Dari Asap Rokok Hingga Jewer Kuping, Hasilnya Bisa Membaca

Pertengahan bulan Mei kemarin, saya harus pindah ke sekolah yang baru karena dimutasi sesuai penempatan pada SK PPPK. Menurut informasi saya akan mengampu kelas tiga menggantikan guru kelas sebelumnya yang sudah memasuki masa purna tugas.

“Gimana perkembangan murid di kelas sini Bu? Adakah kendala yang Ibu hadapi?”

Tanya saya memulai percakapan. Tidak terlalu sulit bagi saya karena kebetulan guru tersebut masih kerabat dekat suamiku.

“Sama saja dengan murid di sekolah lainnya.” Jawabnya ringan dan terlihat senyum di sudut bibirnya.

Niat awal saya bertanya demikian dengan maksud ingin mencari informasi awal tentang kondisi murid yang nantinya akan saya ampu. Mengingat waktu ulangan akhir semester genap akan dilaksanakan seminggu lagi. Mendengar jawaban  ibu guru tersebut sepertinya kondisinya aman-aman saja. “Alhamdulillah, artinya tidak ada kendala yang berarti” pikir saya senang.

Keesokan harinya, tibalah saatnya saya harus masuk kelas. Sejak masuk pekarangan sekolah, beberapa anak menyapa dan menyalami saya. Sesampai di kelas, saya membuka percakapan dengan mengajak mereka berkenalan. Dimulai dari meraka yang menyebutkan namanya satu persatu, alamat serta hobi mereka. Setelah semuanya selesai memperkenalkan diri, tibalah saatnya giliran saya berkenalan. Mengambil spidol terletak di atas meja, saya menulis nama lengkap saya di papan tulis.

“Kamu yang duduk di deretan belakang silakan maju dan membaca dengan keras nama ibu!” pinta saya sambal menunjuk salah satu murid lelaki.

Wajahnya terlihat begitu kaget apalagi dibarengi dengan suara tertawa teman-temannya. Sangat terlihat kikuknya saat saya mendekatinya.

“Ayo maju, Nak! Santai saja. Ibu sudah tampil cantik begini masa kamu takut?”

Saya yang mencoba mencairkan suasana malah disambut gelak tawa sambil sesekali ada yang berteriak menyuruh murid tersebut untuk maju. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menggandeng tangannya dan mengajaknya maju ke depan kelas. Di hadapan papan tulis, saya memintanya kembali untuk membacakan dengan keras tulisan yang tergores di sana.

“Saya tidak bisa membaca, Bu” suaranya lirih namun tetap terasa bergetar.

Seketika saya mematung. Merasa bersalah atas tindakan yang barusan saya lakukan sekaligus berpikir apa tindakan yang harus saya lakukan untuk mereka yang belum bisa membaca. Tersadar sedang berada di depan kelas, saya pun mengalihkan pembicaraan.

“Ya sudah ndak apa-apa. Coba angkat tangan yang belum bisa membaca nanti ibu ajari sampai bisa.”

Sedikit kaget karena yang mengacungkan tangannya ada lima anak. Ternyata tidak seindah yang dibayangkan di awal, pikir saya. Apalagi waktu ulangan akhir semester tinggal menghitung hari.

Apa kendala yang membuat mereka belum bisa membaca padahal sudah duduk di bangku kelas tiga, mengapa mereka tetap dinaikkan padahal belum tuntas kompetensinya, bagaimana mereka mengerjakan soal ulangan yang diberikan gurunya, dan begitu banyak lagi pertanyaan yang berseliweran di kepala hingga trik apa yang harus saya lakukan agar beberapa murid ini bisa membaca minimal sampai awal tahun ajaran baru nanti.

Sepulang sekolah, saya mencoba berkonsultasi dengan beberapa rekan guru yang kebetulan sedang bersantai di gazebo yang berada tepat di depan kelas saya.

“Murid saya ternyata masih ada lima orang yang belum bisa membaca. Kira-kira kalau nanti mereka tinggal kelas, bisa nggak ya?” tanya saya.

