Cuma Modal Tiga Ribu, Guru Ini Berhasil Membuat Proses Belajar Seru!

“Mau belajar apa kita hari ini?”

“Main, bu!” serempak anak-anak menjawab pertanyaan saya.

Apa yang akan guru lakukan jika setiap kali bertanya ke murid mau belajar apa hari ini, mereka selalu menjawabnya dengan bermain. Hal ini sempat membuat saya bingung, bagaimana caranya membuat murid tertarik belajar sementara setiap saya bertanya mereka tidak ingin belajar, melainkan bermain. Kalau saya menuruti permintaan murid-murid saya untuk bermain, lalu bagaimana caranya membuat permainan yang tetap bisa memasukan unsur materi pelajaran didalamnya? Belajar dimana, adakah buku cara membuatnya pertanyaan ini berkecamuk dibenak saya.

Beruntungnya tidak lama saya mendapat kesempatan mengikuti Wardah Inspiring Teacher tahun 2019 di Yogyakarta. Kegiatan Wardah Inspiring Teacher (WIT) tahun 2019 salah satu materinya adalah bagaimana cara merancang karya inovasi. Salah satu dari karya inovasi yang bisa digunakan sebagai media pelajaran adalah menggunakan permainan. Wow! Saya merasa seperti mendapatkan durian runtuh. Sesuatu yang ingin saya pelajari datang kesempatannya dari arah yang tidak saya duga. Karena bisa mengikuti WIT ini merupakan rekomendasi murid-murid saya ketika saya masih pertamakali mengajar pada tahun 2008 di Kebumen. 

Saya pikir membuat media ajar inovasi tinggal melihat materi ajarnya apa butuh alat bantu apa kemudian tinggal buat saja media yang sesuai materi. Ternyata saya salah. Pada pelatihan WIT ini saya jadi tahu, membuat media ajar sebaiknya melalui tahapan Design Thinking. 

Apa lagi lah design thinking ini? saya baru saja mendengarnya. Ternyata Design thinking merupakan cara membuat sebuah media yang memiliki lima tahapan yaitu: empati, masalah, ide, purwarupa, uji dan terakhir uji dan ukur. Kelima tahapan ini merupakan sebuah siklus jadi bisa terus diulang hingga bisa menemukan media yang bisa dibilang sempurna karena sudah melalui tahapan design thinking. 

Selesai materi pelatihan selama tiga hari dan pelatihan daring melalui google classroom tantangan bagi kami peserta WIT adalah mewujudkan media ajar inovatif menjadi nyata. 

Langkah pertama mencoba design thinking ini dimulai dengan tahap empati. Yakni sebuah langkah bagi saya untuk memahami murid dengan cara memahami tahapan perkembangan murid saya dan apa saja yang mereka khawatirkan dan harapkan pada usia tersebut. Untuk memudahkanya saya menggunakan peta empati. Peta empati berisi pertanyaan yang membantu untuk memahami. Seperti pertanyaan tentang apa yang meraka pikirkan, apa yang mereka rasakan untuk mengetahui apakah yang mereka pikir dan rasakan. Pertanyaan tenyang apa yang sering mereka lihat, apa yang sering mereka bicarakan untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan dan lihat. Apa yang sering mereka lakukan dikelas baik saat ada guru maupun tidak, bagaimana saat mengerjakan tugas untuk mengetahui hal apa saja yang sering mereka lakukan serta apa saja yang sering mereka dengar ketika mengerjakan tugas, saat dikelas atau saat belajar. 

Pada tahap emapati ini saya jadi memahami bahwa siswa saya di kelas dua dengan rentang usia delapan sampai dengan sembilan tahun menyukai permainan, apa saja selalu dikaitkan dengan mainan. Artis yang disukai yang sering jadi bahan pembicaraan mereka koleksi kartu gambarnya. Ketika mengerjakan tugas pun mereka tetap membicarakan nanti mau main apa saat istirahat, janjian main setelah pulang sekolah. Ooh akhirnya saya paham mengapa setiap saya tanya mau belajar apa mereka selalu jawab main. Karena setelah mengamati murid dan mencocokannya dengan tahap perkembangan yang saya tonton dan baca di Keluargakita.com, usia rentang delapan sampai dengan sembilan tahun menyukai bermain bersama kelompoknya tapi mereka juga mudah frustasi jika tugas mandiri tidak bisa dikerjakan secara maksimal. 

