Kurikulum Merdeka Belajar Menjawab Keresahan Guru

KURIKULUM MERDEKA BELAJAR MENJAWAB KERESAHAN GURU

Senin pagi ini saya begitu bersemangat untuk memulai hari, tak sabar ingin berjumpa dengan murid-murid kesayangan. Rencana pelaksanaan pembelajaran  yang  telah saya siapkan dari semalam dan buku paket tak lupa saya bawa di dalam tas kerja. Perjalanan dari rumah menuju SDN Wonokerto yang kutempuh kurang lebih dua puluh lima menit dengan motor bagi saya hanya hal kecil saja.

Sesampainya di sekolah kupelankan laju motor, sampailah saya dengan selamat di tempat terindah  yakni sekolah. Entah mengapa ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat murid-murid. Mereka adalah penerus -penerus kami, yang kelak mengharumkan nama bangsa, Namun alangkah terkejutnya saya melihat beberapa murid dengan seenaknya membuang sampah  bekas jajanannya di sembarang tempat. Dan dua diantaranya adalah murid saya, murid kelas satu. Rasa kecewa menyelimuti hati, dalam hati saya berkata bahwa ini adalah kesalahan saya. Dari peristiwa ini artinya saya belum berhasil menanamkan kebiasaan baik pada murid-murid.

Di dalam kelas seperti sambil menahan perasaan kesal saya bertanya kepada murid yang membuang sampah bekas jajananya. “Hayo nak kamu tadi yang membuang sampah sembarangan ya?” tanyaku. “Bukan saya bu guru”, jawab murid saya. Padahal jelas-jelas saya tadi melihatnya membuang sampah sembarangan. Mengapa muridku tidak jujur? Ataukah merasa takut kalau saya marah atau saya menghukumnya?. Lagi-lagi perasaan bersalah menyelimuti, saya gagal …iya saya gagal mendidik murid-murid.

Seperti biasa di dalam kelas sebelum pelajaran saya menyuruh anak-anak membaca buku selama lima belas menit sebelum belajar dengan harapan literasi murid-murid bertambah baik. Setelah itu baru saya berikan materi pelajaran.  Saat itu pembelajaran murid-murid sampai pada tema 8 materi ‘Musim penghujan’. Saya melakukan skenario pembelajaran seperti rencana pembelajaran yang saya buat berdasarkan keinginan saya. Saya meminta anak-anak membuka buku paket dengan panduan halaman yang saya minta. Kemudian anak-anak saya minta membaca dan memperhatikan gambar yang ada pada buku tersebut. Dan di akhir kegiatan membaca saya meminta anak-anak mengerjakan soal yang ada pada buku tersebut. Dan apa yang terjadi harapan tercapainya tujuan pembelajaran tidak nampak sama sekali. Nilai dari hasil  belajar murid -murid di bawah rata-rata. Murid-murid terlihat kurang bersemangat saat belajar. Pertanyaan yang saya berikan tidak satupun mereka menjawabnya. Yang ada mereka malah asyik bergurau dengan teman-temannya.

Sepulang murid-murid belajar saya duduk termenung, mengapa rencana pembelajaran yang saya buat gagal total.Mengapa murid saya tidak bersemangat belajar? Mengapa hasil belajar murid-murid tidak tercapai?Mengapa murid saya takut mengakui kesalahannya?, Mengapa saya belum berhasil membentuk pembiasaan karakter positif. Itu pertanyaan yang mengiang-ngiang di benak saya. Akhirnya hati saya terbuka untuk mencari informasi tentang kurikulum Merdeka Belajar. Saya mencari referensi tentang kurikulum Merdeka Belajar  dari berbagai sumber sosial media. Jemari saya terhenti pada platform Merdeka Mengajar. Saya telusuri isisnya dan Alhamdulillah saya dapat clue dari beberapa referensi tersebut. Ternyata begini ya cara membuat rencana pembelajaran yang benar?Ternyata begini ya cara membuat siswa aktif dalam belajar? Ternyata begini ya cara menumbuhkan budaya positif?.