“Waduuh Bu, jujur kami ndak berani berpikir begitu. Selama ini mau murid yang pintar atau yang bodoh sekalipun, pokoknya naik teruuuus. Saya saja ndak bisa memberikan hukuman walaupun mereka berhari-hari tidak masuk sekolah karena orang tua mereka akan bikin keributan di sekolah jika anaknya dihukum, apalagi jika tinggal kelas.” kata salah satu teman guru saya penuh semangat yang diiyakan oleh rekan guru lainnya. Mendengar itu semua, niat saya tak lantas kendur begitu saja. Saya harus bertindak dan keadaan seperti ini tudak bisa dibiarkan, pikir saya.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengundang orang tua murid-murid tersebut. Menggunakan aplikasi Whatssapp satu persatu orang tuanya saya kirimkan pesan singkat agar bisa datang ke sekolah guna membahas perkembangan serta persiapan anak mereka menjelang ulangan akhir. Penampilan mereka pun beragam. Ada yang hanya memakai baby doll, ada yang berpakaian rapi dan ada seorang bapak yang datang menggunakan celana pendek dengan sebatang rokok yang menyala ditangannya. Tanpa canggung, asap rokoknya dihembuskan ke hadapan saya. Karena sudah mengantongi informasi dari rekan sebelumnya, saya berperilaku seolah hal itu tidak mengganggu saya. Biasa saja. Meski sebenarnya gerah karena suami saya saja bukan perokok. Pembicaraan pun saya buka dengan memperkenalkan diri bahwa saya adalah guru baru anaknya. Untuk itu maksud saya mengundang mereka hanya ingin ngobrol santai tentang kondisi belajar anaknya di rumah agar saya bisa lebih dekat dan lebih memahami kebutuhan semua murid saya.

Hal kedua yang saya lakukan adalah membuat jadwal tambahan khusus membaca. Kegiatan berjalan lancar namun sangat jelas terlihat gurat tidak nyaman di wajah mereka. Mungkin karena tidak terbiasa, jadinya canggung, pikir saya. Hal ini tidak akan saya biarkan berlarut. Bermodalkan catatan kecil yang saya dapatkan saat mengikuti TPL yang membahas tentang media kartu yang bisa memudahkan anak membaca, saya pun berinisiatif untuk mencoba menggunakan kartu juga. Salah satu orang tua saya hubungi, menceritakan rencana yang akan saya lakukan. Dari beliau saya mintakan bantuan untuk membelikan kartu. Alhamdulillah, pukul 4 sore anaknya membawa 4 dus kartu. Mulailah saya merancang tampilan kartunya, mengukur, mencetak setiap suku kata, menggunting sampai menempel ke kartu saya kerjakan dengan bantuan suami tercinta. Alhamdulillah, meski lembur sampai larut malam kartu baca untuk murid saya selesai saya buat. Ada kepuasan tersendiri saat membayangkan murid saya akan segera bisa membaca.

Keesokan harinya saya pun mulai menjalankan rencana. Bermain kartu baca. Dari setiap suku kata saya sambungkan beberapa kartu agar membentuk kata. Setiap anak berebutan membaca setiap kartu yang saya tampilkan. Atau kartunya sengaja saya berikan dan mereka sendiri yang memainkannya. Di akhir waktu mereka saya berikan buku latihan membaca.

Baru sehari sudah terlihat perubahan. Namun rupanya rencana yang saya buat tidak semulus yang diharapkan. Model membaca menggunakan kartu seperti itu hanya bertahan selama tiga hari.

“Ibu, saya tidak mau membaca lagi. Saya hanya mau bermain.” kata salah seorang di antara mereka. Saat itu saya terdiam namun sesungguhnya saya sedang memutar otak. Apalagi cara yang harus saya lakukan agar mereka tetap mau belajar membaca.

“Oke, gimana kalau ibu juga ikut bermain. Cara bermainnya kita ubah. Setiap orang akan mengambuil sendiri kartu yang akan dibacanya. Yang membaca paling banyak dialah pemenangnya. Untuk yang kalah harus merelakan telinganya dijewer oleh si pemenang. Saya menggunakan trik seperti ini dan sengaja memperlambat mengambil kartu agar nantinya selama bermain saya adalah “korban” mereka. Dan rupanya itu membuat mereka sangat gembira.

Melihat progress membaca mereka yang begitu cepat membuat orangtua mereka sangat senang. Ada yang menghubungi saya sambil menceritakan kebahagiaan mereka karena anaknya sudah bisa membaca. Bahkan ada yang datang ke sekolah hanya untuk meminta maaf atas perlakuannya di awal pertemuan. Intinya mereka senang karena akhirnya anaknya bisa membaca. Meski begitu, tidak lantas membuat saya berpuas hati.

Dari situ saya tahu bahwa dengan membuka ruang komunikasi dengan orang tua akan mempermudah kita dalam membuat program apapun yang berkaitan dengan anak mereka. Orang tua pun merasa bahagia karena dilibatkan dalam proses belajar anaknya. Hal terpenting adalah ikhlas serta kreatif mencari solusi jika menemui kendala akan membuahkan hasil yang begitu manis. Hubungan baik antara guru dan orang tua terjalin, murid pun semakin percaya diri karena sudah bisa membaca.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top