Guru Belajar: Apa Untungnya?
Tantangan sebagai Guru
Saya menjadi guru agama tahun 2005 hingga 2017 di sebuah SD negeri di pinggir Kali Cimanuk, kali yang memanjang di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Sebelumnya saya menjadi guru kelas di SD swasta di kota kecamatan. Ada keresahan dalam diri ketika menjadi guru agama. Sebagai guru agama bagaimana saya bisa bersekutu dengan anak?
Berbeda dengan posisi sebagai guru kelas 4 dan 6 yang anak-anaknya relatif lebih “mandiri.” Ketika menjadi guru agama, saya harus masuk ke semua kelas, 1-6. Pernah suatu hari di awal tahun pembelajaran, saya masuk kelas 1. Anak-anak kelas 1 masih ditemani orang tuanya di kelas. Boro-boro saya bisa mengelola pembelajaran dengan baik, bahkan ketika baru masuk dan mengucapkan salam, sudah terdengar teriakan satu anak yang menangis dan disusul oleh anak berikutnya, lagi dan lagi. Saya menyerah masuk ke kelas 1.
Tak kalah menariknya di kelas lain. Anak-anak yang beragam gaya belajarnya, ragam kecerdasannya, minat, kesiapan, dan background orang tua. Tantangan lain yaitu kondisi sekolah yang terletak di pinggir Kali Cimanuk dengan fasilitas terbatas. Beruntungnya, saya memiliki kepala sekolah, walaupun berganti-ganti, yang mendukung pengembangan guru, namun belum terpola dengan baik.
Menghadapi beberapa tantangan ini, saya perlu memitigasinya. Mencari ide dengan berselancar di dunia maya, memnaba buku-buku inspiratif, mengikuti workshop, bergabung dalam komunitas dan forum serta nonton film untuk mendapatkan ide-ide segar dalam pembelajaran saya di kelas. Saya mencoba menerapkan model pembelajaran aktif dan menyenangkan dan membuat media pembelajaran dari bahan yang mudah didapat dan murah harganya. Dalam benak saya ketika masuk ke kelas juga memastikan untuk mengangap anak memiliki potensi. Setiap anak itu unik dan pasti memiliki potensi untuk berkembang. Beberapa model pembelajaran yang pernah saya terapkan dalam pembelajaran agama Islam di kelas yaitu mind mapping, smart game, make a match, compose card, picture and picture, bernyany/bertepuk tangan, applied learning dan beberapa model lainnya. Saya menyadari juga bahwa banyak konsep abstrak dalam pembelajaran agama. Saya mencoba untuk membuat analogi dengan hal-hal yang dekat dengan anak untuk konsep abstrak ini atau mencoba melakukan pembelajaran berbasis pada pengalaman anak (experiential learning).
Apa yang saya cobakan dan praktikkan di dalam kelas membuat hati saya mengembang, anak-anak lebih termotivasi belajarnya, menyediakan media pemeblajaran dengan bahan yang murah dan mudah di dapat (saya biasanya menggunakan kertas bekas yang sebelah sisinya masih dapat digunakan yang banyak menumpuk di pojok operator sekolah), pembelajaran lebih aktif dan menyenangkan serta mengembangkan kolaborasi antarmurid. Saya sebagai guru pun bukan menjadi satu-satunya suber belajar. Saya hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator (pemantik otensi anak didik).
Apa Bonusnya?
Yang tidak terpikirkan oleh saya adalah bonus dari apa yang telah dilakukan. Kebiasaan mencari ide untuk pembelajaran saya tulis dalam rencana pembelajaran dan saya refleksikan dalam bentuk action research.
Apa bonus yang saya dapat? Saya berkesempatan menjadi Finalis Lomba Kreasi Model Pembelajaran PAI SD Tingkat Nasional Tahun 2008 Direktorat PAI pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan judul tulisan ” Penggunaan Teknik Peta Pikiran (Mind Mapping) untuk Meningkatkan Penguasaan Materi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.” Tahun 2009, menjadi peserta terbaik 1 Guru Berprestasi Jenjang SD tingkat Kabupaten Indramayu dan dilanjutkan sebagai peserta di level Provinsi. Tulisan berjudul ” Penggunaan Metode Smart Game dan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match untuk Meningkatkan Kemampuan Menyebutkan Nama-nama dan Tugas-Tugas Malaikat Allah” juga menyabet Juara III Lomba Nasional Inovasi Pembelajaran PAI SD Tahun 2009 Balai Diklat dan Litbang Departemen Agama RI. Tahun 2013, saya menjadi Nominator Guru PAI Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013 Direktorat PAI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI setelah mengirimkan naskah buku pendamping siswa mata pelajaran agama Islam. Berturut-turut saya mendapatkan Awardee Beasiswa S2 bagi Pengawas PAI dan Guru PAI Tahun 2014 s.d. 2016 Direktorat Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Peserta Visiting Guru Pendidikan Agama Islam Tahun 2015 Direktorat PAI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dengan berbagi berbagi praktik baik pembelajaran PAI di Kab. Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Peserta Terbaik 2 Kategori Karya Poster Pengawas Sekolah pada Simposium Nasional Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah Tahun 2017 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan poster berjudul ”Pengaruh Kompetensi Supervisi Akademik Pengawas PAI, Pengalaman Pendidikan dan Pelatihan serta Partisipasi dalam KKG PAI terhadap Kinerja Guru PAI di Kabupaten Indramayu,” Pengawas PAI Berprestasi Tahun 2018 Direktorat Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Awardee Beasiswa Program 5000 Doktor Dalam Negeri Tahun 2018 s.d. 2021 Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, dan berbagi / menulis praktik baik pembelajaran PAI di Manado, Aceh, Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Bali, dan kota besar lainnya sebagai Instruktur Nasional Kurikulum 2013/Penulis Buku Teks Pendidikan Agama Islam Direktorat PAI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI 2016-2022.