Dari refleksi ini  yang paling saya sadari adalah saya merasa menjadi guru paling egois sedunia. Bagaimana tidak selama ini saya membuat rancangan pembelajaran tidak memperhatikan keadaan murid-murid saya. Saya hanya mendengarkan kata hati saya, bukan kata hati murid-murid saya. Saya hanya memberikan pembelajaran yang bersifat konten dengan metode yang kurang menarik bagi murid. Saya kurang memperhatikan kebutuhan belajar murid. Dan yang paling ironis saya memberikan reward berupa bintang kuning untuk murid yang pandai dan hukuman berupa bintang hitam bagi murid yang melanggar peraturan. Saya beranggapan keberhasilan belajar murid hanya dari nilai-nilai angka yang didapatnya. Saya beranggapan sayalah sumber konten terbaik, dan anak-anak saya mempunyai kemampuan yang sama.  Dan itu semua adalah kesalahan terbesar saya. Saya harus merubah paradigma lama menjadi paradigma baru…paradigma Merdeka Belajar.

Kurikulum Merdeka Belajar membuka cara pandang saya terhadap murid dan pendidikan. Benar apa yang dikatakan bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan ” Pendidik ibarat seorang tukang kayu yang harus memiliki ilmu mengukir sehingga menghasilkan ukiran yang indah dan gurupun demikian bedanya guru mengukir manusia. Filosofi KHD selaras dengan tujuan pendidikan nasional maka tugas pendidik adalah memberikan tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar anak mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat

Peran guru dapat juga diibaratkan sebagai petani yang merawat berbagai tanamannya. Dimana petani tidak sama dalam memperlakukan setiap jenis tanamannya, karena tanaman tersebut memiliki karakter perlakuan yang berbeda. Namun dengan perawatan yang baik dan telaten maka akan didapatkan hasil panen berupa bibit-bibit yang unggul. Perawatan petani dapat dilakukan dengan memberi pupuk secara teratur, mendapat cahaya matahari yang cukup dan mencabuti rumput-rumput liar yang mengganggu tanamannya.

Bercermin dari filosofi Ki Hadjar Dewantara tersebut saya merasa perlu memperbaiki cara mengajar saya, saya perlu merubah cara pandang dan perlakuan saya terhadap murid-murid. Yang pertama kali perlu saya lakukan sebelum membuat rencana pembelajaran /modul ajar adalah melakukan penilaian diagnosis untuk  mengetahui kebutuhan belajar murid saya. Sayapun membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar. Saya buka kembali hasil asesmen murid kemudian saya kelompokkan berdasarkan minat, kesiapan dan profil murid. Selanjutnya saya siapkan konten berdasarkan kesiapan belajr murid, kebetulan tadi murid saya kurang aktif dalam di kelas.

Pagi itu saya berangkat kesekolah dengan hati bersuka ria,  tak sabar ingin menyajikan kegiatan belajar yang menarik hati. Ku tata suasana hati seindah mungkin untuk mengawali perjumpaan dengan murid-murid. Saya juga menyambut murid dengan senyuman, saya ucapkan selamat pagi sambil memberikan tangan. Ayo bersalaman nak…..kita biasakan bersalaman setiap pagi ya. Murid tersenyum membalas senyumanku sambil mengatakan ” assalamualaikum bu guru”. Alhamdulillah langkah perubahan pertama telah berhasil.

Sebelum memasuki kelas saya ingin melihat suasana hati murid saya dengan menampilkan tiga emoji yang berbeda dan menyapa mereka “Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak.Bagaimana kabar kalian hari ini?”. “Waalaikum salam, alhamdulillah luar biasa yesss….”jawab murid-murid dengan semangat. “Manakah emojimu hari ini nak? Murid-murid hampir serempak memilih emoji tersenyum disertai tanda hati yang menandakan hari ini mereka bahagia. Lalu saya bertanya tentang mengapa kemarin murid-murid sulit berkonsentrasi. Saya tanyakan juga apa yang menjadi kesulitan mereka saat belajar. Ternyata mereka bosan dengan cara belajar saya yang begitu-begitu saja. Ini menjadi catatan pribadi saya.

Setelah masuk kelas saya mengajak murid-murid membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan tentang nilai-nilai yang menurutnya benar.

