Market Place at WAG, Mengenalkan Mata Uang Tanpa Drama
-Anggi Rizka Pustika-
“Bu saya sudah bawa mainannya nih”
“Saya udah bawa uang-uangannya juga bu, ini uang uangan dari kelas satu loh masih ada”
“Saya mau jualan burger sama kentang goreng bu”
Materi tentang mata uang di kelas dua sekolah dasar. Sangat mudah dalam proses belajarnya. Saya minta anak-anak untuk membawa mainan ke sekolah. Mempraktikan proses jual beli dengan bermain peran menjadi pedagang dan pembeli menggunakan uang mainan. Jadi sangat mudah anak-anak mengenal uang yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari lalu belajar juga bagaimana proses penjumlahan, pengurangan menggunakan uang tanpa perlu saya susah susah menjelaskan ceramah panjang lebar kepada anak.
Itu cerita yang terjadi di kelas saya tahun lalu, sebelum pandemi terjadi. Saat pandemi ini saya mengirimkan lembar kerja yang sudah saya gandakan kepada masing-masing anak. Ini saya pilih karena anak-anak belum mempunyai gawai pribadi dan jika kami akan melakukan pembelajaran secara daring saya harus membuat janji terlebih dahulu dengan orang tua. Beberapa anak yang rumahnya berdekatan kadang kala bergabung saat kami melakukan live teaching. Jadi jarang sekali terjadi percakapan antara saya dan anak-anak langsung pada WAG. Karena WA dipegang oleh orang tua jadi saya menyampaikan informasi kepada orang tua dan orang tua akan menyampaikannya kepada anak-anak.
Lalu apa kabar proses belajar mata uang disaat pandemi ini? Huah! ini PR besar bagi saya untuk mengemas proses belajar anak seseru saat tatap muka.
Setelah refleksi diri akhirnya saya berpikir, kenapa tidak proses belajar anak yang selama ini dilakukan di sekolah kita pindahkan ke rumah. Kemudian saya mengirim pesan pada orang tua di WAG kelas. Meminta orang tua untuk bermain peran jual beli. anak jadi penjual dan orang tua jadi pembeli kemudian bergantian peran.
Berhasilkah? Disinilah tantangan dimulai. Kegiatan bermain peran ini ternyata tidak semulus yang saya kira. Ada beberapa orang tua yang tidak mempunyai cukup waktu untuk menemani anak bermain, ditambah mereka juga harus membantu anak untuk melakukan operasi hitung menggunakan uang mainan. Jadi hanya ada beberapa anak yang mengumpulkan video proses permainan ini bersama orang tua, sisanya mereka bermain sendiri. Hasil belajar anak jadi tidak maksimal, anak yang bermain sendiri tanpa dukungan orang tua masih banyak yang kesulitan.
Ketika sedang kebingungan, tetiba ada WA masuk, dari salah satu murid saya. Mengumpulkan tugas video bermain jual beli bersama Mamanya. Tampak pada video baik Mama maupun anak ini bermain bersama. Proses belajar dengan orangtuanya seru, karena mama ikut bermain layaknya teman. Saya kemudian membalas WA tersebut dengan voice note. Memberikan feed back kepada mama dan anak tersebut. hingga akhirnya saya juga tertarik untuk ikut memesan makanan yang dijual oleh anak tersebut. Ya saya pura-pura ikut bermain menjadi pembeli di toko anak tersebut. Saya juga meminta anak tersebut untuk membuat nota pemesanan makanan saya. Dia menuliskan di WA dan mengirimkan kepada saya. Ternyata proses ini membuat murid saya jadi makin bersemangat. Dia mampu memahami proses jual beli menggunakan mata uang dengan baik, ketika ada orang lain selain orang tuanya ikut bermain.
