“ Maaf bu, saya berjanji… tidak akan absen-absen lagi….”
Suaranya terdengar amat pelan di kupingku, seolah berbisik. Kepalanya tertunduk dalam, hingga aku tak bisa menatap raut wajahnya. Namanya Lambas, tubuhnya jangkung, kekar menandakan sudah sering bekerja keras. Dia siswaku di kelas 8.1, dan aku adalah wali kelasnya saat ini. Lantas aku memalingkan sedikit kepalaku, menatap wanita yang sedang duduk di sampingnya. Wanita setengah baya, dengan tubuh yang kurus dengan kulit kecoklatan terbakar matahari, umurnya mungkin tidak begitu jauh diatasku, namun keadaan membuatnya lebih tua dari yang seharusnya. Matanya sembab, menatapku seolah tidak berdaya. Tidak ada lagi kata terucap dari mulutnya sekarang. Mungkin dia merasa sudah cukup mengeluarkan semua unek-unek di hatinya, pada obrolan kami sebelumnya. Mengenai segala upaya yang sudah dia dan suaminya lakukan agar anaknya Lambas semangat bersekolah.
“ Keputusan di tangan ibu, kami akan terima apapun keputusannya…”
Aku mendengar lemah suara ibunya, pasrah memberikan keputusan sepenuhnya kepadaku. Untuk kesekian kalinya aku meghela nafasku. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaaanku saat ini. Sejenak berbagai peristiwa berlarian di otakku. Pikiranku melayang pada sebuah peristiwa di bulan lalu, di tempat kejadian yang sama, di ruang kantor guru terjadi juga hal yang sama persis dengan saat ini. Dimana Lambas sudah pernah berjanji untuk rajin bersekolah di depan kami berdua, setelah aku mengingatkannya akan semua pelanggaran-pelanggaran yang di lakukannya, akan banyaknya absennya, banyaknya keluhan guru mata pelajaran yang lain yang masuk ke kelas kami mengenai tugasnya yang tidak pernah ada.
Saat itu kami memutuskan untuk memberinya kesempatan. Berharap dia akan menepati janjinya. Dan memang, beberapa hari kemudian, saat aku memantau kehadirannya, dia mulai rajin mengikuti pembelajaran secara daring. Kalau masalah hanphone atau jaringan, dia tidak ada masalah. Handphonenya bisa terbilang lumayan untuk anak seusianya. Dan untuk paket data, dia jarang menyusahkan orang tuanya. Menurut Lambas sendiri dan orangtuanya, Lambas sering mencari pekerjaan paruh waktu sehingga mampu membeli paketnya sendiri. Dari penuturan mereka, saya tahu bahwa Lambas sering mencari upah di ladang orang, atau ikut memotong kayu di hutan, di daerah kami dikenal dengan istilah “marsingso”, dan dari hasil jerih payahnya dia dibayar. Dan mungkin karena faktor tersebutlah, setelah seminggu dia ikut belajar, di Minggu berikutnya dia kembali berulah, sering bolos. Menghadapi hal seperti itu, biasanya aku akan menghubunginya, baik lewat pesan maupun lewat panggilan telepon terhadapnya atau terhadap orangtuanya. Namun mungkin, daya tarik dari upah yang dia dapat, atau karena kurangnya minat belajar, menghantar dia kembali ke kebiasaan buruknya. Hingga akhirnya dia dan orangtuanya harus berada di sini, di depanku, untuk memenuhi surat panggilan yang kulayangkan beberapa hari yang lalu.
