Membangun Kesadaran Literasi Murid Untuk Melawan Perundungan

Awalnya dengan adanya pembelajaran online masa Pandemi, saya berkesempatan mengikuti banyak  kursus gratis. Adanya berbagai kursus online bagi saya ini merupakan jalan untuk belajar dari mana saja terbuka lebar. Bahkan untuk hal-hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah belajar desain.

Suatu hari, seorang teman menawari kegiatan workshop belajar desain dengan Canva. Awalnya saya tidak tertarik. Bagi saya, desain adalah hal yang rumit dan sulit dipelajari. Pernah satu hari saya melihat suami menggunakan Photoshop dan saya bertanya bagaimana caranya. Ternyata sulit untuk dipahami. Itulah alasan saya tidak tertarik dengan desain. Saya merasa jiwa seni saya kurang baik.

Tapi teman tersebut terus mengajak dan mengatakan toh pelatihan tersebut gratis. Akhirnya saya iyakan ajakan tersebut. Toh, tidak rugi juga namanya belajar. Saya pun mengikuti kelas tersebut dan le voila! Ini dia yang saya cari. Belajar desain dengan cara mudah.

Ternyata, aplikasi yang saya pelajari relatif mudah digunakan. Berbeda dengan aplikasi desain yang pernah saya lihat sebelumnya. Saya pun mulai menggunakan aplikasi tersebut untuk membuat presentasi pembelajaran. Membuat slide presentasi jadi lebih mudah dan menarik. Apalagi saya mendapat akun khusus pendidikan dengan fitur yang lebih lengkap dibanding fitur layanan gratis.

Setelah mengikuti sesi pelatihan, saya lantas berpikir, kalau aplikasi Canva bisa diajarkan kepada murid-murid agar kemampuan literasi digital mereka semakin meningkat. Kemampuan desain yang selama ini ibarat keterampilan tingkat dewa, saat ini bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Saat itu, sekolah tempat saya mengajar, SMAN 1 Citeureup, sedang menjalankan proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.  Proyek ini tidak berbasis mata pelajaran, tapi berbasis tema. Ada 7 tema yang disediakan dari Kemendikbudristek. Di SMAN 1 Citeureup sepakat menjalankan proyek pertama dengan memilih tema “Bangunlah Jiwa dan Raganya”.

Dalam pembelajaran proyek bertema Bangunlah Jiwa dan Raganya, SMAN 1 Citeureup, mengambil program pencegahan perundungan. Program yang dikenal dengan program ROOTS ini adalah kerjasama Kemendikbudristek dengan UNICEF yang melibatkan perwakilan guru sebagai fasilitator.

Proyek pertama yang dijalankan dalam program ini adalah edukasi dan dilanjutkan dengan pembekalan membuat esai dan infografis tentang refleksi murid pada gerakan anti-perundungan. Guru Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia membekali murid dari sudut pandang mata pelajaran terkait kampanye anti-perundungan.

Murid-murid terlihat semangat dalam menjalankan program ini. Saya kemudian berpikir, bagaimana cara agar karya mereka bisa abadi. Menulis, membuat infografis, kemudian dikumpulkan ke guru rasanya akan seperti daun yang berguguran. Ia akan nampak sekian hari, tapi akan terbang diterpa angin atau lapuk bersama tanah.

Lalu saya berpikir, mengapa tidak memanfaatkan keterampilan desain yang saya dapat untuk membuat karya tersebut lebih tersistem, bisa terkumpul, dan bisa jadi pembelajaran di masa mendatang? Lalu saya menyampaikan ide untuk membuat buku dari kumpulan karya murid-murid tersebut.

Dengan membuat buku, karya-karya mereka akan tersimpan dengan lebih baik dan bisa jadi abadi. Seperti pepatah menyatakan  verba volant, scripta manent. Apa yang diucapkan akan hilang, yang tertulis akan abadi. Bagi saya, tulisan saja belum tentu abadi. Bila tulisan tersebut tidak didokumentasikan dengan baik, ia tidak akan abadi. Karena itu, saya mengusulkan membuat buku untuk kumpulan karya murid.

