Hampir 90% Mahasiswa Salah Jurusan, Sekolah Bisa Apa?

Pernyataan Irene Guntur, seorang ahli dari Integrity Development Flexibility, beberapa tahun lalu cukup mengejutkan publik. Ia menyebutkan 87% mahasiswa di Indonesia salah memilih jurusan.

Terkait hal itu, Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar, mengatakan, meskipun sudah beberapa tahun fenomena salah jurusan terdengar namun belum ada gebrakan serius untuk menanganinya.

Murid yang salah jurusan umumnya hanya akan disalahkan sebagai konsekuensi pilihannya sendiri. Tanpa melihat keseluruhan sistem yang mendukung langgengnya situasi ini, termasuk di dalamnya adalah pihak sekolah.

Bukik menjelaskan, setidaknya ada empat cara yang bisa dilakukan sekolah untuk mendorong muridnya memilih jurusan yang tepat.

  1. Mengembalikan Esensi Tujuan Pendidikan

Masalah utama dalam pendidikan di Indonesia, jelas Bukik, adalah orientasi yang mengarah pada capaian standar. Murid terlalu fokus mengejar standar yang ditargetkannya hingga tidak mengenali minat dan bakatnya.

Bukik menegaskan, saatnya pendidikan di Indonesia melakukan reorientasi pembelajaran yakni menjadikan murid sebagai subjek pendidikan. Sekolah memiliki peran yang besar untuk mengembalikan fitrah tujuan pendidikan.

“Apa sebenarnya tujuan pendidikan? Kenyataannya, murid adalah alasan keberadaan pendidikan. Tanpa mereka, tidak ada pendidikan. Penting bagi guru, kepala sekolah, orang tua, dan pelaku pendidikan lainnya untuk melakukan refleksi mengenai ini,” ucap Bukik.

  1. Menerapkan Asesmen Diagnosis

Menyadari bahwa murid adalah subjek pendidikan, kata Bukik, bisa dimulai dengan melakukan asesmen diagnosis. Melalui asesmen ini, guru dapat melakukan perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan murid.

“Asesmen diagnosis dapat dilakukan dengan cara mudah dan dengan beragam cara. Melalui asesmen ini, proses pembelajaran bisa mengoptimalkan kekuatan dan memenuhi aspirasi murid,” jelas aktivitas pendidikan tersebut.

  1. Menerapkan Pembelajaran Berbasis Konteks

Bukik menjelaskan, orientasi pendidikan pada standar membuat murid jauh dari dunia nyata, termasuk mengenal beragam pilihan karier. Terlebih pengenalan pilihan karier umumnya baru dikenalkan saat murid berada di kelas XII.

Pembelajaran berbasis konteks dapat mengatasi masalah ini karena memfasilitasi murid untuk dekat dengan lingkungan sekitarnya. Murid bisa belajar peka terhadap permasalahan di sekitarnya dan mulai memahami apa yang diinginkannya.

“Proses pengenalan pada dunia nyata harus sudah ada sepanjang proses pembelajaran sejak kelas VII. Tidak hanya sesaat, ketika mau mendaftar kuliah saja,” terang Bukik.

  1. Mengoptimalkan Peran Guru BK

Bukik mengatakan, selama ini peran guru terpinggirkan yakni hanya mengurusi murid yang melanggar peraturan. Padahal lebih dari itu, guru BK dapat membantu murid mengenali kekuatan dan aspirasinya.

“Guru BK bisa mengumpulkan informasi langsung dari murid, dari orangtua/wali murid dan dari seluruh guru lain. Dengan demikian, guru BK mempunyai informasi yang lebih dalam memfasilitasi murid memilih jurusan yang tepat,” tutup Bukik. (YMH)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top