Guru Merdeka Belajar : Tak Berhenti Cari Cara!

Setiap pergantian tahun ajaran baru, saya seringkali merasa deg-degan. Deg-degan karena akan menyambut kelas baru atau masih berada di kelas yang sama. Dan ternyata … saya tidak tergantikan sebagai guru kelas dua. Its, Okey! Namun ada kegelisahan yang terus menghantui pikiran saya setelah tahun ajaran sebelumnya di masa pandemi yaitu merasa gagal dalam proses belajar. Padahal kala itu saya sudah maksimal untuk membuat proses belajar yang sesuai kesepakatan kelas di awal sebelum pembelajaran dimulai. Minggu pertama masih terlihat aman, tetapi di Minggu kedua, segala permasalahan muncul. Contoh, orangtua melanggar kesepakatan yang telah didiskusikan bersama ketika saya melakukan asesmen diagnosis yaitu tidak mengikuti alur belajar anak di rumah. Berikutnya, banyak anak yang tidak merasa bahwa belajar itu suatu kebutuhan. Berbagai cara dan upaya saya lakukan dan mengikuti hasil diagnosis awal mengenai minat murid yang mana lebih memiliki gaya belajar dengan cara bermain. Alih-alih berhasil namun malah gagal lagi. Di situlah saya merasa galau dan berdosa (karena tidak membuat murid berkembang).

Pengalaman tahun lalu yang dirasa penuh kegagalan tersebut membuat saya berkali-kali refleksi. Apakah ada yang salah dengan proses belajarnya? Atau Ini adalah faktor dari orangtua yang kurang mendukung anak-anaknya belajar? Atau faktor lingkungan pergaulan anak di rumah? Atau apa ya? Kemudian saya pun mendiskusikan permasalahan tersebut kepada rekan-rekan guru. Mereka menjawab dengan kompak, “Itu dari lingkungan orangtuanya ustadzah. Ini kakaknya juga sama. Dari kelas satu pun memiliki faktor demikian. Sudah dilakukan bermacam cara tapi tidak ada perkembangan. Paling ya, satu – tiga anak saja.” Oh … Baik. Mendengar pendapat dari rekan-rekan guru, saya sedikit lega. Lalu, saya bertekad untuk lebih bersemangat lagi menemani murid-murid hingga berkembang sesuai tujuan belajarnya.

Ajaran Baru Tiba, Tantangan lagi Mengenali Murid yang pastinya Berbeda.

Pandemi telah berlalu, berdasarkan surat dari pemerintah – sekolah sudah diperbolehkan tatap muka namun tetap menjaga protokol kesehatan. Kabar yang menggembirakan bagi kami (guru). Saya pun turut antusias menyambut tahun ajaran baru itu. Seperti biasa langkah awal yang saya lakukan adalah asesmen diagnosis. Asesmen tersebut bagi saya menjadi hal yang terpenting sebelum memulai pembelajaran di kelas. Terlebih saya benar-benar belum memahami dan kenal betul murid-murid kelas satu dahulu.

Pertama, saya mencari tahu data murid dan orangtua melalui dokumen pribadi sekolah. Lalu, melakukan diskusi kecil dengan guru kelas satu guna mengetahui bagaimana tingkah laku ataupun perkembangan belajar masing-masing anak. Kemudian saya memetakan profilnya. Berikut contoh tabel pemetaan yang saya buat.

NoNama MuridProfil Singkat MuridPekerjaan Orangtua
1.AliyaAnaknya cerewet, pintar, cepat menyerap materi pelajaran. Tetapi terkadang tidak fokus.Wiraswasta
2.ArrifqiAnaknya cerewet, suka bercerita, tetapi belum bisa menulis, membaca dan berhitung. Rifqi adalah anak pindahan dari sekolah lain.PNS
3.AdeliaAnaknya pendiam, belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Namun memiliki kelebihan di bidang seni atau kerajinan.Buruh
4.BagasAnaknya sembrawut, jahil banget, tingkah lakunya kurang sopan, belum lancar membaca dan berhitung.Buruh
5.IntanAnaknya aktif, suka bertanya dan protes.Buruh
 Dst.  

