Kampus Guru Cikal (KGC) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Tantangan Pendidik Anak Usia Dini Abad 21” pada Jumat (27/05/2022) secara daring. Forum diskusi ini melibatkan berbagai pihak, yakni guru PAUD dari berbagai daerah, Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Yayasan Guru Belajar, dan Direktorat Guru Paud dan Dikmas.
Elisabet Indah Susanti selaku ketua KGC yang memimpin forum ini menyatakan harapannya agar hasil FGD dapat memperbaiki kualitas PAUD. Pasalnya, dari hasil riset Direktorat Guru dan Pendidikan, hanya terdapat 19.5% dari 32 juta anak Indonesia usia 0-6 tahun yang tersentuh oleh lembaga PAUD.
Kesadaran Orang Tua Masih Kurang, Guru Kurang Pengalaman di Lapangan
Itje Chodidjah dari KNIU mengungkapkan, tantangan yang paling terlihat berasal dari kesadaran orang tua mengenai pentingnya pendidikan usia dini. Orang tua berpendidikan meskipun bukan dari kalangan ekonomi atas akan selalu berusaha mencarikan PAUD untuk anak-anaknya, begitu sebaliknya.
Selain itu, kualitas guru PAUD juga masih jauh dari ideal. Masih banyak guru yang belum memahami perkembangan anak sesuai usianya. “Calon guru harus dididik agar paham bagaimana memberikan perlakukan yang tepat pada anak sesuai dengan tumbuh kembang usianya, misalnya kalau usia 4 tahun, bagaimana cara komunikasi yang efektif?” kata Itje.
Sayangnya, ungkap Itje, saat ini masih banyak calon guru PAUD yang masih kurang jam belajar di lapangan. Sehingga, meskipun sudah menempuh S1 PG PAUD namun saat mengajar masih bingung bagaimana cara berkomunikasi yang tepat sesuai dengan usia anak.
Hal senada juga disampaikan oleh Ignatia, guru PAUD Kembang, yang menegaskan perlunya tambahan jam praktek bagi calon pendidik PAUD. Ia menceritakan pengalamannya menerima mahasiswa magang di sekolahnya. Inez, sapaan akrabnya, mengungkapkan adanya perubahan yang mencolok saat mereka pertama kali mengajar dan beberapa bulan setelahnya, seperti dalam hal observasi dan komunikasi.
“Penting untuk seorang guru punya kemampuan observasi. Selain itu kemampuan belajar dan kemampuan refleksi. Penting untuk menghayati diri sebagai pembelajaran sepanjang hayat dalam profesi. Dengan demikian ketika sudah menjadi guru akan tetap bisa berkembang,” tutur Inez.
Guru Butuh Dukungan Saat Pandemi
Inez juga menyampaikan, pada masa pandemi, guru butuh dukungan lebih dari berbagai pihak. Pasalnya, pandemi membuat banyak anak kemampuannya tertinggal, seperti kemampuan psikomotorik yang belum maksimal. Sebagai contoh, banyak anak yang masih belum bisa memakai tas sendiri dan duduk bersila untuk beberapa menit.
“Yang perlu dikuatkan pemahaman gurunya, pondasinya dikuatkan dulu. Jangan sampai sensorinya belum beres, tapi sudah dipaksa untuk belajar nulis atau melakukan aktivitas lain yang lebih berat,” terangnya.
Oleh karenanya, penting untuk guru untuk memahami tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun aspek lainnya. Agar ketika anak belum sampai pada perkembangan tertentu, guru tahu kemampuan apa yang seharusnya dicapai terlebih dahulu.
Terkait Kurikulum Baru, Harus Ada Kolaborasi dengan Orang Tua
Menutup diskusi, Santi Ambarukmi, perwakilan Direktorat Guru PAUD dan Dikmas, mengatakan, penerapan Kurikulum Merdeka oleh guru PAUD seharusnya tidak sulit namun akan mendukung perbaikan kualitas PAUD kedepannya. Hal yang penting adalah kolaborasi antara orang tua dan guru.
“Yang harus orang tua pahami, misalnya literasi dan numerasi. Orang tua memahaminya, seperti bisa membaca dan berhitung. Itu kekhawatiran kami. Hal lain, sebenarnya pemahaman orang tua terhadap PAUD seperti apa sih? Nah itu yang sedang kami lakukan, survey pada orang tua,” jelasnya. (YMH)