhiyaul Lami)?” Tentu karena beliau adalah ulama idola mereka, maka murid saya pun mengiyakan. Kemudian saya melanjutkan, sekarang akan berat kalau langsung buat selawat indah berbahasa arab, karena kosakata kita masih sedikit, “bagaimana kalau kita menyusun syair memakai bahasa Indonesia dulu?” Dari situ anak-anak jadi semangat belajar menyusun puisi lama, berbentuk syair, pantun dsb, tentu dengan konten terkait nasehat agama. Saya ajak murid menyusunnya secara berkelompok, kemudian memilih kata kunci-kata kunci yang sudah saya sediakan untuk membantu mereka menentukan tema syairnya. Misal ada kelompok murid yang memilih untuk membuat syair tentang cinta tanah air sebagian dari iman. Setelah selesai dibuat mereka bergantian maju di depan untuk menyanyikan syairnya bersama. Pembelajaran jadi makin seru karena murid-murid tampak bersemangat ketika menyanyikannya di depan, wajah semangat juga nampak pada murid yang di awal cerita saya tadi menganggap ilmu dunia tidak penting.
Setelah berhasil di topik puisi lama, saya pun mengulangnya saat masuk ke topik Fabel & Fiksi Fantasi. “Anak-anak, siapa ulama yang kalian sangat sukai ceramahnya?” Murid-murid saya pun menyebutkan berbagai nama. Lalu saya kembali bertanya, “Pernah tidak mendengarkan ceramah yang malah membuat mengantuk?” Mereka pun mengiyakan, “Pernah.” Kita pun mendiskusikan, hal-hal yang membuat ceramah disukai, dan sebaliknya yang membuat ngantuk. Setelah berulang kali melempar pertanyaan. Akhirnya muncul pernyataan murid “Ada ceramah yang cara berceritanya asyik Pak!” Setelah muncul kalimat itu saya pun menjembatani bahasan topik kali ini.
“Nah, bagaimana ya buat cerita yang bagus biar enak didengar saat ceramah/berdakwah?” Anak-anak tampak kebingungan mendapat pertanyaan ini. Karena tidak ada yang menjawab, saya kembali bertanya. “Kalau kita belajar membuat cerita yang bagus, kalian mau?” Mereka pun tidak bisa menolak. Kami jadi dapat melanjutkan belajar menyusun fabel, hingga fiksi fantasi. Mereka saya berikan kesempatan untuk bercerita di depan, menggunakan diorama latar pop up yang kami buat dari kertas.
Saya merasa lega karena berhasil menemukan cara yang cocok untuk mengetuk hati mereka. Tidak berhenti di situ, saya pun mengeksplorasi pembelajaran. Melihat mereka yang hiburannya terbatas, saya bahkan coba menerapkan gamifikasi pembelajaran hingga penggunaan game edukasi di kelas.
Temukan cerita praktik pembelajaran saya lainnya dengan mengikuti instagram saya klik 👉 instagram.com/mamanbasyaiban.