Membangun Percakapan, Menggali Aspirasi Guru

Sebelum saya menjadi kepala sekolah, pejabat kepala sekolah yang lama menyampaikan rancangan perubahan visi dan misi dari PAUD. Menurutnya, hal tersebut dilakukan agar visi dan misi PAUD lebih  dipahami.

Saya sepakat dengan hal tersebut. Perubahan kalimat visi dan misi memudahkan saya  menentukkan arah organisasi akan bergerak.

Rancangan visi dan misi tersebut kemudian disosialisasikan kepada seluruh guru. Kami juga melakukan beberapa kali sesi diskusi mengenai hal tersebut. Harapannya, itu akan membantu guru-guru melaksanakan proses belajar sehari-hari. Namun, apa yang menurut saya memudahkan, tenyata tidak dirasakan  oleh guru-guru. Guru-guru masih kesulitan memahami  visi misi.  Seperti bahasa langit,  sehingga tidak merasa terbantu dalam melaksanakan proses belajar sehari-hari.

Ketidaksesuaian pemahaman kami terhadap visi dan misi organisasi tentu berdampak terhadap pembelajaran. Namun, hal tersebut seringkali tidak disadari. Misalnya, ada praktik-praktik baik dalam pembelajaran yang sering dilakukan, tetapi kami hanya dapat menjelaskan bagaimana ini dilakukan. Kami kurang percaya diri untuk menceritakan mengapa praktik tersebut dilakukan. Praktik baik yang sudah pernah ada sering kali  pergi bergitu saja, seiring dengan perginya guru tersebut untuk mengajar di tempat lain.

Kami tidak selalu sepakat dengan pendekatan-pendekatan yang kami lakukan dalam memfasilitasi belajar murid. Namun, kami memilih diam. Terkadang kami takut, membahasnya akan jadi masalah pribadi. Selain itu, kami belum sepenuhnya menyadari bahwa memiliki kesepakatan dalam praktik pembelajaran akan bermanfaat bagi kami,  membantu kami menumbuhkembangkan kompetensi murid.

Saat itu saya sedang belajar melakukan perubahan di level organisasi. Melibatkan aspirasi semua pihak sangat penting dalam melakukan perubahan. Cara ini lebih cocok dipakai di organisasi yang kompleks, seperti satuan pendidikan, dibandingkan dengan pendekatan perubahan dari pimpinan. Untuk mengurangi beban percakapan, saya menyesuaikan topiknya: profil lulusan murid. Topik ini  sangat erat dengan visi-misi, tetapi lebih mudah dihubungkan dengan aktivitas belajar mengajar  sehari-hari.

Ketika menanyakan pertanyaan secara langsung, seperti apakah profil lulusan murid yang guru harapkan,  ada beberapa guru yang menjawab normatif karena merasa diuji. “Ya, sesuai visi dan misi sekolah.”

Ada juga yang menjawab dengan pemikiran sendiri, tetapi masih ragu.

Kemudian saya menggali aspirasi guru secara tidak langsung. Saya membangun percakapan dengan menggali topik kekuatan, aspirasi, peluang, dan hasil.  Percakapan tentang kekuatan tujuannya mencari tahu praktik pembelajaran yang  sudah baik dan konsisten dilakukan guru.  Peluang merupakan aspirasi dari orang tua murid. tentang harapan mereka.  peningkatan layanan karena ada beberapa kebutuhan yang belum terpenuhi, aspirasi berupa harapan-harapan guru tentang sekolah di masa yang akan datang akan menjadi seperti Hasil merupakan keberhasilan yang terukur ketika ketiga aspek yang lain telah terwujud.

Alih-alih menanyakan langsung seperti apa profil lulusan yang guru harapkan, saya justru bertanya, “Apa praktik pembelajaran yang sering guru lakukan?  Kira-kira murid yang mengalami proses itu secara berkelanjutan akan menjadi seperti apa, ya?  Berarti guru ingin profil lulusan sekolah kita menjadi seperti itu, ya?”

Ketika pertanyaan tersebut saya ajukan, seorang guru yang awalnya menjawab normatif, jadi lebih leluasa menjawa sesuai isi pikiran dan hatinya. Hal itu karena pertanyaannya  mengarah ke personal dan keseharian guru. Dia menjawab, “Saya suka membuat alat permainan edukatif yang berbentuk tiga dimensi.  Selain menjadi alat peraga pembelajaran, saya juga suka mengajak anak-anak membuatnya dengan memberi anak kesempatan untuk melakukan kreasi dari karya yang dibuatnya.”

Jawaban pertanyaan kedua kurang lebih seperti ini: “Anak jadi punya rasa inisiatif melakukan eksplorasi mencoba fitur-fitur yang ada di alat permainan edukatif. Mereka juga jadi berinisiatif menambahkan sesuatu sesuai idenya di  karya yang dibuat sendiri dengan kesempatan melakukan kreasi.”

Hal tersebut membuat guru menyadari pemikirannya sendiri. Dia merasa apa yang disampaikan lebih dihargai. Apalagi ketika kita menunjukkan harapan guru ini ternyata sejalan dengan capaian pembelajaran yang diharapkan kurikulum nasional, misalnya.

Pendekatan seperti inimembuat guru lebih percaya diri dan merasa aspirasinya berarti bagi pengembangan sekolah. Selain itu, lebih memungkinkan bagi guru untuk melakukannya dalam keseharian, bukan hanya menjadi dokumen.  Prosesnya membuat sesuatu yang terjadi didokumenkan, bukan sesuatu yang ada di dokumen dilakukan dalam proses belajar.

Pendekatan ini saya lakukan dalam melibatkan guru dalam berbagai kegiatan sekolah. Salah satunya, yang akan datang,  melakukan refleksi visi dan misi sekolah sebagai salah satu hal penting dalam merancang kurikulum opersional sekolah dalam kurikulum merdeka. Sebagai sekolah penggerak, kami akan menerapkan kurikulum merdeka dengan dukungan pelatihan komite pembelajaran dari pemerintah. Pelatihan yang sudah berlangsung  membuat guru semakin yakin bahwa melibatkan guru dalam pengembangan sekolah merupakan hal yang penting dan perlu dilakukan dalam mewujudkan kemerdekaan belajar murid.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top