Masukan dari saya mendapat sambutan hangat dari teman-teman pengajar dan juga para murid. Hal ini membuat saya semakin bersemangat untuk mewujudkan buku ini. Meski saya juga sempat ragu, bagaimana cara mewujudkannya sementara murid-murid memiliki banyak tugas dan belum memiliki kemampuan menulis buku?

Tapi saya terus menyemangati diri sendiri. Bila dalam kursus desain, saya bisa mengikuti kelas online, mengapa saya tidak bisa berbagai ilmu dengan cara yang sama kepada murid. Saya harus optimis. Sebab, tujuan dari proyek ini sangat baik.

Pertama, murid bisa memahami apa arti bullying secara mendalam. Kedua, proyek ini mengajarkan kolaborasi dan gotong royong pada murid, bahkan dengan para guru. Ketiga, bisa meningkatkan kemampuan literasi digital para murid. Mereka bisa meningkatkan kemampuan menulis, mendesain, juga memanfaatkan teknologi untuk membuat karya.

Akhirnya, proyek tersebut berjalan. Saya rutin melakukan mentoring melalu virtual meeting dengan murid-murid kelas X yang menjalankan proyek ini. Untuk komunikasi harian bila ada hal yang ingin ditanyakan, kami memanfaatkan Whatsapp untuk berkomunikasi. Ternyata, murid-murid bisa menerima materi pelatihan dengan sangat baik. Hal itu membuat saya bahagia.

Pradipta, salah satu murid kelas X-6 menyatakan bahwa proyek ini sangat seru dan menambah pengalaman. Meskipun awalnya ragu, karena menulis buku merupakan sesuatu yang terkesan rumit. Tapi akhirnya dia berhasil menyelasaikan proyek tersebut bersama teman sekolahnya dengan cukup mulus. 

Proses belajar dengan membuat buku, membuat murid mengeksplorasi lebih luas dan mendalam apa itu perundungan. Mereka berkolaborasi dalam mencari informasi dan kemudian menyusunnya dalam bentuk buku. Sebuah ­­­­kolaborasi yang sangat inspiratif, termasuk bagi saya sendiri sebagai guru.

Dalam proses penyusunan ini, sebagai mentor sekaligus fasilitator, saya terus memantau dan mengarahkan murid memilih tema dan melakukan pendalaman materi melalui diskusi. Untuk memantau proyek para murid, saya tinggal membuka link desain yang mereka bagi. Lalu berdiskusi apa yang bisa diperbaiki dan ditingkatkan. Dari sisi konten maupun desain. 

Hasilnya cukup menakjubkan. Semua kelas berhasil menyelesaikan buku mengenai program anti-bullying. Ada 12 buku kami terbitkan dan kami cetak. Seluruh warga sekolah terlihat puas dengan program ini. Satu hal yang pasti, ada kebanggaan dari para murid, dengan karya yang mereka hasilkan. Saya yakin mereka juga bisa memahami apa arti bullying dan cara mencegahnya. 

Satu hal lagi yang membuat kami berbangga, buku ini membuat apresiasi dari sekolah lain dan mereka tergerak untuk ikut membuat proyek sejenis. Tentu saja kami akan senang hati berbagi mengenai bagaimana memanfaatkan teknologi informasi untuk proses pembelajaran di sekolah. 

Semoga langkah kecil ini bisa menjadi langkah awal yang baik, untuk menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif dan menyenangkan. Kolaborasi ini  benar-benar membantu kami mengimplementasikan apa yang disebut merdeka belajar

Dari proyek yang sudah kami lakukan ini membuktikan, bahwa teknologi bisa memangkas kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Di mana pun sekolah kita berada, selama bisa mengakses teknologi, kemampuan literasi digital murid bisa ditingkatkan dengan maksimal.

Hal itu terjadi di sekolah kami, SMAN 1 Citeureup, yang tidak berada di kawasan perkotaan. Bahkan, SMA kami sering disebut sebagai SMA Tengsaw (tengah sawah), karena awalnya sekolah ini secara harfian memang berada di tengah persawahan.

Tapi kami sekarang ini bisa membuktikan bahwa kami, bisa menghasilkan karya-karya literasi yang berkualitas. Sebagai guru, saya juga berbangga, karena banyak rekan juga kemudian mulai menulis dan meningkatkan budaya literasi di sekolah. Sehingga semakin banyak yang memberikan kontribusi positif dalam memajukan literasi di negeri ini.  

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top