Screenshoot percakapan saya dengan siswa yang membuat saya mendapat ide untuk jual beli di WAG
Sembari berbalas WA dengan anak tersebut saya kemudian berpikir dan mendapat ide untuk mengajak murid saya lainnya untuk bermain jual beli di WAG sama seperti yang saya lakukan dengan anak ini di WA pribadi kami. Saya mengirim voice note meminta anak-anak mengirimkan foto dagangan mereka ke WAG untuk kemudian saya beli. Ada salah satu Mama yang langsung membalas WA saya. “Bu Anggi ini daganganku, aku jual barang-barang ini” begitu voice note dari anak tersebut. Saya membalasnya dengan voice note juga untuk membeli beberapa barang dan meminta anak ini membuat nota pembelian. rupanya hal ini menarik hingga kemudian anak-anak lain segera membalas pesan saya dan mengirimkan foto dagangan mereka. Tapi ini gak bertahan lama, setelah beberapa saat saya merasa ini melelahkan saya sendiri. karena semua anak mengirim foto dan saya membalas satu per satu, kadang bingung karena ketumpuk pesan dari anak yang lain. Anak mana yang sudah saya beli, dan anak mana yang belum. Ya saya bingung karena dalam proses ini semua anak jadi penjual dan saya seorang diri pembelinya. Untungnya sebelum saya menyerah saya kembali menemukan ide kenapa tidak anak-anak ini untuk saling jual beli. Jadi tidak saya sendiri yang jadi pembeli anak-anak juga bisa jadi pembeli dagangan temannya.
Pesan pertama yang saya kirimkan untuk memantik jual beli di WAG
bip, bip pendar lampu notifikasi tanda WA masuk berkali-kali menyala di hape saya. WAG kelas tetiba menjadi ramai. tadinya hanya ada beberapa anak ternyata semakin siang banyak anak yang ikut masuk di WAG. rupanya orang tua mereka juga tertarik untuk ikut permainan ini. Terlihat dari barang dagangan yang ditawarkan anak-anak. awalnya hanya berupa barang apa saja yang ditemui di rumah. semakin siang anak-anak dan orang tua makin kreatif. baik cara mereka menawarkan dagangan maupun display barang yang akan mereka jual. Ada anak yang menjual bermacam-macam jajanan snack dalam kemasan yang biasa mereka beli di warung. Ada yang menjual beragam bahan kebutuhan rumah tangga seperti sabun mandi, pasta gigi hingga minyak goreng ditawarkan. Bahkan ada yang menjual dagangan sama persis yang dijual oleh orang tuanya, soto.
Gambar anak-anak dengan dagangan mereka
“Haloo Nanza, aku mau beli susu coklat dua, minyak goreng 1, pasta gigi 1. Harganya berapa? Uangku seratus ribu nih”.
“Hai Cinta, ini aku hitungkan ya susu coklat satu harganya Rp 15.000 dua jadi Rp 30.000, minyak goreng Rp 25.000, dan pasta giginya 7.500 jadi totalnya 62.500. Uangmu Rp 100.000 dikurangi Rp 62.500 jadi kembalinya Rp 37.500 ya. Terimakasih sudah membeli di Toko Nanza, semoga puas dan kapan kapan beli lagi ya”
WAG sangat ramai dari pagi hingga malam anak-anak secara bergantian saling beli, melakukan transaksi perdagangan, melakukan penghitungan, dan salah satu yang membuat saya terharu anak-anak ternyata bisa mengapresiasi temannya yang menjadi pembeli dengan mengucapkan kalimat sapaan diawal, serta mengucapkan terimakasih karena telah berbelanja di toko mereka. Ooh hati saya penuh, belum pernah sebelumnya kelas WAG seramai itu.
Berdasarkan pengalaman belajar kami hari itu saya mendapatkan banyak hal berharga bahwa kita tidak bisa menyamakan proses belajar tatap muka dan jarak jauh ini, perlu ada berbagai pertimbangan yang perlu kita lakukan. Ketika saya langsung membawa proses jual beli yang biasanya terjadi di sekolah dipindah ke rumah ternyata ini tidak berhasil. Melalui proses feedbcak kepada anak, memberdayakan WAG menjadi market place disitulah saya menemukan cara membuat kelas menjadi aktif dan proses belajar anak menyenangkan dan bermakna. Teknologi akan semakin berdaya ketika kita mampu membawa pengalaman di dunia nyata dan dunia maya menjadi lebih kontekstual.