Intan Sri Winarni

Sebagai seorang guru dalam kegiatan proses belajar mengajar tentu mengharapkan hasil yang memuaskan baik itu pada PBM maupun setelah PBM ( hasil pelaksanaan tes formatif dan sumatif ). Suatu kebanggan bagi pribadi guru jika semua siswa mengerjakan tugas ataupun ulangan dengan nilai yang memuaskan atau sesuai dengan harapan kita..

Tapi kenyataannya yang terjadi malah tidak sesuai dengan harapan. Bertahun-tahun menjadi guru , selalu menemukan kondisi yang sama hasil tes siswa selalu berada jauh dibawah haran. Siswa yang mendapatkan nilai sama atau lebih dari KKM hanya mampu mencapai 25 % -30 %, padahal kita merasa sudah memberikan kemampuan terbaik kita , baik dalam pemberian materi maupun penggunaan media untuk membantu siswa memahami materi yang sedang kita sajikan. Kondisi seperti diatas , tentunya membuat kita sebagai guru resah, bertanya kepada diri sendiri , apakah ini kesalahan saya atau memang siswa yang mempunyai kemampuan yang kurang. 

Pada saat pemberian tugas atau soal ulangan , saya membuat soal seragam untuk semua siswa dan menganggap bahwa semua siswa memiliki kemampuan yang sama, karena saya sudah menjelaskan materinya dengan rinci dan menggunakan media agar mereka lebih mudah paham. Tapi kenyataannya jauh dari harapan, hanya siswa yang terlihat menonjol pada saat pembelajaran ( sering menjawab pertanyaan guru dan aktif bertanya dalam pembelajaran) yang mendapatkan nilai bagus sedangkan siswa yang tidak aktif dalam pembelajaran , memperoleh nilai tidak tuntas

Saya pun mulai merefleksi diri dan mencari sebab dari kejadian diatas. Kekeliruan saya adalah memberikan soal seragam kepada siswa padahal saya tau pada saat pelaksanaan PBM tidak semua siswa mengalami kemampuan yang sama. Mencoba mencari literature dan membaca pengalaman dari beberapa orang guru yang memiliki masalah dengan saya. Lalu saya menemukan salah satu alternatife pemecahannya yaitu melaksanakan Assesmen diagnostik untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

Secara teori harusnya dilaksanakan pada awal kegiatan semester dimulai, tapi saya berfikir lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.

Kegiatan assesmen diagnostik saya mulai dengan mencari info pada guru mapel pada kelas sebelumnya (kebetulan saya mengajar kelas 8), kebiasaan siswa dalam kelas, tingkat keaktifan pada kegiatan PBM, kebiasaan tepat waktu atau telat dalam mengumpulkan tugas, tidak lupa mencari informasi tentang keluarga siswa tersebut melalui wali kelasnya, serta bertanya langsung ke siswa melalui bincang-bincang santai. Setelah mendapatkan informasi tersebut , saya pun mulai tambah mengenali karakter siswa masing-masing, terdapat kemampuan berfikir  yang berbeda dan latar belakang keluarga yang mempengaruhi tingkah laku mereka pada saat PBM .

Selama ini saya membentuk kelompok-kelompok dalam kelas secara heterogen, yaitu menempatkan disetiap kelompok, siswa yang saya anggap mampu untuk membantu teman sekelompoknya, tapi saya merubahnya dengan membentuk kelompok yang homogen , yaitu siswa mempunyai kemampuan yang sama di tempatkan di kelompok yang sama. Pada awalnya kelompok yang merasa tidak ada teman yang bisa “ di jagokan”  protes dengan keadaan tersebut karena mereka akan ketinggalan dari teman yang “pintar” yang berada di kelompok lain. Saya hanya tersenyum sambil mendengarkan komentar mereka. Selama ini pengalaman saya mengajar, pembagian kelompok di kelas dengan menempatkan disetiap kelompok siswa yang mempunya”kemampuan lebih “ memiliki dampak yang kurang baik diantaranya, siswa yang “kurang” akan bergantung kepada temannya yang “mampu” hanya tinggal “menyontek hasil pekerjaan teman yang”mampu” dan biasanya jika mereka berpendapat , diacuhkan atau diabaikan karena dianggap siswa yang “kurang.

Dalam pemberian soal atau tugas ,tapi tetap dengan indikator yang sama, saya memberikan soal yang berbeda tingkat kesukarannya pada setiap kelompok, sesuai dengan kategori yang telah saya tentukan. Awalnya kelompok yang “mampu” sedikit protes karena soal yang di berikan pada kelompok lain “lebih mudah” dari soal yang mereka terima, saya pun menjelaskan khusus kepada mereka, bahwa ibu tidak memberikan soal yang sama dengan mereka karena pasti mereka bisa langsung menyelesaikannya  tapi teman kalian yang dikelompok belum mampu.

Dengan metode scaffolding saya memberikan perlakuan khusus kepada kelompok “yang kurang” untuk membantu mereka agar dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Antusias dari kelompok ini sangat besar, karena mereka merasa kemampuannya sama , tidak ada yang lebih menonjol antara satu dengan yang lain, sehingga mereka terlihat lebih bersemangat dan berusaha bisa dalam menyelesaikan tugas.

Seperti biasa , tiba saatnya mempresentasikan tugas yang diberikan, semua terlihat bahagia karena mampu menyelesaikan tugas. Langkah selanjutnya soal yang kita berikan kepada kelompok yang mampu , akan kita berikan kepada kelompok “yang kurang”, pemberian bantuan untuk kelompok tersebut boleh kita meminta kepada siswa yang berada pada kelompok “yang mampu” yang dikenal dengan tutor sebaya, sedangkan untuk kelompok “yang mampu” kita dapat memberikan soal-soal yang lebih menantang

Perlakuan yang berbeda terhadap setiap siswa , khususnya dalam hal  pemberian soal pada saat penugasan ataupun  tes formatif memberikan dampak yang sangat besar kepada setiap siswa, baik siswa yang “mampu” ataupun “kurang mampu”, kemampuan menyelesaikan soal memberikan semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bagi siswa karena dampak dari assesmen diagnostic yang kita lakukan. Kekeliruan yang kita lakukan sebagai guru  dan rasa ego yang

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top