Jas Merah, “jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno. Merupakan suatu kalimat jargon yang sering kita dengarkan ketika peringatan hari-hari besar nasional yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Jas merah di dunia pendidikan dengan tercantumnya mata pelajaran sejarah dalam Kurikulum Merdeka. Belajar sejarah merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan agar setiap anak bangsa paham dengan sejarah dan jati dirinya, sayangnya dalam pembelajaran sejarah tidak semua anak bangsa minat mendalami pelajaran ini, karena di lihat secara praktis seolah-olah tidak menguntungkan secara materi dan seolah-olah ada imej masa depan mau jadi apa ketika ambil kuliah jurusan sejarah? Padahal sejarah inilah sebagai salah satu landasan nasionalisme penjaga keutuhan negara dapat ditanamkan pada diri anak-anak sejak dini.
Saya sebagai guru sejarah juga merasakan bagaimana motivasi dan minat murid terhadap pelajaran sejarah sangat minim, hal ini dikarena pada awalnya hanya sistem ceramah, lihat video tanpa melibatkan murid dalam pembelajaran sehingga belajar sejarah seperti mendongeng pengantar tidur. Di akhir semester pembelajaran saya meminta murid-murid membuat sesi feedback mengenai pembelajaran yang saya ajarkan, ternyata banyak respon siswa-siswa yang kurang tertarik karena menganggap kurang seru. Dari situlah kemudian tergerak untuk belajar lagi mengenai metode dan pendekatan pembelajaran yang menarik, mulai dari pendekatan Multiple Intelligence, Quantum learning Bobby de porter dan buku sekolahnya dan gurunya manusia karya Munif Chatib. Buku-buku tersebut membuka mata saya ternyata dalam hal mengajar masih kurang humanis terhadap murid-murid. Konsep pembelajaran yang awalnya hanya sekedar transfer knowledge menjadi transfer of value menjadi pembelajaran bermakna.
Koonsep dalam mengajar tersebut saya praktikkan dalam pelajaran sejarah di kelas. Mulai dari awal masuk kelas yang menyenangkan menggunakan yel-yel sejarah, menggunakan beragam media pembelajaran yang mendukung, memberikan tugas-tugas yang melibatkan murid seperti proyek bersama, diskusi kilas balik sejarah. Akan tetapi meskipun murid mulai tertarik untuk lebih memahami pelajaran, masih ada beberapa siswa yang kesulitan untuk memahami alur peristiwa sejarah, mengaitkan dengan konteks peristiwa hari ini khususnya peristiwa mengenai masuknya Hindu-Budha ke Indonesia, kerajaan Hindu-Budha serta pengaruhnya dalam berbagai bidang sosial, politik dan budaya.
Materi sejarah Hindu-Budha ini sangat banyak, dimana mulai awal masuknya Hindu Budha sampai menjadi kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pengaruhnya hingga saat ini. Materi yang padat membuat murid-murid kurang mampu memahami konsep kerajaan-kerajaan ini, apalagi bahasa dalam prasasti-prasastinya menggunakan bahasa Sanskerta sehingga masih butuh penerjemahan. Materi sejarah Hindu-Budha ini sebagai awal memahami materi peradaban selanjutnya, karena saling berkaitan sehingga konsep utama dalam materi ini harus tersampaikan seperti konsep raja, sistem sosial, proses pemerintahan serta konsep geostrategis yang berpengaruh pada besar dan kecilnya kerajaan. Kerajaan yang banyak dan nama-nama tokoh serta peristiwa yang asing sehingga materi ini penuh tantangan untuk menyelesaikannya.
Agar konsep pembelajaran dapat tersampaikan maka perlu memperhatikan kondisi murid yang kebanyakan gaya belajarnya visual dan kinestetik. Dalam rangka memfasilitasi gaya belajar mereka maka saya perlu merancang kegiatan pembelajaran yang melibatkan dua gaya belajar ini, serta konteks kondisi lingkungan. Saya mengajar di Madrasah Aliyah Negeri 2 Blitar, dimana wilayah Blitar banyak sekali situs-situs sejarah peninggalan masa Hindu-Budha, mulai Candi Panataran, Candi Kotes, Situs Slumbung, Situs Rambut Monte, Candi Plumbangan, Candi Sawentar, Prasasti Munggut dll. Melihat kondisi konteks lingkungan yang sarat dengan tempat-tempat bersejarah khususnya masa Hindu-Budha, maka dibuatlah suatu skenario pembelajaran lapangan agar murid-murid lebih mengetahui dan memahami secara langsung kondisi peninggalan sejarah melalui kunjungan lapangan ke situs-situs peninggalan Hindu-Budha tersebut.
