Luruskan Tangan, Dan … Seketika Tenang

LURUSKAN TANGAN, DAN … SEKETIKA TENANG

Pernahkah Anda berada di suatu kerumunan manusia atau keramaian? Di pasar, di terminal, di bandara, di stadion olah raga ketika menghadiri sebuah pertandingan, di lapangan ketika ada pertunjukan, di sekitar panggung hiburan, atau bahkan ketika menyaksikan sebuah musibah kebakaran misalnya. Pada keadaan itu, biasanya orang, antar-orang, atau antar-kelompok, asyik dengan kesibukan dan urusan masing-masing. Pada dasarnya di situ orang-orang saling berinteraksi. Ada yang berbicara atau saling bicara dengan santai, ada yang serius, ada yang berbicara dengan suara rendah, ada juga yang dengan suara keras, bersorak, bahkan berteriak atau membentak. Ada yang sambil duduk, sambil berdiri, ada yang sambil menggerakkan anggota badannya; menggerakkan kepala, menggerakkan tangan sedemikian rupa; bertepuk, mendorong atau saling dorong sedemikan rupa. Ada yang bergoyang-goyang, melompat-lompat, bahkan berlari-lari. Ada yang ekspresi pikiran dan batinnya biasa-biasa saja, ada yang sedih, ada yang bahagia, ada yang marah, dan sebentuk emosi lainnya. Keadaannya sangat beragam. Situasinya riuh, kadang-kadang nyaris tak terkendali. Semua terjadi begitu saja secara alamiah, saling berkait atau tidak.

Mirip dengan gambaran di atas, kadang-kadang kita sebagai guru menghadapi kondisi yang serupa atas kelas yang kita hadapi. Kelas yang ramai, kelas yang heboh, kelas yang berisik, kelas yang crowded, kelas yang chaos. Padahal sebagai guru kadang-kadang alokasi waktu mengajar kita terbatas dan tidak semua siap dengan perubahan untuk menghadapi situasi yang di luar rencana kita. Bagaimana cara agar kita tidak kehilangan waktu yang relatif lebih banyak untuk sekadar mengkondisikan kelas agar siap mendengarkan instruksi kita?

Pada umumnya ketika kita akan berbicara di depan siswa-siswa kita atau di depan banyak orang, kita tidak nyaman dengan suasana ribut, lebih tepatnya riuh di sekitar kita. Dalam keadaan seperti itu, kita akan segera bereaksi dengan meminta orang-orang yang menjadi sumber dan pelaku keriuhan untuk tenang. Ada yang spontan terbiasa mengingatkan orang lain di sekitar dirinya itu dengan, “Ssst… ssst…,” sambil meletakkan jari telunjuknya sedemikian rupa di depan mulutnya yang bersuara itu. Demikan pula dengan sebagian orang di depan kita yang sedang kita ingatkan. Beberapa di antara mereka ada yang mengikuti instruksi kita itu dan ikut mengingatkan orang di sebelah atau di dekat mereka dengan cara yang sama. Apa yang kemudian terjadi? Muncullah keriuhan baru, yaitu riuh dengan suara “ssst… ssst” tadi. Biasanya cukup memakan waktu untuk menjadi tenang. Setelah relatif lebih tenang pun kadang-kadang masih saja ada orang yang masih berbicara. Ini yang menjadi tantangan dan masalhnya. Jadi, perlu dicari solusinya.

Terkait dengan hal ini, bagaimana cara Anda (Bapak/ Ibu/ Saudara) mengkondisikan kelas menjadi tenang dalam waktu yang relatif singkat?

