Salah satu kegiatan bermakna yang saya lakukan bersama murid adalah membuat ‘Kelas Tanpa Tata Tertib’ melalui kegiatan Penyusunan Keyakinan Kelas yang saya ajukan sebagai program kerja saya selaku Penanggung Jawab Bimbingan Konseling. Kegiatan ini disetujui di Rapat Kerja (Raker) Tahun pelajaran 2022/2023 dan dimasukkan dalam agenda pekan Mengenal Lebih Dekat (Melekat) dengan mengundang wali siswa untuk hadir di sekolah. Kegiatan ini dilaksanakan secara bertahap untuk tiap jenjangnya mulai jenjang kelas I hingga VI di rentang tanggal 18–21 Juli 2022.
Yang menarik dari kegiatan ini adalah anak-anak bebas menyampaikan pendapatnya tentang kelas impian, teman impian, serta apa yang akan mereka lakukan untuk mewujudkan kelas dan teman impian tersebut. Selain itu, partisipasi wali murid dalam kegiatan ini juga merupakan hal menarik karena orang tua jadi tahu anak-anak ingin kelas dan teman yang seperti apa sehingga orang tua bisa membantu guru mengkondisikan anaknya di rumah untuk menjadi pribadi teman impian bagi teman lainnya. Orang tua juga bebas menyampaikan pendapatnya tentang kelas dan teman impian untuk anak-anaknya di sekolah sehingga guru tahu apa yang harus dilakukan selama 1 tahun ke depan dalam membersamai anak-anak yang diamanahkan orang tua bersekolah di SD Muhammadiyah Manyar (SDMM).
Ide melaksanakan kegiatan ini adalah dari pelatihan Disiplin Positif yang saya ikuti dengan narasumber Irfan Amalee dari Peace Generation dan materi yang saya dapatkan di Pendidikan Guru Penggerak Kemendikbudristek saat saya menjadi Pengajar Praktik Angkatan 1 dan Fasilitator Angkatan 5. Kegiatan ini saya lakukan sebagai aksi nyata saya di sekolah karena tanggung jawab sebagai guru adalah menjadi scaffolding dan pamong anak dalam bertumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam dan kodrat zamannya. Saya juga prihatin terhadap potret budaya pendidikan kita yang masih menganggap disiplin itu dilakukan ketika ada pengawasan. Saya berkaca dari kisah penelitian yang dilakukan oleh seorang Psikolog bernama Walter Mischel dari Stanford University tentang eksperimen marshmellow.
Kelas Tanpa Tata Tertib ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran internal anak dan kesadaran jangka panjang tentang hak dan kewajibannya. Kelas Tanpa Tata Tertib juga mengajarkan pada anak bahwa kemampuan untuk menunda kesenangan atau delay gratification adalah salah satu kunci kesuksesan yang tidak tergantikan. Keresahan yang saya rasakan ketika membuat kegiatan ini adalah tidak ada yang percaya bahwa anak bisa tertib tanpa hukuman. Tahun 2020 saya mengajukan program ini pertama kali tidak mendapat dukungan dari pimpinan sekolah. Saya meminta izin kepada pimpinan sekolah untuk melakukan uji coba di satu jenjang yang saya ampu yaitu di jenjang kelas IV. Bersyukur saya diberi izin. Di awal, dengan kondisi kelas dalam jaringan (daring), tampak sangat sulit sekali menertibkan anak usia SD di kelas virtual. Saya terus meyakinkan rekan sejawat bahwa kita hanya perlu mengembalikan ingatan anak-anak pada komitmen dan konsekuensi logis yang telah disusun bersama orang tua dan guru di awal pekan Melekat virtual. Dalam waktu 2 bulan lebih 5 hari, anak-anak sudah mulai menunjukkan perubahannya. Mereka mulai merasakan konsekuensi yang akan mereka terima saat melanggar komitmen. Konsekuensi itu tidak membuat mereka dendam karena mereka juga ikut menyusunnya di awal. Anak-anak mulai bisa mengkondisikan dirinya sendiri di kelas vrtual tanpa guru harus marah atau bahkan memberikan hukuman.
Di tahun kedua, 2021, Kelas Tanpa Tata Tertib mulai diterapkan untuk seluruh jenjang mulai kelas I hingga VI dengan model pembelajaran hybrid. Orang tua tampak antusias dan penasaran seperti apa Kelas Tanta Tertib yang akan dijalani putra-putrinya. Oleh karena itulah, banyak orang tua yang meluangkan waktu mereka untuk izin dari pekerjaan dan memilih mendampingi anak-anaknya menyusun Komitmen dan Konsekuensi Logis. Bahkan, ada juga orang tua yang masuk ke kelas virtual dari kantornya. Tahun 2022 ini adalah tahun ketiga dan menjadi momen pertama Kelas Tanpa Tata Tertib secara tatap muka. Reaksi anak-anak sangat senang karena mereka tidak merasa ditertibkan dan dihukum, tetapi merasa dihargai sebagai warga belajar dengan melibatkan mereka dalam menyusun Keyakinan Kelas bersama. Bahkan ada momen saat guru menyampaikan, “Agar kita bisa mewujudkan rasa aman di sekolah kita, bolehkah Ustazah minta kalian untuk senantiasa berjalan di lingkungan sekolah?”