Sesaat aku tersadar dari lamunanku. Kembali memfokuskan pandanganku kepada mereka berdua, yang sedang menanti keputusanku. Kali ini, meskipun sebenarnya aku ragu dengan keputusanku, namun dengan pertimbangan aku ingin Lambas terus bersekolah, dan rasa kasihan kepada ibunya, yang pastinya sangat berharap anaknya bisa tamat sekolah, akhirnya aku berkata:
“ Lambas, ini sudah kesekian kalinya kamu berjanji kepada ibu, dan sesering itu pula kamu mengingkarinya. Ini sudah kedua kalinya orangtuamu di panggil ke sekolah. Bahkan Ibu juga sudah sering menelponmu, menelpon orangtuamu, untuk mengingatkanmu agar kamu tidak malas-malasan sekolah. Untuk kali ini ibu memutuskan untuk memberikan kamu kesempatan terakhir, dengan catatan nanti kamu buat surat perjanjian tidak akan mengulanginya lagi, yang ditandatangi oleh kamu sendiri dan orangtuamu. Itu akan menjadi pegangan ibu jika kamu berulah kembali. Namun ibu sangat berharap, kali ini kamu bisa belajar dari keadaan dan kamu lebih serius lagi bersekolah. Ibu ingin kamu bisa terus bersekolah, menjadi anak yang pintar, anak yang berbakti dan bisa menaikkan derajat orangtuamu”
Itulah keputusanku pada saat itu, memberikan kesempatan kesekian kalinya atas dasar rasa kasihan. Meski aku tidak yakin Lambas akan berubah. Perlu perlakuan khusus untuk mengharapkan hasil yang berbeda. Lantar perlakuan khusus seperti apa yang bisa aku lakukan? Apakah ada cara agar Lambas menjadi siswa yang bertanggung jawab dan semakin senang bersekolah? Aku teringat kembali cerita dari teman-teman Lambas bahwa Lambas sangat senang bermain musik. Dia bahkan pernah tampil dan bergabung sebagai pemain musik di pesta atau hajatan. Kebetulan saat itu aku ingin membuat sebuah kegiatan untuk mengenalkan mengenai Profil Pelajar Pancasila kepada siswa-siswaku lewat lagu yang diintegrasikan dengan lagu daerah Batak. Ini merupakan kesempatan yang baik dalam mengembangkan bakatnya.
Beberapa hari kemudian, aku mulai mencari beberapa siswa perwakilan dari setiap kelas yang kumasuki. Mendata mereka yang suka bernyanyi dan bermain musik. Dan pada akhirnya aku berhasil membentuk sebuah WA group, terdiri dari beberapa siswa yang bertugas sebagai penyanyi dan ada pemain musik. Kami menyepakati waktu latihan sepulang sekolah. Semenjak itu aku melihat Lambas semakin rajin bersekolah. Dia seolah-olah tidak sabar menanti waktu latihan. Dia sebagai pemain seruling dalam team kami. Bahkan aku juga sering terkagum-kagum dengan kepiawaiannya memainkan seruling. Dan aku tersenyum kecil saat membayangkan di suatu kegiatan pembelajaran di kelas, dia justru kebingungan sewaktu menjawab soal pembagian yang sangat sederhana. Jiwa seni benar-benar mengalir dalam darahnya. Bahkan jika misalnya kegiatan latihan dibatalkan hanya karena ada kegiatanku yang mendadak, diantara mereka dialah yang paling kecewa. Bahkan tidak jarang, dia mengirimiku pesan, menanyakan setiap waktu mengenai latihan kami. Sampai proses latihan kami berakhir, dan aku merekam dan memasukkannya ke youtube sekolah. Dan memasukkannya dalam facebook sekolah, membuat mereka sangat senang dan bangga.
Dan beberapa waktu yang lalu, dia dan teamnya menorehkan prestasi yang cukup membanggakan di sekolah kami. Mereka dilatih rekan saya guru kesenian sekolah kami yang cukup terampil untuk mengikuti lomba Musik Tradisional pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Kabupaten tahun ini. Aku teringat seminggu sewaktu pelatihan, mukanya selalu berbinar-binar. Dia berperan sebagai pemain Gendang. Dengan semangat dia dan teamnya mendengar arahan pelatih dan berlatih dengan sungguh-sungguh. Pernah sewaktu kami berbincang-bincang, dia menuturkan saat ini dia sangat senang bersekolah. Dan hasilnya sungguh membuat kami semua warga sekolah bangga, mereka berhasil meraih juara ke 2 dan tentu saja berhasil mengharumkan nama baik sekolah. Kini dia menjadi salah satu aset dalam bidang seni di sekolah kami.
Dan aku sangat mensyukuri keputusanku. Aku bersyukur sudah memberikan kesempatan kedua kepadanya. Dan lebih bersyukur lagi, kini Lambas yang dulunya dikenal pemalas sudah menjadi siswa yang cukup rajin dan bersemangat sekolah. Dan bisa dibilang menjadi siswa yang cukup dikenal seluruh warga sekolah akan prestasinya. Ternyata dengan membimbing dan mengarahkan siswa belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, akan membuat mereka menyenangi sekolah. Dan hal ini sangat didukung model pembelajaran yang digalakkan pemerintah saat ini, pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran yang menuntun siswa untuk meningkatkan potensi sesuai dengan minat dan bakatnya. Semoga dengan menerapkan pembelajaran ini, semangat belajar siswa semakin meningkat dan mampu mewujudkan siswa yang potensial dan berprofil pelajar Pancasila.