Pandemi covid-19 telah membawa banyak perubahan termasuk di bidang pendidikan. Lebih dari satu tahun siswa dan guru melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring, begitu juga di sekolahku. Aku adalah seorang guru di salah satu SMP Negeri di Palembang. Selama pembelajaran daring banyak siswaku yang menghilang, tak hadir di kelas daring, tidak mengumpulkan tugas, bahkan tak ada kabarnya sama sekali. Setelah kasus covid-19 mulai menurun di Palembang akhirnya sekolahku dan sekolah lainnya pun mulai diizinkan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas. Meski hanya 50% siswa yang hadir tiap sesinya, kupikir ini merupakan awal yang baik, tapi ternyata aku salah. Tadinya ku pikir ini akan membawa siswa-siswaku untuk kembali semangat belajar mengejar ketertinggalan selama belajar secara daring. Rupanya tak ada bedanya. Siswa-siswaku masih dalam kondisi yang sama. Masih banyak di antara mereka yang tidak bersemangat belajar di kelas. Jangankan sudah mempelajari lebih dulu sebelum kelas dimulai, sudah mulai jam pelajaran pun buku mereka masih belum dibuka.
Kondisi siswa yang begitu pasif untuk belajar membuatku bepikir keras, apa yang harus ku lakukan agar anak-anak ini menemukan kembali semangat mereka untuk belajar. Ku mulai dari diriku sendiri. Aku mulai mengikuti pelatihan-pelatihan daring untuk meningkatkan kualitasku sebagai guru. Aku pun mendapati materi tentang merdeka belajar. Dalam merdeka belajar, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memanusiakan hubungan yang dimulai dari empati. Hal itu membuatku sadar bahwa selama ini aku hanya memandang proses belajar dari sisiku sebagai seorang guru. Aku lupa untuk berempati kepada siswa. Aku pun mulai mengubah strategi mengajarku. Awal langkahku ku mulai dengan satu pertemuan khusus untuk siswa menuliskan apa yang mereka rasakan selama proses belajar, apa yang mereka inginkan dalam proses belajar, dan apa masalah yang mereka hadapi ketika belajar tanpa harus menuliskan identitas mereka. Rupanya menjadi siswa yang harus belajar dalam masa pandemi sangat tidak menyenangkan. Tugas yang menumpuk, teman yang sedikit, ditambah lagi dengan luapan amarah orang tua dan guru membuat mereka merasa bahwa belajar adalah proses yang sangat membosankan. Maka wajar saja kalau akhirnya mereka lebih nyaman untuk bermain game daripada belajar.
Aku menyediakan waktu untuk siswa bercerita dan mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka agar aku tahu langkah apa yang harus aku ambil untuk meningkatkan semangat belajar mereka. Aku mencoba menjadi tempat mereka berkeluh kesah karena aku ingin mereka menyadari bahwa kami para guru bukanlah musuh mereka, bahwa kami para guru begitu menyayangi mereka, bahwa kami para guru hanya menginginkan yang terbaik untuk mereka dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Pelan-pelan mereka mulai terbuka padaku. Mereka mulai berani untuk mengirimkan pesan melalui wa untuk menceritakan masalah-masalah yang mengganggu mereka untuk belajar. Bahkan beberapa anak yang mengalami pengalaman buruk di rumah begitu percaya untuk menceritakannya padaku. Mereka bahkan sampai menangis di pelukanku. Mereka menjadikanku pengganti orang tua mereka. Mereka menjadikanku sahabat mereka.
Aku yang mulai memahami masalah murid akhirnya membuat peta empati dan menghasilkan satu kesimpulan, proses mengajarku harus menyenangkan dan berpihak pada murid. Aku mulai memanfaatkan permainan-permainan konsentrasi untuk membuat mereka fokus dan bersemangat ketika belajar. Syarat permainan tersebut adalah mereka sudah harus membaca dan belajar terlebih dahulu di rumah sebelum akhirnya bermain di sekolah. Siswa yang kalah dalam permainan akan diberikan pertanyaan yang berkaitan dengan materi belajar, satu-satunya alat bantu mereka untuk menjawab pertanyaan hanyalah catatan mereka. Jika dalam rentang waktu yang diberikan mereka masih tidak bisa menjawab pertanyaan maka mereka akan diminta untuk menampilkan bakat yang mereka punya.