Tahap ke dua dari design thinking adalah memetakan masalah. Pertama saya mencoba memetakan kompetensi dasar dan materi pelajaran. Pemetaan kompetensi dan materi ini memudahkan saya memahami apa yang akan dipelajari anak selama setahun bersama saya di kelas. Hingga pada materi Bahasa Indonesia membuat kalimat dalam menulis karangan sederhana siswa merasa kesulitan. Murid butuh sebuah cara mudah untuk membuat kalimat dalam menulis karangan sederhana. Sayangnya penjelasan guru tentang bagaimana menyusun kalimat dalam sebuah karangan sederhana masih membingungkan. 

Kemudian saya pun mencoba menggali beberapa ide bagaimana cara mudah agar anak dapat membuat kalimat dalam karangan sederhana. Hingga akhirnya saya menemukan ide untuk membuat  permainan kartu agar murid mudah membuat kalimat. 

Berlanjut ketahap ketiga yaitu membuat purwarupa. Kartu seperti apa yang akan saya pakai, gambar apa yang saya pilih, bagaimana desain kartunya mulai saya pikirkan. Saya gambar desain kartu secara secara sederhana dikertas untuk memudahkan saya menuangkan ide. Seperti gambar dibawah inilah desain sederhana kartu saya. 

Selanjutnya saya mulai mencari gambar yang gratis di google dan pinterest. Ini karena saya sendiri tidak menguasai aplikasi gambar untuk mendesain sendiri gambar yang saya inginkan. Gambar ini saya pilih yang lucu dan disukai murid. Setelah gamabr terkumpul kemudian saya mulai mendesain kartu. Lagi-lagi karena saya tidak bisa menggunakan aplikasi seperti corel saya siasati mengedit kartu ini menggunakan PowerPoint. 

Selesai mengedit barulah saya rubah format powerpoint ini menjadi jpeg, jadilah seperti gambar dibawah ini.

Gambar ini kemudian saya print dan potong hingga menjadi kartu. 

Hingga selesailah kartu ini menjadi empat deck berbeda yang masing-massing deck berjumlah delapan kartu. Total ada 32 kartu. 

Tahap purwarupa selesai. Tak sabar ingin mengetahui bagaimana respon murid saat menggunakan kartu ini. Saya uji cobakan pada anak saya, Atha usia 4,5 tahun. Hanya mencoba untuk mengetahui apakah gambar yang saya pilih bisa ia rangkai menjadi kalimat. Saya ambilkan kartu nomor 1,2,3, dan 4 saya susun berurutan, kemudian menanyakan padanya :

“Atha ini gambar apa saja ya?”

“ini pinguin sakit ya mah, terus bobo enggak berangkat sekolah. Begitu ya, Ma?”

Mendengar respon anak saya, saya cukup puas. Bahwa gambar ini bisa membantu anak untuk membuat kalimat. Uji coba selanjutnya ketika pertemuan luring ke dua di WIT. Saya menguji coba dengan teman peserta WIT. Uji coba memainkan kartu dengan cara main yang mirip cara main kartu kuartet. Caranya yaitu :

  1. Pemain  terdiri dari 4 orang
  2. Masing-masing peserta akan diberikan 4 kartu yang dikocok acak terlebih dahulu. Sisa kartu ditumpuk ditengah dan bisa diambil oleh pemain yang mendapat giliran main. 
  3. Pemain hompimpa untuk menentukan siapa yang akan mendapat giliran terlebih dahulu
  4. Pemain memeriksa kartu, apakah kartu yang dia dapat sudah langsung memiliki 4 kartu secara urut. Jika sudah maka pemain dapat menyimpan kartu ini dan mengambil satu kartu ditengah dan satu kartu milik teman sebelah.
  5. Pemain dapat memenangkan permainan jika semua kartu yang dimilikinya sudah habis dan dia mendapat dua set kartu yang lengkap tediri dari empat deck nomor satu hingga nomor empat.
  6. Setelah semua pemain menyelesaikan misi mengumpulkan kartu, kemudian pemain membuat kalimat dari set kartu lengkap tersebut
  7. Tuliskan kalimat ini dibuku tulis
  8. Selesai permainan.

Dari uji coba ini ternyata berbeda hasilnya. Kami uji coba semua adalah guru dan usia sudah 30 tahunan lebih, malah merasa kebingungan. Kami kesulitan membuat kalimat dari kartu tersebut. Misalnya pemain mendapat kartu seperti dibawah ini :

Kami kebingungan menyusun kalimatnya, akan jadi seperti apa. Apakah seperti ini 

“Rusa orang berlari ibu mengepel sekolah”.