Saya( Guru): “Anak-anak menurut kalian kalian suka tidak dengan kebersihan ?

MUrid-murid:” Suka bu guru” jawab mereka hampir serempak.

Saya (murid-murid): “Ok , mengapa kalian menyukainya, berikan alasanmu?” tanyaku menggali jawaban mereka.

Murid-murid: ” Karena lingkungan menjadi bersih dan terhindar dari kuman bu”, jawab mereka.

Saya (Guru): “bagus sekali jawabanmu nak. Lantas bagaimana cara kalian menjaga kebersihan “.

Murid-murid: “Membuang sampah pada tempatnya bu guru”.

Saya (Guru): Ok kalau begitu kita buat kesepakatan ya, ibu tulis di kertas manila ini ” Kami anak-anak yang suka menjaga kebersihan, bagaimana apa kalian setuju?”.

Murid-murid: Setujuuuu…….(menjawab dengan serempak)

Begitulah poin-demi poin kami buat dalam kesepakatan bersama, dan mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk mematuhi peraturan yang telah mereka buat sendiri. Alhamdulillah strategi kedua menanamkan budaya positif telah berhasil.

Membuat kesepakatan kelas sudah saya praktikkan dan berjalan dengan baik, selanjutnya saya masuk pada materi (konten) belajar. Kemarin anak-anak kurang aktif dalam belajar karena paradigma lama tentang literasi yang salah. Literasi tidak harus membaca namun literasi adalah bagaimana anak menangkap dan memahami apa yang dilihat dan dirasakan kemudian mampu mengapresiasikannya.

Materi hari ini adalah penjumlahan dan pengurangan. Kemarin anak-anak kurang aktif karena mereka kurang lancar berhitung.” Anak-anak apa kalian suka bermain” tanyaku.” Suka bu guru,” jawab mereka. “Lihat apa yang ibu bawa semalam ibu sudah buatkan balok hitung”. jelas saya. Balok hitung yaitu media dari kertas berkotak-kotak dengan beberapa mata poin. Cara bermainnya mirip permainan skak. Sebelum bermain saya ajarkan cara bermainnya. balok hitung sengaja saya buat dalam dua versi versi satu dengan bilangan satu hingga sepuluh untuk murid yang masih butuh banyak belajar, versi ke dua dengan balok hitung sepuluh hingga dua puluh untuk anak-anak yang memiliki kemampuan sedang dan balok hitung dengan angka satu hingga lima puluh untuk murid yang sudah mahir. Mereka bermain berpasangan. Saya mengelompokkan mereka berdasarkan kesiapan belajarnya namun mereka bebas memilih teman bermainnya.

Kelas terlihat hening karena mereka asyik berhitung, sesekali ada suara terikan ” yessss….aku menang”. Saya berkeliling melihat mereka bermain sambil membimbing murid yang kesulitan bermain. “Bagaimana anak-anak apa kalian suka dengan media yang ibu buat? Tanya saya. “Iya bu guru, berhitungnya jadi seru”, jawab murid-murid. Saya senang karena saya berhasil menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. “Baik anak-anak sekarang buatlah lima kalimat matematika beserta jawabannya sesuai pemahaman yang kalian miliki saat bermain, tulis di bukumu,” saya memberikan asesmen. ” Siap bu guru siapa takut, jawab mereka “. Saya bersyukur ternyata sebagain besar murid-murid sudah lancar berhitung. “Anak-anak kalau sudah selesai bermain mainannya dirapikan ya! ” ajakku. ” Baik bu guru” jawab mereka. Mainanpun sudah tertata rapi di meja.

Sebagai pemantapan untuk menguji kelancaran berhitung murid, di akhir belajar saya ajak mereka bermain kuis. Dengan pertanyaan seputar penjumlahan dan pengurangan. Alhamdulillah sebagian besar murid-murid sudah lancar dalam berhitung. Ternyata inilah pembelajaran berdiferensiasi dan student agency yang saya baca dan telah saya implementasikan. Pembelajaran ini dapat melibatkan murid secara aktif dengan cara menerapkan kepemimpinan murid dalam kegiatan belajarnya, yaitu dengan mendengarkan suara murid ( voice) tentang tujuan belajar apa yang ingin dicapainya. Memberi kesempatan murid untuk memilih kegiatan belajar mana yang akan dilakukannya ( choice), Dan menanamkan rasa memiliki dari lingkungan kelas atau sekolahnya (ownership). 

