Kita hanya perlu melangkah. Akan melewati apa saja, kita tidak pernah tahu. Cukup tentukan tujuan dan mulai berjalan.
Itu yang saya alami. Saya menjadi guru tanpa bekal pengetahuan yang memadai tentang dunia pendidikan. Itu pula yang membuat saya belajar. Nah, dalam proses belajar itulah muncul kesadaran bahwa bisa jadi banyak yang seperti saya: menjadi guru tetapi kurang ilmu.
Tergerak oleh hal itu, muncul keinginan untuk berbagi. Saya sadar bahwa pengetahuan saya sangat sedikit. Namanya juga baru belajar. Namun, saya ingat ajaran agama saya bahwa sedikit apapun, ilmu harus diajarkan. Maka, saya kuatkan motivasi berbagi.
Ternyata, motivasi saja tidak cukup. Saya perlu hal yang lain, yakni bagaimana cara saya berbagi. Saya sadari bahwa saya pemalu dan pendiam. Mau bicara sedikit saja mikirnya berkali-kali.
Itu baru satu hal. Ada hal lainya, yakni saya guru baru. Bahkan sekolah tempat saya mengajar pun baru berdiri. Saya belum kenal dengan guru-guru dari sekolah lain.
Untung sudah ada motivasi. Inilah yang membuat saya mencari cara agar bisa berbagi. Oh, ya. Saya belajar tentang pendidikan dengan membaca buku-buku yang relevan. Jadi keidean, deh. Saya bisa berbagi dengan cara menulis.
Media cetak menjadi tujuan pertama saya. Beberapa kali saya mengirimkan naskah, hanya satu yang dimuat. Setelah melakukan refleksi, saya berkesimpulan bahwa gaya tulisan saya tidak cocok dengan media-media cetak.
Saya beralih ke media lain. Saya mulai menulis di blog. Memang tidak ada pengunjungnya. Saya hanya menulis, tidak berusaha membuat tulisan tersebut dibaca orang lain.
Berhenti menulis di blog, media sosial (facebook) menjadi tempat saya menulis. Eh, ternyata ada yang mau membacanya. Menulis di facebook masih saya jalani sampai sekarang.
Seperti yang saya sebutkan di awal, kita hanya perlu melangkah. Tidak disangka, ada kesempatan yang singgah. Saya diajak menulis buku. Ini bagai mimpi yang terbawa ke dunia nyata. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa nama saya akan ada di sampul buku.
Dengan tertatih dan merangkak, saya mulai menulis. Menulis secara bersama-sama itu tidak mudah. Menyelaraskan gaya tulisan bagi saya sebuah tantangan besar. Hal tersebut bisa diminimalisasi dengan pembagian peran. Saya dapat bagian menulis praktik-praktik baik di sekolah.
Selesai menulis buku pertama, saya kembali jadi penulis di media sosial. Belum muncul keinginan untuk menulis buku lagi.
Kita hanya perlu melangkah, kemudian menemukan banyak hal sepanjang perjalanan. Ini saya alami. Sekali lagi, ini sebuah kesempatan yang tidak saya sangka. Salah satu teman mengajak saya menjadi editor buku.
Saya senang bercampur heran. Kok bisa diajak menjadi editor? Saya sadar tidak pernah belajar ilmu bahasa secara khusus dan mendalam. Namun, saya yakin kesempatan itu bukan sebuah kebetulan. Ketika sebuah kesempatan menghampiri, itu berarti saya punya peluang untuk berkembang. Pasti ada potensi di bidang tersebut.
Tanpa banyak pertimbangan, saya mengiyakan. Masuklah saya ke “korps” editor sebuah penerbit yang sangat produktif. Benar-benar tantangan. Saya langsung diberi naskah buku. Saya tidak tahu cara mengedit buku itu seperti apa. Namun, tantangan harus saya selesaikan. Bertanya menjadi cara membuat saya memahami hal yang saya lakukan sebagai editor.
Seperti halnya ketika awal menjadi guru, menapaki jalan sebagai editor membuat saya banyak belajar. Bukan saja tentang aturan penulisan dan tata bahasa atau membuat kalimat yang efektif dan menarik. Saya juga belajar berempati, memanusiakan hubungan.
Menjadi editor kian memahamkan akan pembelejaran yang berdiferensiasi. Setiap penulis itu unik, baik tipe tulisan maupun karakternya. Dengan begitu, cara saya ngedit tulisan juga tidak sama. Cara saya berkomunikasi dengan setiap penulis tidak bisa dibuat sama. Apalagi ketika diberi tanggung jawab menjadi koordinator editor di mana saya berinteraksi dengan puluhan penulis dan mendistribusikan naskah mereka kepada editor-editor lainnya.
Pertanyaan seputar teknik mengirimkan naskah sampai komplain para penulis harus siap-siap saya terima. Ini membutuhkan kemampuan memahami orang lain. Untungnya, selama menjadi guru yang terkondisikan untuk belajar memahami karakter murid-murid saya dan orang tuanya.
Bukan hanya soal itu. Hal yang lain yang tak kalah menantang adalah ketika mendapat naskah yang luar biasa. Maksudnya luar biasa energi yang diperlukan untuk mengeditnya. Untuk memahami sebuah kalimat, kadang perlu berulang-ulang membacanya. Ada juga naskah yang hanya satu paragraf panjang dalam satu bab, tidak ada tanda baca atau kalau ada ngaco bukan kepalang, atau cerita yang sudut pandangnya (point of view) berubah-ubah. Pokoknya jadi sarana belajar banyak hal.
Nah, ketika naskah sudah diedit bukan berarti lepas dari “masalah”. Ada saja penulis saya minta direvisi karena menurut dia beberapa kata ada yang salah. Kalau yang begini, saya senyumin saja. Berarti penulis tersebut belum tahu yang benar itu seperti apa. Saya kasih tahu kepadanya bahwa hal tersebut tidak perlu direvisi karena memang sudah sesuai dengan aturan kebahasaan.
Menjadi editor adalah salah satu jalan saya memahami guru yang merdeka belajar. Ada komitmen terhadap tujuan, mandiri dalam cara, dan reflektif. Tujuan menjadi editor sudah saya tetapkan, yakni membantu penulis agar bukunya semakin layak dibaca. Usaha mencapai tujuan tersebut mendorong saya untuk meningkatkan kompetensi penyuntingan. Tidak ada yang meminta atau menyuruh. Saya sadar butuh hal itu sehingga tergerak untuk belajar secara mandiri.
Kualitas hasil penyuntingan saya jadikan bahan refleksi. Tentu saja tidak sempurna, termasuk proses penyuntingannya. Dari ketidaksempurnaan itulah saya beranjak untuk kian berkembang.
Menjadi editor juga membuat saya belajar tentang memanusiakan hubungan, memahami konsep, memilih tantangan, membangun keberlanjutan, dan memberdayakan konteks. Inilah cara saya memaknai perjalanan menjadi editor profesional.