Pemetaan di atas saya rasa belum cukup. Ketika hari pertama masuk di kelas dua, saya memperkuat data dengan perkenalan singkat kemudian mengajukan pertanyaan ke murid-murid dan menyuruhnya menuliskan ke dalam sticky note. Berikut contoh kalimat pertanyaannya.

Minat/HobiGaya Belajar
Apa sih hobi kamu?Kegiatan apa yang kamu sukai saat di rumah?Manakah belajar yang lebih kamu suka? Belajar sambil bermain?Belajar dengan suasana tenang?Belajar dengan mendengarkan guru?

Proses pengumpulan data murid selesai. Saya melanjutkan pembelajaran dengan mengajak murid-murid menentukan tujuan belajar selama di kelas dua. Namun sebelumnya saya sudah berbincang panjang lebar menjelaskan alur belajar. Hari demi hari, minggu demi minggu, sudah terlewati dengan cukup baik. Saya pun merasa senang karena 90% murid di tahun ini mudah beradaptasi dan mau diajak kerjasama.

Asesmen Diagnosis menjadi langkah yang jitu untuk memahami profil murid, terbukti dengan melaluinya saya lebih mudah beradaptasi, murid-murid pun sebaliknya – hingga menyebabkan kedekatan atau keakraban yang timbul secara baik serta lebih saling menerima kehadiran satu sama lain.

Selama proses pembelajaran berlangsung, saya sangat senang. Walaupun tidak semua murid aktif, tetapi sebagian ada yang berperan membantu saya agar kelas menjadi hidup (tidak diam membisu). Saya seringkali mengajak diskusi, bercerita tentang kehidupan. Mengajak mereka untuk mengenali bagaimana proses belajar pada zaman saya dengan zaman sekarang. Saya memberi kesempatan kepada setiap murid untuk memaparkan pendapatnya. Nah, di sinilah saya kembali diuji.

Menit-menit awal mendadak sunyi. Semua terdiam dan sesekali saling menengok ke teman sebangkunya. Terlihat bingung. Duh, permasalahan yang dahulu kembali terulang. (Kata saya dalam hati) – Okey, cari cara! Lalu saya langsung bergegas untuk bercerita lagi, “Dulu ya, ustadzah tuh anaknya super aktif. Nggak bisa diam. Ketika ada guru bertanya, ustadzah pasti menjawab – walaupun terkadang salah, tapi nggak papa yang penting jawab.”Kemudian salah seorang anak menimpali, “Apa iya sih us?”“Iya dong … Aliya coba deh komentar tentang pertanyaan ustadzah tadi.” Tanya saya. “Tapi kalau salah jangan dimarahin ya us..” jawabnya lagi. “Eh, enggak dong. Masak dimarahin, kan masih belajar.” Aliya pun akhirnya memaparkan pendapatnya. Setelah selesai saya meminta teman-temannya memberikan tepuk tangan sebagai penyemangat awal.

“Pendapat yang baik, Aliya. Betul sekali nih, di zaman sekarang anak-anak lebih sering bermain hp ya ketimbang belajar. Apalagi dengan banyaknya game yang beragam, membuat semakin betah ya. Terima kasih pendapatnya, Aliya. Ada lagi yang ingin berpendapat?”

“Soalnya main game itu asyik ustadzah …” teriak Intan, menimpali.

“Kenapa asyik?”

“Lah kan ada banyak pilihan menu, gambar dan lain-lain gitu,”

“Wah, iyaya. Kalau misal itu ada di proses belajar di kelas bagaimana?”

“Ya jadi asyik juga lah. Nggak bosen.” Sahut anak laki-laki.

Perbincangan semakin seru. Berawal dari satu murid yang berkomentar, akhirnya ditimpali oleh murid-murid lainnya. Lalu, bersama-sama menyimpulkan hasil perbedaan dari pertanyaan tersebut. Yyeyy, saya kembali bersemangat melanjutkan pembelajaran.

