“MEMANUSIAKAN HUBUNGAN” BELAJAR SELAMA PANDEMI
Memanusiakan hubungan adalah cara mengajar yang menekankan pemahaman terhadap disposisi belajar murid dan penumbuhan kekuatan dan jati diri sebagai pelajar untuk mengembangkan hubungan guru, murid, dan orangtua yang saling percaya, dekat dan bertumpu pada kesepakatan bersama.
Memanusiakan hubungan, bukan sekadar soal perasaan. Tidak pernah juga hanya soal pembelajaran dan pengalaman yang menyenangkan. Memanusiakan hubungan melibatkan pikiran dan tindakan, karena proses pertumbuhan dan perkembangan selalu saling berkaitan. Memanusiakan hubungan, menghasilkan pendidikan yang berkualitas – menantang, berkelanjutan, relevan – karena sekolah bukan hanya untuk kehadiran dan bersenang-bersenang.
Anggapan bahwa sekolah adalah tempat penitipan anak memunculkan stigma bahwa yang berkewajiban mendidik anak-anak adalah guru di sekolah. Hal ini menyebabkan beban yang harus dipikul guru semakin berat terutama dalam kondisi pandemi saat ini. Untuk itu, pihak sekolah harus bisa menekankan kepada orangtua atau wali siswa bahwa yang berkewajiban mendidik anaknya tidak hanya guru tetapi juga orangtua. Pada dasarnya madrasah pertama bagi anak adalah orangtua sedangkan guru sebagai orangtua kedua. Oleh karena itu, diperlukan adanya sinergitas antara orangtua dan guru untuk membersamai mendidik dan menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur pada anak. Karena mendidik dan mengajar bukan hanya perihal pengetahuan umum saja, tetapi juga ilmu sosial, budaya, dan spiritual. Dan tentunya, kunci dari keterlaksanaan dan pencapaian dari hal tersebut adalah komunikasi yang baik antara guru, siswa dan orangtua.
Tantangan yang dihadapi oleh guru di masa pandemi memang cukup kompleks. Hal ini terlihat dari bermunculannya masalah dan kendala selama pembelajaran online. Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengakses situs belajar karena sinyal atau jaringan yang tidak mendukung. Keterbatasan memory smartphone untuk menginstal aplikasi belajar, kuota yang tiba-tiba habis saat mengikuti google meet, siswa yang harus meminjam HP orangtua atau saudara untuk mengerjakan tugas di google form, bahkan ada siswa yang tidak memiliki HP. Inilah PR bagi guru agar siswa tetap menerima haknya untuk mengikuti pembelajaran online, yakni menyiapkan materi dan tugas secara print-out dan meminta siswa untuk mengambilnya seminggu sekali di sekolah, tentunya dengan protokol kesehatan. Kemudian siswa diminta mengumpulkannya seminggu yang akan datang sekaligus mengambil tugas selanjutnya. Sebenarnya itu cukup merepotkan karena guru harus dua kali kerja, menyiapkan untuk online dan offline learning. Tetapi, karena sudah menjadi kewajiban untuk tetap memberikan layanan pembelajaran yang merata untuk semua siswa, guru harus legowo (berlapang dada) dalam melaksanakan tugasnya.
Selain itu, guru juga harus siap menerima semua keluhan dan aduan dari para siswa terkait permasalahan selama belajar daring. Di sinilah kompetensi guru di uji dengan berbagai tekanan dan harus bisa menyelesaikannya dengan memberikan solusi yang terbaik. Jangan sampai siswa menjadi mutung (ngambek/ kecewa) karena ada hal yang tidak bisa terselesaikan terkait kendala selama PJJ. Hal seperti ini, seharusnya tidak hanya diselesaikan oleh dua pihak, guru dan siswa saja, tetapi guru juga harus mengkomunikasikan dengan orangtua terkait permasalahan yang dialami oleh anak. Harus ada keterlibatan guru, siswa dan orangtua dalam menyelesaikan masalah seperti ini. Oleh karena itu, secara tidak langsung guru dituntut untuk menjadi seorang yang cakap, cekatan, tanggap dan multi-tasking dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi terutama untuk hal-hal yang tidak terduga.