Laissez – Faire : Wujudkan Kemandirian dan Tanggung Jawab di Era Pendidikan Merdeka
Oleh Nor Rahma Sukowati S.Pd.
Pendidik Lembaga Al-Falah Darussalam Tropodo
Perkenalkan, saya adalah seorang pendidik yang bercita – cita mengabdikan diri untuk bangsa lewat perbaikan intelektual dan karakter generasi peradaban. Cita- cita ini sedang saya tekuni dengan menjalani karir sebagai pendidik di Lembaga Al-Falah Darussalam Tropodo, Waru Kecamatan Sidoarjo. Awal tahun 2022, merupakan tahun yang perlu disyukuri sebab kebijakan pendidikan sudah kembali seperti semula.
Besar harapannya, bahwa kebijakan sekolah luring di LPFDT dapat menjadi pemecah solusi pada fenomena learning-loss yang sempat dikhawatirkan menjangkiti sebagian besar peserta didik, utamanya pada pembelajaran Bahasa Inggris. Pun juga menurunkan intensitas kecemasan para peserta didik sebab ada sebagian dari mereka yang merasa tertinggal dengan pembelajaran. Di jenjang SMP AL-Falah Darussalam, Bahasa Inggris dijadikan sebagai second-language alias bahasa pengantar dalam rangka menunjang soft-skill mereka.
Namun, keidealan tersebut masih belum terwujud. Berdasar pengamatan, penulis mendapatkan temuan bahwa persentase peserta didik pasif lebih besar dibandingkan peserta didik yang aktif dalam berbahasa Inggris. Hal ini menyebabkan tujuan pembelajaran Bahasa khususnya kemampuan berbicara masih belum maksimal. Serta meningkatnya rasa insekuritas peserta didik pada saat mendemonstrasikan keterampilan berbicara di kelas. Sehingga penulis mengoptimalkan dengan memberikan jawaban serta penjelasan bahkan pendampingan khusus pada setiap pembelajaran berlangsung. Sebab kewajiban utama seorang guru memberikan bantuan pembelajaran pada peserta didik. Memang, sebagian peserta didik dapat meningkatkan keterampilannya. Hanya saja, penerapan konsep tersebut malah menimbulkan permasalahan baru. Peserta didik lebih sering memiliki ekspektasi untuk bisa mendapat bantuan berupa penjelasan serta jawaban kepada penulis. Tentu, fenomena tersebut menghambat kemandirian belajar mereka.
Untuk mencegah terjadinya masalah yang berkelanjutan, penulis mulai menerapkan antitesa dari Didactic Contract. Sebagaimana yang diketahui bersama, Didactic Contract merupakan suatu kesepakatan tak tertulis dimana guru akan selalu berusaha membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan pembelajarannya secara keseluruhan. Jika kontrak didaktik terus diterapkan dalam proses KBM, maka akan menghambat peningkatan kemandirian belajar. Pada proses KBM, guru tidak serta merta melepas tanggung jawab untuk membantu peserta didik, namun bantuan yang diberikan dalam hal yang berbeda. Setelah berdiskusi dengan rekan sesama pendidik, penulis memberikan bantuan pembelajaran dalam bentuk projek.
Projek yang ditugaskan pada peserta didik yakni mengarahkan peserta didik untuk mendemonstrasikan keterampilan berbicara dalam Bahasa Inggris secara individu. Bantuan lain yang diberikan penulis yakni berupa arahan seperti kerangka pertanyaan untuk presentasi dan cara mendemonstrasikannya di depan kelas. Pun, penulis juga menekankan bahwa peserta didik memiliki kebebasan dalam mewujudkan projeknya.
Penulis berusaha seoptimal mungkin untuk menyederhanakan penjelasan penyampaian projek sehingga meminimalisir adanya permintaan bantuan dari peserta didik. Bukan bermakna tak ingin membantu, namun meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian belajar serta bersosialisasi dengan teman – teman di kelas. Penulis meyakini bahwa penerapan konsep Laissez – Faire (membiarkan apa adanya) dapat berdampak positif pada peserta didik.
Konsep tersebut bermakna bahwa peserta didik akan mendapatkan ruang untuk melakukan eksplorasi serta mengkonstruksi pemikiran mereka. Pun, intensitas bersosialisasi antar teman kelas juga dapat meningkat. Tentu konsep ini tetap dijalankan secara demokratis berdasar jenjang dan bertahap. Sehingga pada penerapan di awal, pembiaran tersebut tidak berlangsung secara keseluruhan.
Dari aksi tersebut, saya mendapatkan pembelajaran bahwa tidak semua bantuan yang guru berikan dapat memberikan bantuan positif dan berjangka panjang bagi peserta didik. Apalagi bila peserta didik selalu meminta ingin dibantu, tentu perkembangan kemandirian belajarnya akan terhambat. Sebagaimana pernyataan dari Rubem Alves “Life has its own wisdom. Who tries to help a butterfly to get out of the cocoon, kills it. Who tries to help the seed to get out of the sprout, distorts it. There are certain things that have to happen from the inside you”.
Bahkan, Sedikit demi sedikit, seorang guru perlu belajar untuk melakukan antitesa dari kontrak didaktik. Alih – alih membantu, alangkah lebih baiknya bila guru dapat mendorong minat keingintahuan peserta didik meningkat tajam secara tidak langsung. Hal ini akan memberikan dampak positif dan berjangka panjang. Peserta didik akan lebih siap menghadapi kondisi kehidupan sebab di masa sekolah sudah terbiasa untuk mengkonstruksi pemikiran mereka tanpa bantuan dari para guru. Besar harapan penulis, di kemudian hari akan menemukan berbagai teknik dan strategi belajar yang dapat lebih memerdekakan mereka. Demikian praktik baik yang ingin saya bagikan, semoga dapat menjadi inspirasi bagi guru belajar peradaban di masa mendatang. Last but not least, tetap semangat untuk semua pejuang garda terdepan bagi perbaikan krisis generasi di negeri tercinta. Terima kasih.