Mulai dari situlah, saya seringkali memberikan umpan balik. Sebelumnya saya mengalami miskonsepsi terkait umpan balik. Saya kira umpan balik hanya sekedar, “Wah, bagus ya.” Eh ternyata tidak. Terlebih ketika saya belajar lagi dengan rekan-rekan guru belajar nusantara, lalu membaca postingan Pak @rizqyrahmat tentang macam-macam umpan balik, saya jadi tahu dan mulai memahami makna yang sesungguhnya.

Momen mengajar di tahun pelajaran 2021/2022 tersebut membuat saya lebih banyak belajar. Proses memahami murid, ini menjadi poin utama bagi saya. Contoh kecil ketika saya sedang menjelaskan materi tematik matematika, terlihat seorang anak perempuan yang biasanya ceria dan aktif namun waktu itu seperti tidak bersemangat. Setelah selesai menjelaskan, saya pun menuju ke meja anak tersebut.

“Aliya kenapa? Nggak kayak biasanya nih …”

“Enggak papa us,”sahutnya.

“Ah masa, coba sini cerita sama ustadzah,”

Setelah panjang lebar cerita, ternyata yang membuatnya tidak fokus adalah karena ia harus menyetorkan hafalan surat-surat pendek yang ada di juz 30 setiap harinya. Padahal ia belum berminat mengikuti tahfidz al Quran. Karena sepupunya tidak ada teman belajar menghafal, akhirnya ia pun menuruti saran ibunya agar menemani sang sepupu. Sungguh senang ketika saya berperan menjadi teman cerita murid. Mulai dari sanalah saya belajar lagi. Terkadang mentang-mentang kita sebagai guru, kita menyuruh murid belajar ini – itu tanpa peduli murid-murid senang belajar atau tidak. Yang penting tugas harus selesai dan murid harus paham. Duh gusti, penjajah ada lagi. (heueheu).

Bicara dari Hati ke Hati, maka akan sampai ke Hati!

            Semester dua segera usai. Di akhir sesi belajar, saya adakan refleksi bersama. Sayang sekali mereka lebih suka berbicara secara langsung (tidak ditulis) jadi tidak ada rekaman, sebab saat itu saya dan murid-murid terlalu menikmati suasana. Tetapi ada perkataan yang membuat saya terenyuh.

“Us, tau gak? Sekarang aku udah gak ikut belajar tahfidz lagi. Aku ngobrol sama ibu, dan ibu nggak papa. Jadi sekarang aku bisa lebih fokus belajarnya, tanpa ada beban lagi. Dan aku juga selalu ingat apa yang ustadzah katakan, tentang perbaikan-perbaikan yang harus aku ubah (harus lebih fokus dan semangat lagi). Makasih ya us.”

“Us, padahal aku gak belajar. Sukanya main tiktok terus (hehe) tapi kok bisa ya? Tau gak karena apa? Ya karena aku belajar sama ibu. Terus juga apa yang sudah ustadzah sampaikan (aku harus begini-begitu) aku-nya melaksanakan jadi ya bisa ya. Hehe. Makasih ustadzah.” Dan masih ada lagi.

Mendengar perkataan mereka, hati saya merasa bersyukur. Ternyata apa yang selama ini saya lakukan mulai berdampak terhadap diri murid. Berawal dari memahami, berakhir jatuh hati. Guru happy, murid pun turut happy. Terima kasih, anak-anak.

Seringkali saya gagal, namun seringkali pula saya memilih untuk bangkit. Alhamdulillah, tahun ajaran baru 2021/2022 menjadi momen pembelajaran yang luar biasa. Murid-murid saya sebagian besar berkembang dan mulai berani menggali potensi diri dan kolaborasi dengan orangtua pun cukup berhasil juga. Rangkaian proses di atas merupakan hasil dari menimba ilmu di komunitas guru belajar nusantara Pekalongan. Jika ingin menjadi Guru Merdeka Belajar, ya harus siap BELAJAR. Jangan dikit-dikit mengeluh, cari cara ya!

Salam,

Merdeka Belajar!

@khusnanazilaa

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top