Pembiasaan 5 S ( Senyum, salam,sapa, sopan santun), pembelajaran sosial emosional, kesepakatan kelas, pembelajaran berdiferensiasi dan student agency telah merubah murid-muridku ke arah yang lebih baik. Assesmen diagnosis membantu saya menyiapkan pembelajaran yang bermakna bagi murid-murid.

Pembelajaran praktik baik yang sudah berhasil ini tidak mungkin saya menyia-nyiakannya. Permulaan yang baik ini akan saya jadikan rutinitas belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi murid. Keesokan harinya adalah Tema tentang lingkungan. Wah ini momen penting bagi saya untuk memberikan pembelajaran bermakna pada murid-murid untuk menjaga lingkungan sekolahnya.

Di dalam kelas saya berikan video tentang banjir, Anak-anak terlihat serius menyimak kisah cerita itu. Seusai mereka menyimak saya berikan pertanyaan sebagai assesmennya. “Anak-anak peristiwa apa yang telah kalian lihat”tanyaku. “Banjir buuu” jawab mereka. “Mengapa bisa terjadi banjir ya?, tanyaku. “Karena sungainya banyak sampahnya bu guru, karena hutannya ditebangi bu guru, karena membuang sampahnya di sungai bu guru”. Jawab mereka beragam.

Nah anak-anak kalian telah menemukan jawaban kalian sendiri, kalian telah paham bagaimana bisa terjadi bencana banjir dan cara mencegahnya. “Setelah kalian paham apa yang akan kalian lakukan terhadap lingkungan kalian ya?” pertanyaanku selanjutnya. “Saya ingin mengajak teman-teman untuk menjaga kebersihan lingkungan”, jawab salah satu murid. “Bagaimana caramu mengajak nak? “ pertanyaanku selanjutnya. Anak-anak sejenak terdiam memikirkan jawabannya. “ Bagaimana ya bu guru”, pertanyaan balikan dari murid. Saya memaklumi karena mereka masih di kelas satu SD. Saya menuntun mereka menggali idenya.

“Ok siapa yang suka menggambar”, tanya saya, karena saya tahu murid saya juga banyak yang suka menggambar. “Apa kalian tahu poster”, tanya saya.” Tahu….tahu bu guru, tulisan yang berisi ajakan dan ada gambarnya kan?” jawab mereka. “ Iya benar. Bagaimana kalau kalian bekerja sama membuat poster ?” tanyaku meminta pendapat mereka. “ Setuju bu guru, dan berkeliling sekolah sambil memberi contoh baik membuang sampah pada tempatnya, jawab murid-murid. Saya senang karena murid-murid terlihat aktif bealajarnya.

Kegiatan membuat poster di buku gambar dilakukan secara berkelompok, pemilihan kelompok dilakukan sendiri oleh murid. Mereka bekerjasama, ada yang menggambar, menulis dan memberi warna. Akhirnya jadilah 5 poster sederhana karya murid-murid kelas 1.  

Kegiatan membuat poster di buku gambar dilakukan secara berkelompok, pemilihan kelompok dilakukan sendiri oleh murid. Mereka bekerjasama, ada yang menggambar, menulis dan memberi warna. Akhirnya jadilah 5 poster sederhana karya murid-murid kelas 1.  

Murid-murid berkeliling sekolah sambil membawa poster yang telah dibuatnya dan teman-teman lainnya membawa tong sampah. Mereka memungut sampah yang ditemuinya di sepanjang jalan kemudian memasukkan ke dalam tong sampah yang di bawanya. Mereka juga berhenti di setiap kelas sambil menunjukkan poster yang dibawanya, mereka mengajak kakak kelas, guru-gurunya dan semua warga sekolah untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolahnya. Murid-murid  peduli dengan kebersihan sekolahnya.