Strategi belajar sambil bermain ini rupanya berhasil mengubah suasana kelas. Anak-anak mulai bersemangat dan antusias mengikuti proses belajar. Anak-anak yang tadinya pasif sekarang menjadi anak-anak yang aktif. Semua tugas yang tadinya tak mereka pikirkan satu persatu mereka selesaikan. Mereka yang tadinya takut dan malu untuk mengungkapkan pendapat mulai berani dan percaya diri. Siswa-siswa gembira belajar, aku pun menjadi lebih tenang dan bahagia menjalani pekerjaanku sebagai guru. Aku tak perlu lagi memerintahkan mereka untuk membaca dan menggali informasi dari berbagai sumber untuk belajar, karena tanpa ku perintahkan mereka dengan mandiri mencari sendiri semua materi terkait pembelajaran yang akan dilaksanakan. Catatan mereka pun menjadi lengkap padahal aku tak pernah memerintahkan mereka untuk mencatat. Ada satu hari yang membuatku begitu terharu. Hari itu aku terpaksa terlambat masuk ke kelas karena menghadap kepala sekolah untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Aku tak sempat memberikan tugas untuk mereka kerjakan sambil menunggu kehadiranku. Sejujurnya aku begitu khawatir, jangan-jangan mereka sudah berkeliaran di luar kelas atau membuat kegaduhan sehingga mengganggu kelas lain. Dan ternyata kekhawatiranku terlalu berlebihan. Ketika aku masuk ke dalam kelas dengan sisa waktu yang tinggal beberapa menit, aku dikagetkan dengan pemandangan aktivitas siswa. Ada yang sedang mencatat materi, ada yang sedang membaca, ada yang menonton video tentang materi, bahkan beberapa siswa melakukan diskusi tentang materi yang akan kami pelajari.
Proses belajar mengajar yang ku upayakan untuk berpihak pada murid rupanya telah berhasil merebut hati mereka. Aku mengetahui itu dari salah satu rekan kerjaku. Beliau adalah salah satu guru Bahasa Inggris di sekolahku. Beliau memberikan tugas kepada anak-anak untuk membuat kartu ucapan selamat hari guru untuk salah satu guru yang mereka sukai. Aku tak pernah menyangka, sebagian besar siswa memilihku menjadi guru yang akan mereka berikan kartu ucapan padahal aku hanyalah guru mata pelajaran biasa, aku bukanlah wali kelas mereka.
Sekarang tiba di akhir semester, semua siswa akan mengikuti penilaian akhir semester. Pertemuan di hari terakhir semester ini pun ku gunakan untuk melakukan refleksi terkait caraku mengajar. Aku tak ingin terjebak dalam asumsiku sendiri. Aku meminta siswa menuliskan apa yang mereka rasakan setelah melewati satu semester ini belajar bersamaku. Aku pun meminta siswa menuliskan satu kalimat positif untuk diri mereka sendiri. Alhamdulillah ku dapati semua siswa menulis bahwa mereka senang belajar selama satu semester ini. Mereka pun menuliskan bahwa mereka akan dengan serius menyiapkan diri untuk mengikuti penilaian akhir semester. Semoga apa yang mereka tulis benar benar mereka laksanakan. Aku pun akan terus mendukung mereka melalui doaku.
Satu semester ini telah memberiku banyak pelajaran. Aku dapat menyimpulkan bahwa anak-anak itu bukan enggan untuk belajar, mereka bukan anak-anak pemalas dan nakal. Mereka hanyalah anak-anak yang butuh untuk dipahami. Mereka hanya membutuhkan sosok dewasa yang mendidik mereka dengan hati dan cinta karena apa yang berasal dari hati juga akan sampai ke hati. Kuncinya, mari bersahabat.