Awal
Saat pemerintah mengumumkan bahwa murid bisa belajar 100 persen di sekolah, tentunya sebagai guru merasa bahagia banget,dong. Belajar tatap muka adalah hal yang dirindukan lebih dari dua tahun belakangn ini. Tentunya berbagai praktik baik dipersiapkan guru untuk menyambut tahun ajaran 2022/2023. Apalagi dengan kurikulum yang fleksibel yang sangat memerdekakan guru dan siswa dalam kelas—menjadikan semangat guru menggebu-gebu ingin bertatap muka dengan murid.
Dua minggu berjalan pembelajaran tatap muka, ada hal yang sangat menggelitik di hati saya. Aku merindukan murid yang komunikatif, aktif berpikir, aktif bertindak, dan mandiri serta percaya diri. Aku mafhum bahwa tidak bisa murid SD dipaksakan untuk komunikatif di awal tahun pelajaran. Sebab, mereka masih membaca situasi kelas dan berinteraksi dengan gurunya. Kemudian, mereka masih terkejut dengan kedisiplinan waktu belajar. Selama ini sedikit kendor akibat belajar jarak jauh.
Menjadi penonton melihat murid yang tidak percaya diri, tidak komunikatif, aktif adalah kesalahan besar pada diri seorang pendidik, pikirku. Lantas aku membangun percakapan di kelas. Meminta murid untuk terus terang apa yang mereka pikirkan dan rasakan dari pembelajaran usai pandemi. Semua murid senyum dan memandang diriku, kemudian satu diantara mereka berkata ”masih lamakah istirahat?” Wah ini adalah masalah besar. Pertanyaan di kepalaku pun banyak. Apakah mereka perlu diasesmen kembali? Atau mereka menginginkan belajar seperti apa?
Tantangan
Ketika percakapan dimulai, merumuskan kegiatan pembelajaran, hampir semua murid suka belajar di luar kelas. Nah, kami pun sering berkegiatan di luar kelas dalam proses pembelajaran. Bercerita, ice breaking, dan mengobservasi hampir dilakukan setiap hari. Apakah hasilnya sudah optimal? Murid sudah mandirikah? Komunikatifkah? percaya dirikah untuk presentasi? Ternyata tidak. Sebagian dari murid ketika berefleksi mengatakan bosan belajar alias semangat belajarnya belum pulih. Sebagian lagi belum mandiri menyelesaikan suatu tugas dalam kelompok. Kemudian, kemampuan menganalisis sesuatu belum terampil, mengungkapkan kalimat juga masih kaku. Apalagi membangun kerja sama yang baik dalam kelompok belajar masih rendah. Belum menganggap teman sebagai seseorang yang membantu proses belajarnya. Debat kecil yang tidak membangun pun sangat riskan terjadi. No have friend.
Saya melihat kasus seperti ini juga terjadi pada guru lain dalam kelas yang diampunya. Guru perlu mengumpulkan energi secara totalitas menghadapi pembelajaran pasca pandemi. Murid sangat membutuhkan pemantik untuk memulihkan keaktifan dirinya dalam belajar.
Jika seseorang merasa jenuh atau bosan salah satu untuk mengatasinya adalah dengan refreshing. Refreshing identik dengan jalan-jalan atau liburan, hal ini belum memungkinkan untuk dilakukan. maka saya umpamakan dengan kalimat ”healing di kelas untuk memantik murid belajar aktif ” dengan konsep memasak.
Memasak merupakan kegiatan yang menyenangkan apabila dilakukan bersama teman atau keluarga ketika kita melakukan perkemahan. Tentu, dong. Dengan meniru konsep ini menjadi pemantik menumbuhkan keakraban antara guru dan murid, serta murid dengan murid dalam mendorong pemulihan semangat, motivasi serta keaktifan belajar mereka. Maka langkah yang saya tempuh adalah:
- Guru dan murid membangun percakapan aktif di kelas tentang keresahan yang terjadi
- Murid diminta memaparkan tentang kegiatan apa yang membuat dirinya aktif dan mandiri belajar
- Murid dan guru memetakan hasil diskusi
- Guru mengambil keputusa bahwa murid perlu healing belajar pasca pandemi
- Guru memberikan ide healing di kelas dengan konsep memasak
- Guru memaparkan tujuan dari kegiatan healing di kelas (kolaborasi, mandiri, berkomunikasi, bertanggung jawab, serta percaya diri)
- Murid setuju dan merdeka memilih teman kelompoknya
- Guru mengarahkan murid untuk mengaitkan tema pembelajaran dengan konsep memasak
- Murid dan guru sama-sama menyepakati makanan tradisional dari bahan tepung sagu sebagai makanan pokok Indonesia Timur (Papua dan Maluku)
- Murid berliterasi tentang bahan dasar masakan “tepung sagu” serta menganalisis pengeluaran yang dibutuhkan
- Guru menyiapkan lembar asesmen terkait ketajaman literasi numerasi sebelum dan sesudah proses memasak
- Murid healing di kelas dengan memasak per kelompok
- Guru memberikan apresiasi setiap kelompok dengan indikator rasa makanan yang telah disajikan murid
- Perwakilan kelompok mencicipi hasil masakan temannya dan memberikan apresiasi
- Setiap kelompok mempresentasikan asesmennya di kelas
- Murid berefleksi bersama guru
Adapun dampak yang terjadi dari kegiatan healing di kelas yang telah dijalani bersama murid adalah murid benar-benar menikmati proses memasaknya tanpa mengingat waktu istirahat, murid bertanggung jawab menyiapkan masakannya dan mengerjakan asesmen, murid aktif bertanya kepada guru tentang takaran bahan sudah pas atau belum. Murid percaya diri mempresentasikan proses memasaknya serta asesmen yang dikerjakan. Dan keakraban diri antar teman terbangun/stabil di saat proses literasi dalam menganalisis bahan dasar dan pengeluaran serta mandiri dalam mengerjakan pembagian tugas kelompok. Orangtua pun mendukung penuh proses memasak untuk tahap healing berikutnya/pada tema berikutnya sebagai usaha memantik murid belajar aktif. Demikianlah proses perjalanan saya dalam usaha memantik murid agar belajar aktif.