Beberapa siswa laki-laki kelas VI tidak mau. Mereka merasa keberatan karena mereka suka berlari di koridor dan halaman sekolah ketika jam istirahat. Maka, guru tidak boleh memaksakan itu harus ada dalam komitmen. Akhirnya diskusi berjalan sedikit labih lama sampai bertemu titik kesepakatan di kalimat “Senantiasa berjalan di lingkungan sekolah. Jika berlari, hati-hati.” Di momen inilah saya melihat wajah anak-anak kembali tersenyum lega karena pendapat mereka merasa diakomodir oleh guru dan orang tua.
Selama kegiatan ini berlangsung, murid banyak yang mengacungkan tangannya dan menyampaikan pendapatnya. Mereka begitu antusias dan sangat senangn ketika pendapat mereka dituliskan di papan tulis. Begitu juga dengan orang tua, mereka banyak mencurahkan isi hati tentang kelas dan teman impian yang akan membersamai putra-putrinya selama 1 tahun ke depan. Orang tua juga menyampaikan ucapan terima kasih atas undangan sekolah untuk mengadakan kegiatan jajak pendapat seperti ini. Orang tua jadi tahu bagiamana tipe teman dan sesama orang tua dari anak mereka di kelas. Sedangkan dari pihak guru, ada rekan sejawat yang sependapat dengan saya sehingga sangat mendukung kegiatan ini dan aktif dalam diskusi dengan orang tua dan siswa. Namun, ada juga rekan sejawat yang masih yakin bahwa hanya hukuman yang bisa menertibkan anak-anak. Guru seperti ini hanya bisa duduk diam di belakang sambil pasif dan main gawai.
Kendala yang saya temui saat proses penyusunan Keyakinan Kelas adalah saat sesi konsekuensi logis, masih ada orang tua murid yang menyebutkan unsur hukuman seperti, “Ustazah, jika ada anak yang masih mengganggu temannya, sebaiknya dihukum berdiri di depan kelas saja, agar jera.” Saya sangat menyayangkan kalimat seperti ini masih muncul dari orang tua murid. Sehingga saya merasa perlu memberikan pengantar dulu seperti apa prinsip Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA). Di sinilah saya mengenalkan istilah yang digunakan Irfan Amalee yaitu Positiive Time Out. Di mana siswa yang melanggar komitmen itu diambil sementara oleh guru, dipisahkan dengan teman-temannya untuk diberikan pembinaan hingga ia siap kembali ke kelas. Dan Positive Time Out hanya dilakukan ketika konsekuensi logis yang pertama yaitu diingatkan, sudah dilakukan oleh warga belajar. Kendala yang kedua adalah ketika masuk pada sesi penyusuna Keyakinan Kelas, anak-anak masih bingung dengan istilah nilai kebaikan. Jadi saya membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk menggiring anak-anak dalam menyederhanakan kalimat komitmen yang sudah disusun bersama menjadi kalimat singkat berupa nilai kebaikan. Misal, “Dari komitmen membuang sampah di tempatnya, apa nilai kebaikan yang bisa kita ambil? Apakah Jujur? Atau bertanggung jawab?”
Respon dari orang tua yang menjadi penghambat mencapia tujuan adalah saat itu di jenjang kelas V, ada orang tua yang menyampaikan seperti ini, “Ustazah, apakah bisa dipastikan anak saya yang nakal dan nggak bisa diatur itu akan nurut dengan komitmen dan konsekuensi logis seperti ini? Anak saya itu hanya takut dengan hukuman, dia baru bisa diam.” Kalimat ini disampaikan di hadapan anak-anak. Anak yang sejatinya hanyalah korban dari perilaku orang dewasa di sekitarnya, dijadikan labelling anak naka, anak tidak bisa diatur, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kesempatan itu pula, saya tanya langsung pada anak-anak, “Apakah kalian mau dihukum, Anak-Anak?” Dengan serentak dan keras, mereka menjawab, “Tidak!”. Tipikal orang tua yang ingin semua proses berjalan instan dan langsung menunjukkan hasil ini yang menjadi penghambat. Padahal kesadaran internal dan ketaatan jangka panjang itu dibentuk dengan waktu dan kontinuitas. Seperti kata Briian Tracy, kemampuan untuk disiplin dan menunda kesenangan jangka pendek untuk meraih tujuan jangka panjang adalah resep sukses yang tak tergantikan.