Tampaknya ini kalimat yang aneh. Saya pun mendapat saran untuk memperbaiki pemilihan gambar untuk memudahkan membuat kalimat. Memperbaiki ukuran garis batas deck yang memiliki warna berbeda untuk jadi lebih tebal agar murid lebih mudah mengenali perbedaan kartunya. Serta menyederhanakan aturan permainan, pada pembagian kartu karena ketika dibagi empat kartu saja setiap pemain membutuhkan waktu yang lama hingga permainan selesai.

Uji coba ketiga saya lakukan bersama murid-murid saya di kelas dua. Saya meminta beberapa anak untuk mencoba bermain. Berdasarkan beberapa catatan saat uji coba dengan teman di WIT saya lakukan. Merubah aturan permainan, setiap pemain langsung dibagi delapan kartu hingga tidak ada lagi kartu ditumpuk ditengah. Namun saya belum merubah gambar dan garis tepian kartu. Hanya saja ketika akan memulai permainan saya menjelaskan kepada murid bahwa setiap kartu memiliki nomor yang berbeda yaitu nomor satu sampai dengan empat. Tugas kalian mengumpulkan kartu secera berurutan nomor satu sampai dengan empat. Kemudian menyusun kartu ini dan membuat kalimat dari kartu yang dimiliki. 

Uji coba selesai, reaksi murid ketika bermain ternyata berbeda dengan saat uji coba bersama teman WIT. Mereka bisa menyusun kalimat dengan baik sesuai tahapan perkembangan murid kelas dua sekolah dasar. Tidak pula mereka kebingungan dengan desain deck mereka dapat mengurutkan dan membedakan kartu dengan mudah meski belum saya ganti garis tepiannya menjadi lebih tebal sesuai saran teman di WIT. Karena mereka melihat nomor yang ada pada pojok kartu, sementara ketika uji coba di WIT kami membedakan dengan melihat garis batas kartu. Beberapa saran dari murid yang saya tanyakan langsung dan kemudian meminta mereka menuliskannya seperti ini 

Afif:“Membuat kalimatnya aku bisa mudah dan seru bu”.
Novita:“Aku juga bisa membuat kalimatnya, cuman aku bingung menentukan ini gambar apa”
Dzihni“Gampang membuat kalimatnya bu, tapi aku juga bingung ini gambar boleh aku bilang bermain atau berlari?”

Berdasar tanya jawab dengan mereka saya mengambil kesimpulan bahwa murid mampu membuat kalimat dengan kartu kuartet ini, namun mereka belum mampu menentukan secara mandiri untuk menyebut kegiatan apa yang ada pada gambar kartu kuartet. Seperti komentar Dzihni dan Novita yang kebingungan. Setelah saya lihat kartu apa yang mereka dapat, sebetulnya mereka tidak salah jika menyebutkan sedang berlari atau bermain karena memang gambarnya bisa diinterpretasikan berbeda. Jadi murid masih merasa kurang percaya diri untuk membuat kalimat. Kemudian uji coba selanjutnya saya katakan terlebih dahulu kepada anak-anak bahwa tidak ada salah atau benar dalam membuat kalimat berdasar kartu kuartet ini. Saya kemudian mencontohkan dengan menunjukan satu kartu dan meminta anak mengamati dengan seksama. Mereka menyebutkan banyak hal yang bisa mereka lihat  dari kartu dan saya katakan nah perbedaan kalian melihat itu tidak mengapa karena memang gambarnya ada dikartu ini jadi tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Jadi dari beberapa kali uji coba saya mendapat kesimpulan bahwa kartu kuartet ini bisa dijadikan media pembelajaran membuat kalimat. Sebelum permainan dimulai saya perlu menjelaskan secara detail mengenai aturan permainan dan bagaimana cara menginterpretasikan gambar yang ada pada kartu. 

Berdasarkan pengalaman menyusun media ajar inovatif dengan design thinking ini saya jadi bisa membuat media ajar yang sesuai kebutuhan siswa. Saya juga belajar bahwa untuk membuat media tidak harus langsung jadi sempurna, namun segera mewujudkan ide menjadi purwarupa dan melakukan pengujian kepada murid adalah cara terbaik untuk menyempurnakan media kita. Mulai saja dulu perbaiki kemudian ☺

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top