Guru Membangun Koneksi: “Si Anak Nakal” Akhirnya Membuka Hati Menerima Koreksi

“Susah, susah, susah, Bu….” Jawab salah satu peserta didik yang dianggap paling nakal di kelas. Jawaban ini sontak mengundang tawa terbahak-bahak yang membahana seisi kelas ketika saya bertanya ‘apakah bahasa Inggris itu susah-susah gampang atau gampang-gampang susah?’. Ya pelajaran bahasa Inggris sering menjadi monster menakutkan bagi sebagian peserta didik saya. Hal ini bukan tanpa alasan. Terlebih pada peserta didik kelas 7, Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sangat baru bagi mereka.

Saya guru bahasa Inggris baru di sebuah SMP di desa dengan sekitar 200 peserta didik. Dengan jumlah peserta didik yang tidak terlalu banyak, ternyata permasalahan yang kami hadapi di sekolah cukup kompleks. Sekolah kami terletak di dekat kebun yang lebih mirip hutan. Di sana menjadi tempat persembunyian jika peserta didik yang terkenal “nakal” hendak membolos. Tak ada pagar pembatas di bagian belakang sekolah. Karenanya, sangat mudah mereka lari ke hutan jika tak ingin belajar dengan guru yang tak disukainya. Tak sedikit warga sekitar menyampaikan informasi ini. Ada dua atau tiga nama yang sering disebut sebagai siswa trouble-maker. Mereka kerap dipanggil menghadap ke BK, sering mendapat surat panggilan orang tua, pernah di-skorsing, tapi perilakunya tak jua berubah.

Saya terus memikirkan bagaimana ya caranya agar saya bisa membuat anak yang dicap nakal ini bisa belajar dengan baik. “Yang penting mereka bisa duduk tenang dan tak mengganggu peserta didik lain sampai pelajaran saya selesai,” itu pikiran saya ketika masuk di kelas ‘si Anak Nakal’. Di satu sisi, saya khawatir akan disoroti oleh teman guru lain ketika si anak nakal ini berkeliling ke sana kemari mengganggu pelajaran kelas lain. Di sisi yang lain saya ingin agar tidak semakin banyak yang melihat dan mengikuti perilaku buruknya. Saya seringkali merasa gagal dan tidak layak menjadi guru. Terutama ketika hadapi peserta didik yang kurang bisa bekerja sama.

Saya selalu bertanya kepada sesama rekan guru mengenai perilaku peserta didik, terutama wali kelasnya. Saya mendapati beberapa fakta terkait profil peserta didik yang bermasalah ini. Mulai dari tindakannya di kelas, latar belakang keluarga, hingga kasus-kasus pelanggaran yang pernah ia lakukan. Saya membaca berbagai literatur, mengikuti beragam pelatihan, hingga akhirnya saya menemukan fakta lain membuat saya merefleksikan dalam aktivitas mengajar yang saya lakukan selama ini.Di dunia ini, ada anak-anak yang memiliki disabilitas sehingga mereka tidak mampu melakukan suatu hal dengan cara biasa. Termasuk dalam pelajaran, mungkin dia tidak mampu mengikuti pembelajaran seperti anak lain pada umumnya. Tetapi mereka memiliki cara yang berbeda untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Maka saya melakukan analisis profil peserta didik saya. Lalu saya dapatkan kesimpulan: beberapa peserta didik yang terkenal nakal itu ternyata anak disabilitas. Ada yang mengalami disleksia, diskalkulia, disgrafia, hingga ADHD. Saya mengelus dada. Saya merasa selama ini tidak benar-benar memahami mereka sebagai individu manusia yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai kebutuhan mereka.

Saya mulai memetakan karakteristik dan kebutuhan mereka. Berikutnya, merancang pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan mempertimbangkan perbedaan masing-masing atau yang disebut dengan pembelajaran berdiferensiasi. Lalu saya mengkombinasikannya dengan pembelajaran berbasis masalah secara individual maupun berkelompok, dengan games sederhana, seperti: tebak kata, amplop rahasia, roleplay, dan peer teaching. Saya kagum dengan mereka yang ternyata sangat semangat dan terlibat aktif dalam pembelajaran. Bahkan di awal saya membuat kesepakatan kelas, mereka sangat bersemangat mengusulkan ide dan sepakat menjaga kedisiplinan dan ketenangan kelas. Mereka saling mengingatkan sehingga suasana kelas menjadi kondusif. Peserta didik yang tadinya dianggap sebagai trouble maker ternyata mereka bisa memimpin kelompok dengan baik. Peserta didik lain yang tadinya sangat pasif, tidak pernah menulis (karena mengalami disgrafia), tidak pernah menyelesaikan tugasnya, ternyata semuanya dapat terlibat dalam aktivitas kelas seperti yang lainnya.

Di sela-sela pembelajaran saya

mendekati peserta didik dalam kelompoknya. Saya lantas mendengarkan keluh kesah mereka satu persatu. Ternyata peserta didik yang dianggap nakal itu sebenarnya hanya butuh untuk diperhatikan kebutuhannya. Di luar kelas mereka tidak pernah mendapatkan perhatian orang tua secara penuh, ada yang hanya tinggal dengan neneknya yang sudah tua, ada yang harus bekerja sepulang sekolah untuk mencukupi keperluan hidupnya, dan hal-hal lain yang cukup memilukan hati yang harus ditanggung oleh anak seusia mereka.Seiring berjalannya waktu, mereka pun mulai menjalin koneksi dari hati ke hati kepada saya. Ketika mereka berulah lagi pada mata pelajaran yang lain, saya pun mendatangi mereka. Mereka mencurahkan isi hatinya yang tidak bisa diungkapkan kepada orang lain. Lantas saya dengarkan baik-baik dan memberikan tanggapan yang dapat mereka terima. Ada pula yang menangis di hadapan saya karena mendapatkan perundungan dari temannya. Namun semuanya bisa teratasi dengan koreksi yang membangun perilaku baik mereka. Saya pun tersadar bahwa selama ini terlalu abai terhadap kebutuhan psikologis yang sebenarnya sangat mereka butuhkan sebelum mendapatkan materi pelajaran. Selama ini di sekolah mereka mendapatkan koreksi perilaku dengan cara yang tidak mudah diterima oleh ego mereka. Hukuman psikis dan fisik ternyata tidak mampu membuat jera pelaku keburukan jika mereka tidak disadarkan bahwa perilaku tersebut tidak sesuai hati nurani mereka. Satu persatu permasalahan perilaku buruk mereka akhirnya mulai berubah. Komunikasi dan perhatian yang intens membuat peserta didik merasa terkoneksi sehingga mudah menerima koreksi. Umpan balik yang menyentuh hati nurani dengan pendekatan dialogis ternyata lebih bermanfaat untuk mereka sehingga mereka sadar apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Begitu pula pembelajaran yang melibatkan emosi positif ternyata lebih mudah mereka terima karena mereka merasakan kebahagiaan saat belajar. Mereka pun akhirnya memiliki kesenangan pada pelajaran tertentu sehingga sangat mampu dalam pelajaran tersebut. Sedangkan untuk pelajaran yang tidak terlalu mereka sukai, prestasi mereka biasa-biasa saja. Namun itu tidak menjadi masalah. Sebab setiap anak memiliki minat dan bakat masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan oleh Albert Einstein, “Everyone is a genius. But if you judge a fish on it’s ability to climb a tree, it will life its whole life believing that it is stupid”.[]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top