Dalam pembelajaran lapangan nanti murid-murid tidak hanya melihat bangunan-bangunan candi, atau benda-benda purbakala akan tetapi tulisan-tulisan yang terpahat di parasasti maupun dinding candi yang berbahasa sanskerta. Oleh karena itu, untuk mendukung agar belajar murid-murid benar-benar efektif, maka saya berkolaborasi dengan guru bahasa Jawa untuk membantu dalam menerjemahkan tulisan-tulisan tersebut. Tidak hanya dengan guru bahasa, saya mengundang arkeolog di Blitar untuk turut serta ke lapangan membantu memberikan penjelasan pada murid-murid mengenai makna bangunan candi dan benar-benda purbakala sekitarnya. Ketika desain pembelajaran disiapkan, maka ditawarkan ke murid-murid untuk mengikuti kegiatan tersebut dengan destinasi dan biaya yang disepakati bersama.
Respon murid-murid di luar dugaan, mereka sangat antusias menyambut kegiatan ini meskipun pada waktu ini kondisi masih pandemi Covid-19. Murid-murid menyambut penuh semangat kegiatan ini, karena aktivitas belajar daring yang menjenuhkan hanya lewat handphone dan aplikasi belajar, sehingga kegiatan lapangan bak oase di gurun sahara mereka berbondong-bondong lewat chat mendaftarkan diri mengikuti kegiatan studi lapangan ke situs-situs sejarah ini. Melihatnya banyak siswa yang ingin mengikuti kegiatan, sedangkan kondisi masih masa Covid-19 sehingga kegiatan di bagi beberapa gelombang untuk menghindari berkerumun.
Ketika di lapangan semangat itu nampak sekali, dari pertanyan-pertanyaan mereka kepada kami baik saya, maupun guru bahasa Jawa dan arkeolog. Arkeolog mendampingi mereka membuat sketsa bangunan candi serta fungsi dan makna bagian-bagian candi tersebut. Saya menjelaskan aspek sejarah yang melandasi pembangunan candi dan guru bahasa Jawa membimbing murid-murid untuk menerjemahkan prasasti maupun tulisan di sudut candi, baik dari bahasa sanskerta maupun Jawa Kuno. Selain itu mereka perlu mengamati kondisi sekitar candi menghadap kemana, di sekitar lingkungan candi terdapat apa, sehingga murid-murid dapat memahami bahwa pembangunan candi tidak sekedar asal membangun tapi perlu melihat kondisi tanah dan lingkungan sekitar.
Setelah penelitian lapangan selesai, murid-murid di minta untuk merefleksi kira-kira apa yang merdeka dapatkan setelah kunjungan lapangan, kemudian bagimana kondisi candi dan situs-situs yang mereka kunjungi. Candi-candi besar seperti Panataran masih sangat baik karena dijaga pemerintah, akan tetapi candi-candi kecil seringkali kondisinya tidak terawat. Mereka diminta untuk menyampaikan aspek apa saja yang diperhatikan orang-orang masa lalu dalam membuat sebuah bangunan, serta konsep hidup apa yang mereka temukan dari situs-situs sejarah tersebut.
Pelajaran yang diambil dari kegiatan ini bahwa murid-murid lebih memiliki belajar ketika mereka dilibatkan langsung dalam pembelajaran, seperti kegiatan lapangan ke situs-sistus sejarah ini. Belajar dari situs-situs sejarah berarti menemukan kearifan lokal masa lalu bagaimana orang-orang terdahulu harmoni dengan alam dalam membuat suatu bangunan. Konsep hidup gotong-royong, guyub rukun kondisi tata tentrem kerto rahardjo nampak dari berbagai bangunan dan situs-situs tersebut. Murid-murid belajar secara langsung mengenai konsep kerajaan-kerajaan Hindu-Budha dari peninggalan sejarahnya. Selain itu, diharapkan dengan tahu langsung kondisi situs murid-murid turut serta dalam pelestarian bangunan bersejarah agar sejarah tidak punah oleh mereka yang melakukan vandalisme. Proses belajar seperti ini hanya didapatkan ketika guru dan murid sama-sama merdeka belajar. Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka belajar!