Di salah satu kanal Youtube, ada rekaman video dari satu kejadian yang melibatkan sekumpulan siswa di sebuah stadion tempat mereka berkegiatan di sana yang dihadiri oleh Presiden RI, Bapak Soeharto (Pak Harto) kala itu. Ketika acara sedang berlangsung, di tengah-tengah keriuhan orang-orang yang ada di tempat itu meski terdengar sayup-sayup, Pak Harto yang sedang berpidato tiba-tiba menghentikan pidatonya. Kemudian melalui pengeras suara yang ada di hadapannya beliau dengan senyum ramahnya meminta kepada seluruh siswa di situ untuk berdiri. Di tengah gerak pindah dari posisi duduk menjadi berdiri dan suasana yang menjadi lebih riuh dan cenderung bergemuruh itu, Pak Harto menyilakan atau mengizinkan para siswa itu untuk berbicara, namun tidak boleh bersuara. Akibatnya, untuk kali ke sekian para siswa menjadi lebih bergemuruh merespon permintaan itu. Kemudian tampak dengan agak malu-malu, mungkin karena sudah relatif lebih dewasa, mereka mulai menyadari bahwa permintaan itu adalah teguran halus dari Pak Harto sehingga mereka mulai mengikuti instruksi itu. Beberapa saat kemudian suasana menjadi relatif lebih tenang. Kemudian Pak Harto menyilakan para siswa untuk duduk kembali di bangkunya seperti semula untuk melanjutkan pidatonya.

Apa yang Saya dan Kawan-Kawan Guru Praktikkan di Sekolah Kami?

Hingga pertengahan tahun 2005-an, saya baru sekitar 4 tahun menjadi guru dan mengajar di sekolah secara formal. Jika digabungkan dengan pengalaman saya beraktivitas di sekolah, kita hitung saja sejak usia saya 5 tahun, lalu dilanjutkan hingga kuliah, berarti saya sudah terlibat dalam suasana belajar di sekolah dan kuliah selama lebih dari 15 tahun. Cara klasik dengan ‘‘ssst’” itulah yang hampir selalu saya jumpai ketika guru saya atau saya sendiri lakukan ketika menjadi guru hingga saat itu. Hal yang sama yang pada umumnya dilakukan juga oleh seseorang yang akan berbicara untuk meminta perhatian audiensnya, orang-orang yang ada di tempat itu untuk tenang.

Biasanya memang kelas atau ruang menjadi relatif tenang secara bertahap. Yang pasti butuh waktu relatif lama hingga tenang, kecuali jika permintaan atau instruksi itu dilakukan dengan marah, dengan bentakan atau sambil memukul benda (meja misalnya) sehingga menimbulkan suara keras, apalagi dengan tiba-tiba supaya menimbulkan keterkejutan dan tekanan. Biasanya suasana kelas atau ruang seketika menjadi tenang. Namun, secara psikis justru siswa atau audiens akan kehilangan konsentrasi dan kesiapannya untuk mendengarkan karena hubungan yang baik siswa-guru atau pembicara-audiens dalam kondisi ini menjadi rendah. Siswa atau pendengar pasti tidak bahagia dengan kondisi seperti itu.

Hingga pada tahun 2005 saya pindah mengajar di Sekolah Sugar Group Lampung dan berkenalan serta bergabung dengan kawan-kawan baru saya, guru-guru dari berbagai daerah dan pengalaman uniknya masing-masing dari beberapa wilayah tanah air. Salah satunya adalah pimpinan saya, Bapak Purwadi Santoso yang sangat menginspirasi kami dengan pengalaman, motivasi, dan pemberian kesempatan kepada kami semua untuk terus berkembang. Saat itu kami direkrut untuk ditugaskan membagun sekolah baru; jenjang SMA saat itu. Di tempat itu sudah lebih dulu ada beberapa TK, SD, dan SMP dengan sistemnya pengelolaannya masing-masing.

Pada hari-hari awal bekerja kami yang sejumlah 13 orang menangani 4 rombongan belajar yang terdiri atas sekitar 100-an siswa.