Refleksi: Bangga Menjadi Guru Berprestasi?
Saya aktif di Komunitas Guru Belajar (KGB) pada 2017 hingga 2018 sebagai penggerak di Kabupaten Indramayu. Karena kesibukan dalam menyelesaikan tugas belajar saya di Jakarta sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa dan harus menyelesaikan studi tepat waktu, menjadikan saya tidak lagi terkoneksi dengan KGB yang kemudian bertransformasi menjadi Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN).
Hingga pada awal tahun 2022, saya harus kembali ke tugas saya sebagai pengawas sekolah mata pelajaran PAI. Saya berhubungan kembali dengan guru-guru agama binaan saya. Saya menyarankan guru-guru untuk bergabung dalam komunitas ini.
Sesekali saya membuka laman KGBN. Ada yang menarik dari tagline yang dikembangkan. “Kita bukan guru sempurna. Kita bukan guru hebat. Kita guru belajar!”
Saya melakukan refleksi. Saya memang membutuhkan adaptasi dari pola pembelajaran anak-anak sebagai guru ke pola pembelajaran bagi orang dewasa (sebagai pengawas). Di awal saya sebagai pengawas, banyak hal yang saya anggap gagal dalam mengelola pembelajaran bagi orang dewasa. (Silakan baca Refleksi saya Temu Pendidik Nusantara 2018 yang ditulis di Surat Kabar Guru Belajar Edisi IV Tahun Ketiga, November 2018 sebagai pengawas sekolah yang galau). itu pula salah satu alasan saya mengambil lagi program tugas belajar selama tiga tahun setelah sebelumnya tugas belajar dua tahun dan hanya disela satu tahun sebagai pengawas sekolah.
Ya, sederet prestasi yang saya peroleh sebagai bonus selama ini sebagai guru maupun sebagai pengawas, tidak menjadikan saya bangga. Karena, ketika saya berhenti belajar, saat itu pula saya sebenarnya tidak berhak untuk mengajar. Ada perbedaan antara wewenang dan hak mengajar. Wewenang mengajar Anda dapatkan ketika mendapatkan SK, surat tugas atau lembar lain yang memberikan Anda kewenangan untuk mengajar. Hak mengajar hanya diberikan oleh murid Anda, maka hak itu perlu diperjuangkan.
Saya ingin menuliskan deskripsi dari tagline KGBN: “Guru dan belajar adalah dua peristiwa yang tidak bisa dipisahkan. Maka kami bergerak Bersama agar semakin banyak guru yang belajar demi murid Indonesia yang merdeka belajar. Mari bergerak Bersama.”
Pengalaman Bergabung di KGB (N): dari Kompetisi ke Kolaborasi
Untuk memperoleh bonus penghargaan sebagai guru berprestasi, ada banyak hal yang dilakukan. Namun muaranya tetap satu: kompetisi. Dalam kompetisi, selalu ada yang menang dan kalah. Anda akan berbangga jika menjadi pemenang. Namun akan merasa gagal jika kalah. Pengalaman saya dalam berkompetisi mengajarkan bahwa untuk memperoleh kemenangan, kita tidak mungkin berkolaborasi. Saya merasa menutup diri jika sedang berkompetisi. Menutup diri untuk apa yang saya tulis, apa yang saya ajukan, ide apa yang saya dapatkan atau strategi yang saya gunakan. Ini berbeda ketika saya bergabung dalam KGB (N). Kolaborasi justru menjadi kunci pengembangan guru di komunitas ini. Semua orang berhak untuk membagikan praktik baik. Tak ada yang ditutup-tutupi. Karena kebutuhan belajar yang berbeda, saya kini lebih banyak bergabung dalam komunitas pengawas belajar nusantara.