GURU BIJAK ADALAH GURU YANG PANDAI BERADAPTASI
Saya adalah seorang guru yang berasal dari salah satu kota besar di Indonesia yaitu kota Medan. Saya telah mengajar selama lebih kurang 6 tahun. Dimulai dari mengajar di sebuah sekolah swasta di medan sejak tahun 2016 hingga pada tahun 2019 saya mencoba melamar menjadi calon pegawai negeri sipil. Saya lulus dan ditempatkan di kabupaten Labuhanbatu Selatan. Sebuah kabupaten yang saya belum pernah kunjungi sebelumnya. Sebuah kabupaten yang membutuhkan waktu lebih kurang 10 jam perjalanan menggunakan jalur darat dari kota Medan. Sebuah kabupaten yang sangat kental dengan bahasa daerahnya, yaitu Bahasa Mandailing. Hal yang tidak pernah saya sangka sebelumnya karena saya harus merantau di daerah yang jauh. Tapi saya berusaha untuk tetap optimis dalam mendidik anak bangsa. Mungkin inilah tantangan awal yang harus saya hadapi, yaitu melawan rasa takut dalam diri saya sendiri dan mengubahnya menjadi sebuah keberanian besar untuk melangkah menjalankan tugas dan kewajiban saya sebagai seorang ASN. Dengan keyakinan yang kuat saya mantap melangkah mengabdi di Kabupaten tersebut. Namun ternyata semua tidak seperti yang saya bayangkan. Ternyata, saya mengalami kesulitan.
Saat hari pertama saya mengajar, saya senang karena pihak sekolah menyambut kedatangan saya dengan baik. Hal pertama yang ditanyakan kepada saya adalah tentang suku saya. Meski terlahir di Sumatera namun saya bersuku jawa. Diawal pertemuan, rekan-rekan guru mengajak saya berbincang dengan Bahasa Mandailing. Bahasa derah yang sama sekali tidak saya pahami. Karena kesulitan saya mengerti Bahasa tersebut, mereka menganjurkan saya untuk segera belajar Bahasa Mandailing agar lebih mudah berkomunikasi dan bersosialisasi di sekolah maupun di luar sekolah. Saat sampai di kelas, saya memperkenalkan diri kepada siswa dengan menggunakan Bahasa Indonesia dari awal hingga akhir secara formal. Melihat siswa memandang saya dengan tatapan yang heran membuat saya bertanya, apakah saya telah salah dalam perkenalan diri? Atau penampilan saya yang salah? Saya akhirnya bertanya kepada siswa saya tentang sesuatu yang mungkin ingin mereka tanyakan. Mereka bertanya, “Aha de na didokkon ibu i? Namangorti au”. Mereka pun mulai berbisik-bisik dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Alhasil saya mendapatkan jawaban kenapa mereka memandang heran kepada saya. Hal tersebut karena mereka merasa aneh melihat dan mendengar saya berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam keseharian mereka, baik di rumah maupun di sekolah, mereka selalu menggunakan bahasa daerah yaitu Bahasa Mandailing. Beberapa hari berlalu, saya mengalami kesulitan dalam penyampaian materi. Saya selalu mengajar dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Saya berpikir bahwa mungkin dengan saya terus menerus dan tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, siswa saya akan bisa terbiasa memahami dan menggunakan bahasa Indonesia di sekolah. Namun saya salah. Meskipun dengan menggunakan beberapa metode yang bervariasi, siswa saya tetap kurang bisa memahami bahasa saya yang mengakibatkan kurangnya pemahaman materi ajar. Saya benar-benar mengalami kesulitan yang berarti. Tentang bagaimana cara agar siswa bisa menerima cara penyampaian materi saya dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik. Tentang bagaimana agar siswa bisa memahami apa yang saya sampikan. Saya merasa siswa saya harus bisa membedakan waktu dan tempat dalam penggunaan Bahasa Nasional yaitu Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerahnya.
Saya mencoba berkonsultasi dengan kepala sekolah dan rekan guru yang lain mengenai kesulitan yang saya hadapi. Saya mempelajari keadaan sekolah yang memang sangat kental dengan budaya suku Mandailing. Sehingga saya menyimpulkan bahwa saya harus mampu menyatu terlebih dahulu dengan budaya itu. Saya melakukannya dan berusaha belajar Bahasa Mandailing dengan rekan guru yang dekat dengan saya. Tujuannya bukanlah meninggalkan Bahasa Indonesia, atau mengganti Bahasa Indonesia dengan bahasa daerah di sekolah seperti budaya sekolah disini. Beberapa minggu saya belajar dan mulai mempraktikkan Bahasa Mandailing dengan dialeknya saat mengajar. Siswa mulai terbiasa dengan cara berkomunikasi saya. Sehingga mereka sudah bisa menerima pelajaran yang saya sampaikan dengan baik. Di minggu berikutnya saya mencoba mengajar dengan perpaduan antara dua Bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan juga Bahasa Mandailing. Di awal kegiatan pembelajaran sebagai pembukaan saya menggunakan bahasa Mandailing,di tengah pembelajaran saya menggunakan baha Indonesia, dan diakhir pembelajaran saya menggunakan bahasa Mandailing kembali. Beberapa minggu kemudian siswa sudah mulai terbiasa belajar dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Siswa sudah terbiasa membedakan tempat dan waktu kapan mereka harus menggunakan Bahasa Indonesia dan waktu menggunakan bahasa daerah. Di minggu berikutnya saya hanya menggunakan Bahasa Indonesia saja selama pembelajaran berlangsung di sekolah dan hanya menggunakan bahasa daerah saat bertemu di luar sekolah hingga sekarang.
Dari pengalaman saya, saya memahami suatu hal bahwa pada dasarnya siswa itu seperti sebuah kertas. Akan terlihat bagus jika ditulis dengan hati-hati dan penuh kesabaran, dan akan rusak jika ditulis dengan kasar. Perlakuan saya terhadap mereka juga haruslah sama. Hal yang menurut saya tidak sesuai tidak lantas harus dengan cepat diubah. Semua membutuhkan proses dan kesabaran agar dapat diterima di hati dengan baik. Sebagai seorang guru yang sudah berikrar mencerdaskan anak bangsa serta mengabdi kepada negara, saya harus mampu belajar untuk beradaptasi dengan baik di lingkungan dimanapun saya berada. Dengan segala usaha terbaik yang saya mampu. Mencoba menarik perhatian dan mendapatkan hati peserta didik sangatlah penting. Karenanya, melakukan usaha terbaik meski harus mengubah pola pikir atau diri kita menjadi orang lain tidak ada salahnya untuk kita lakukan. Asalkan dengan proses dan tujuan yang baik. Bukankah, pemenang tidak hanya harus cerdas? Tetapi juga harus mampu membaca situasi. Bukankah guru yang dibutuhkan siswa tidak hanya guru yang cerdas? Tetapi juga guru yang bijak. Bukankah guru adalah aktor terbaik? Maka, ayo lakukan !