Banyak sekali hal-hal menarik yang sebenarnya bisa saya ceritakan. Namun, pada kesempatan ini saya hanya akan fokus bercerita bagaimana kami membangun sebuah sistem dan budaya yang kami terapkan di sekolah. Di antara sistem yang kami rancang dan kemudian kami sosialisasi dan budayakan itu, kami menyiapkan 3 Sumpah/ Janji Siswa. Kami mengenalkannya dengan istilah Student Oats yang terdiri atas:

  1. Respect everyone and everything (Hormat/peduli kepada siapa pun dan apa pun)
  2. Listen while others speaking (Menyimak ketika orang lain berbicara)
  3. Do my best (Melakukan yang terbaik)

Ketiga pasal dalam Student Oath inilah yang dalam perkembangan dan perjalanan Sekolah Sugar Group dikembangkan menjadi visi sekolah yang dinyatakan sebagai 8 Pilar Karakter itu.

Terkait dengan pengantar yang saya tulis di bagian awal tulisan ini, saya akan lebih berfokus lagi untuk bercerita tentang suatu aktivitas yang kami bangun terkait dengan nomor 2. Satu saja, sebagai bukti dan contoh dari sekian banyak hal baik lainnya. Saya sangat terkesan, merasakan makna, dan memberi pengalaman yang mendalam bagi saya hingga saat ini. Mengapa? Karena menurut saya budaya menyimak (listen) yang bukan sekadar mendengarkan (hear) itu belum menjadi kebiasaan bagi sebagian kalau tidak saya katakan banyak orang. Saya, bahkan hingga saat ini masih relatif sering menyaksikan ada orang yang tetap ngobrol, tetap berbicara, tidak menyimak, tidak memerhatikan, asik dengan HP-nya misalnya, mendengarkan tapi dengan sikap badan yang tidak mencerminkan kesungguhan atau rasa hormat, ketika orang lain ada yang berbicara dan perlu didengarkan. Boleh jadi di tempat Bapak/ Ibu tidak seperti yang saya ceritakan ini. Tetapi, ada orang-orang, termasuk beberapa guru dari beberapa sekolah di luar Sekolah Sugar Group yang punya pengalaman dan simpulan seperti saya dalam hal ini. 

Agak berbeda dari banyak orang bagaimana menenangkan keriuhan dalam kerumunan tadi, kami mengenalkan dan membangun satu budaya baru. Tidak dengan ‘ssst…’, tidak dengan bersuara, tidak dengan kata-kata, tidak pula dengan memukul benda. Cukup dengan berdiri agar relatif mudah terlihat, kemudian meluruskan keseluruhan tangan kanan ke atas dengan tapak tangan terbuka.

Itulah simbol komando dari yang meminta atau yang memberi instruksi untuk tidak berbicara dan tenang. Setiap orang di situ, bagaimana pun posisinya (duduk, berdiri, berjalan, dsb), yang telah melihat orang di sekitarnya telah lebih dulu mengikuti komando meluruskan tangan kanan ke atas dengan tapak tangan terbuka itu kemudian juga mengikutinya lalu diam, tidak berbicara, ke manapun arah wajahnya menghadap. Hal itu menandakan bahwa yang bersangkutan telah siap menyimak, bukan sekadar mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh orang yang akan berbicara. Karena mendengarkan dengan menyimak itu berbeda. Setelah suasana tenang, dan biasanya relatif singkat, maka si pemberi awal tanda (orang yang akan berbicara) akan menurunkan tangannya sambil mengucapkan “thank you (terima kasih)” untuk kemudian diikuti oleh calon penyimak tanpa bersuara atau berkata-kata, sambil memastikan sedemikian rupa seluruh badannya kini menghadap pembicara.

Budaya yang awalnya benar-benar membuat saya terkejut dan terkesima dengan hasilnya ini, dengan komitmen kami, dengan konsistensi saya, kawan-kawan, bersama seluruh siswa dan warga sekolah untuk menjaganya, alhamdulillah menjadi satu budaya yang hingga saat ini bertahan, sudah menular, ditiru, dan menjadi salah satu standar dan budaya yang diterapkan di seluruh sekolah yang ada. Luar biasa. Inilah yang menurut saya satu hal kecil, satu hal yang sederhana, menjadi satu praktik baik yang tidak ada salahnya saya bagikan kepada para guru, para pembelajar, dan sekolah-sekolah lain yang terus bergerak dengan perubahan menuju perbaikan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top