Maka, yang saya lakukan dalam program Penyusunan Keyakinan Kelas ini adalah mengajak tiga pilar pendidikan yaitu guru, anak, dan orang tua untuk bersama-sama terlibat dalam diskusi kelas impian, teman impian, komitmen yang dilakukan untuk mencapai kelas dan teman impian, konsekuensi logis yang akan diterima ketika melanggar komitmen, serta keyakinan kelas yang harus ditanamkan bersama dalam diri. Prinsip disiplin dalam Kelas Tanpa Tata Tertib adalah disiplin yang muncul dari kesadaran dan pengendalian diri, bukan kontrol dari luar.
Strategi yang saya lakukan agar Kelas Tanpa Tata Tertib ini bisa berjalan optimal adalah memberi penguatan terlebih dahulu pada guru dan pegawai tentang konsep Disiplin Positif. Saya meminta waktu pada pimpinan sekolah agar diberikan satu sesi dalam pekan pembinaan guru dan pegawai untuk bisa mengimbaskan ilmu yang saya miliki serta melakukan simulasi sederhana Penyusunan Keyakinan Kelas. Sehingga guru punya gambaran akan seprti apa menghadapi orang tua dan anak-anak besok serta harus bagaimana mengawal implementasi Kelas Tanpa Tata Tertib selama setahun ke depan. Saya juga bekerja sama dengan Ikatan Wali Murid (Ikwam) untuk mengadakan Parent Education dengan tema “Pola Asuh Ramah Otak” pada saat sebelum terima rapor sehingga orang tua lebih dulu mengenal miskonsepsi hukuman untuk mendisiplinkan anak di rumah.
Keseruan dalam melaksanakan kegiatan untuk menghadapi kendala itu adalah saya bersama rekan sejawat dan pimpinan sekolah jadi tahu mana saja orang tua yang ternyata menyetir kuat anak-anak mereka dengan doktrin-doktrin kepatuhan dan mana saja orang tua yang memberi kebebasan pada anak-anak untuk berpikir dan memilih menjalani dunianya sesuai dengan kodratnya. Dalam proses ini, saya dan rekan sejawat jadi belajar lebih dalam bagaimana memahami dan berkomunikasi dengan baik terhadap tipe orang tua yang beragam. Saya sangat menikmati proses coaching yang secara tidak sengaja terjadi selama prose penyusunan Keyakinan kelas ini.
Respon dari murid yang sangat terlihat adalah saat saya mengajak mereka merayakan Keyakinan Kelas yang telah disusun bersama selama 60 menit itu. Seluruh siswa tampak sangat gembira dengan melakukan tepuk hebat dan tepuk mantap. Dan ketika orang tua mereka maju ke depan untuk ikut merayakan bersama, anak-anak tampak langsung berlari memeluk orang tua masing-masing. Ketika sesi selesai, anak-anak meninggalkan ruang aula, ada beberapa gumpalan kertas yang tertinggal di lantai, saya cukup mengatakan, “Wah, tempat belajar kita sepertinya kurang bersih. Apakah ada yang masih ingat apa Keyakinan Kelas kita tadi?” Serentak anak-anak menjawab, “Bertanggung jawab.” Diikuti dengan aktivitas menguti sampah tanpa diminta.
Pelajaran yang saya dan murid dapatkan dari implementasi Kelas Tanpa Tata Tertib adalah semua keputusan berada penuh pada kesadaran si anak. Seperti yang dituliskan Reinald Kasali dalam bukunya Self Driving, para pemimpin sukses adalah orang yang mampu menjadi driver bagi dirinya. Dia menjadi pengendali penuh atas hidupnya mencapai tujuan yang dicita-citakan, tak peduli seberat apapun godaan yang ia temukan di tengah jalan.
Hal mengesankan dari kegiatan yang dilakukan adalah suasana kelas yang berubah lebih ramah anak. Sudah tidak ada lagi tempelan tata tertib dan hukuman. Yang anak-anak lihat setiap hari di kelas mereka adalah komitmen, konsekuensi logis, dan nilai kebaikan yang tercantum dalam Keyakinan Kelas. Komentar dari salah seorang siswa kelas satu yang muncul saat melihat temannya melanggar komitmen adalah “Ustazah, Aldo lupa kalau kelas kita adalah kelas yang menghargai. Dia tadi mengejek gambarku.” Kalimat ini menunjukkan bahwa anak-anak mulai terbiasa mengucapkan nilai kebaikan dan menimbang mana perbuatan yang tidak mencerminkan nilai kebaikan yang mereka yakini di kelas.
Hal lain yang ingin saya kembangkan dari kegiatan ini ke depannya adalah membiasakan Teknik STOP dalam kelas untuk mengelola Kompetensi Sosial Emosional (KSE) anak. Perubahan yang saya rasakan adalah saya menjadi pribadi yang lebih sabar dan lebih tertata dalam ucapan dan perbuatan baik kepada siswa, rekan sejawat, maupun kepada orang tua.