Kegiatan mengajak kakak kelas, guru dan semua warga sekolah secara tidak langsung memupuk keberanian murid berkomunikasi, kemampuan literasinya bertambah dengan kekayaan kosakata yang diucapkannya. Murid-murid terlihat senang dan antusias dengan kegiatan ini.

Sesampainya masuk di dalam kelas saya mencoba memberikan satu pertanyaan lagi. “Anak-anak ini semisalnya desa kalian terkena bencana banjir, apa yang kalian lakukan supaya terhindar dari bencana banjir tersebut”? Tanya saya. Di luar dugaan murid saya ada yang menjawab “naik perahu bu guru”. Jawaban murid sengaja saya kejar untuk menumbuhkan ketrampilan bernalarnya. “Perahunya dari mana nak, kan saat itu  banjir di desamu” tanya saya dengan sengaja. Lalu ada celoteh murid saya “ ya membuat perahu bu guru”, jawabnya dengan polos.

Jawaban polos murid itu ingin saya wujudkan supaya murid dapat berkreasi. “Wah, bagus sekali jawabanmu nak. Bagaimana kalau kalian di rumah membuat perahu dari barang bekas supaya barang tersebut lebih berguna dan tidak menjadi sampah.”kataku. “Model perahunya terbuat dari apa? Dan bagaiman cara membuatnya bu guru?. Tanya murid.

“Kalian bebas berkreasi untuk membuat perahu mainan dari barang bekas, bisa dari botol bekas, kardus bekas atau apapun yang dapat digunakan. Untuk cara membuatnya bagaimana kalau kalian mencari referensi sendiri dari youtube” kata saya.

Horeee …..kata murid-murid kegirangan.

Di akhir pembelajaran saya mengajak murid-murid merefleksikan kegiatan belajarnya hari ini. Saya menanyakan apa saja yang kalian pelajari hari ini? Murid-murid semangat menceritakan kegiatannya hari ini. “Apa yang paling kalian sukai dari kegiatan belajar ini? “ tanya saya. Murid murid ada yang menjawab “ kampanye bu guru, melihat video bu guru, menggambar bu guru”. Jawab murid-murid.“Mengapa kalian menyukainya?” tanyaku kembali. Karena saya suka menggambar, karena videonya seru, karena saya suka mewarnai, karena saya suka berkeliling sekolah” jawab murid-murid dengan antusias.  Apa perbuatan baik yang  kalian lakukan di rumah nanti setelah melakukan proses belajar hari ini? Apakah kalian senang belajar hari ini?. Jawaban murid yang beragam dan semangat menandakan murid-murid suka dengan kegiatan belajar hari ini. Dan saya sangat bahagia juga karena tujuan pembelajaran hari ini tercapai.

Esok harinya seperti biasa saya datang pagi. Dan ada kejutan luar biasa yang diberikan murid-murid. Tanpa saya beri komando murid-murid mengucapkan salam dan bersalaman dengan bapak/ibu gurunya. Lingkungan sekolahpun menjadi bersih karena tak terlihat murid yang membuang sampah sembarangan. Mereka telah berubah menjadi murid-murid yang disiplin.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena keadaan menjadi sebaik ini. Apa yang saya baca tentang kurikum “Merdeka Belajar “yaitu tentang penilaian diasnostik, kesepakatan kelas, pembelajaran sosial emosional, pembelajaran berdiferensiasi, asesmen formatif di awal, proses dan akhir belajar, pembiasaan baik, student agency yang telah saya implementasikan telah berdampak besar pada kemajuan belajar murid, bukan hanya itu murid-murid juga menjadi anak yang berkarakter baik. Benar-benar kurikulum Merdeka Belajar menjawab keresahan saya dan keresahan semua guru.

Kesimpulan akhir yang saya dapatkan adalah kurikulum “Merdeka Belajar” yang berlandaskan filosofi Ki Hadjar Dewantara telah menjawab keresahan guru. Dengan kurikulum “Merdeka Belajar” membuka paradigma baru pendidikan ke arah yang lebih baik yaitu murid yang berprestasi dan terbentuknya profil pelajar Pancasila..

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top